Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Rumah Mandiri Energi

25 Agustus 2017   22:15 Diperbarui: 25 Agustus 2017   23:57 1660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Saya vegetarian, tapi Sabtu dan Minggu tidak, " lelaki paruh baya itu berseloroh. Sebagai keturunan  India dan penganut agama Hindu, Pak Dipo -begitu orang menyebutnya, memang tidak mengkonsumsi daging sapi dan berusaha sesedikit mungkin makan daging. Istrinya, Bu Hira, menyajikan jus nanas organik segar untuk kami tamunya, di ruang tamu yang memiliki pemandangan ke sawah.

Pak Dipo sebenarnya bernama asli Deepak. Orang merasa lebih mudah memanggilnya dengan nama Pak Dipo, banyak juga yang salah dengar. Rumahnya terletak di kawasan pedesaan di Batubulan Kangin, Gianyar. Selain vegetarian dan selalu berusaha memilih makanan organik, Pak Dipo dan Bu Hira juga sangat peduli isu lingkungan dan selalu berusaha berkontribusi, dimulai dari diri sendiri dan rumah sendiri.

Pak Dipo punya prinsip sederhana, bahwa kepedulian lingkungan sangat bisa dimulai dari diri sendiri dan dari lingkungan rumah.

"Kami awalnya melihat persoalan sampah saja,"

Pak Dipo memulai ceritanya. Di sekitar rumahnya tinggal, tempat pembuangan komunal yang disediakan seringkali penuh, sehingga sampah selalu menumpuk. Selain mengganggu pemandangan, sampah yang bertumpuk juga bercampur tanpa dipisah. Dari sanalah Pak Dipo mulai bergerak untuk mengelola sampah keluarganya. Sebisa mungkin semua sampah yang mereka hasilkan harus dikelola. Untuk sampah dapur dan sampah organik, Pak Dipo mengolahnya menjadi kompos. Sampah kertas diberikan pada yayasan yang mendaur ulang kertas. Jika tak bisa dikelola sendiri seperti botol, barulah mereka menjualnya pada penampung.

Selain mengolah sampah, Pak Dipo juga mengolah air limbah di rumahnya. Dengan metode wastewater garden, air limbah dari mencuci dan mandi dialirkan ke bak penampungan ganda yang kemudian airnya bisa digunakan untuk mengairi tanaman-tanaman di halaman rumah.

Meski untuk urusan sampah rumah yang padat mau pun cair sudah dikelola dengan baik, Pak Dipo juga berpikir mengenai kemandirian energi di tingkat rumah tangga. Memasak memerlukan bahan bakar, begitu pula listrik untuk aktivitas sehari-hari.

Berani Mencoba

Untuk persoalan memasak, Pak Dipo mulai mencari informasi mengenai biogas. Hobinya memang mempelajari segala sesuatu yang berhubungan dengan teknologi, sehingga berusaha menemukan bagaimana bisa mengubah sampah rumah tangga menjadi biogas merupakan hal yang mengasyikkan.

Pada dasarnya, biogas adalah hasil fermentasi bahan-bahan organik dengan bantuan bakteri anaerobik. Bahan organik yang paling sering digunakan adalah kotoran hewan, karena jumlah kandungan organiknya dapat menghasilkan biogas dengan intensitas panas yang baik dan cukup banyak. Selain itu kotoran hewan juga padat dan biasanya tersedia dalam jumlah banyak sehingga frekuensi pengisian reaktor biogas tidak perlu terlalu sering. Dari segi teknologi, reaktor biogas dengan bahan organik kotoran hewan juga sudah "dewasa", tersedia banyak di internet, juga sudah banyak ditawarkan secara komersial.  

Karena minimnya informasi mengenai reaktor yang bisa menghasilkan biogas dari sampah dapur dan dalam skala yang juga tidak besar, Pak Dipo kemudian mulai bereskperimen untuk membuat reaktor biogas rumahan. Dengan menggunakan tangki plastik, Pak Dipo membuat reaktor biogas berukuran kecil. Model floating digester yang dibuat Pak Dipo ini terdiri dari 2 bagian: tangki bagian bawah untuk umpan (bahan organik), dan "tutup" bagian atas yang merupakan ruang penyimpanan biogas. Reaktor ini memang seperti tangki bertutup, di mana bagian atasnya akan "mengembang" sesuai dengan volume biogas yang dihasilkan. Gas yang dihasilkan dari reaktor ini kemudian dialirkan ke dalam pipa yang menghubungkan reaktor dengan kompor yang didesain secara khusus.

Sebelum bisa digunakan reguler, reaktor biogas ini harus diisi dulu dengan "bibit", yaitu kotoran sapi. Pak Dipo memasukkan sejumlah kotoran sapi yang didapatnya dari tetangga ke dalam reaktor, yang juga dicampur dengan air. Reaktor ini kemudian didiamkan selama sebulan, barulah kemudian bisa digunakan. Total uang yang dikeluarkan Pak Dipo untuk membangun reaktor ini kira-kira 3 juta rupiah.

Model reaktor floating digester pertama kali dikembangkan di India, sehingga disebut reaktor India. Reaktor ini banyak dipakai di sana hingga sekarang, dan Pak Dipo juga banyak belajar dari teman-temannya di India sebagai masukan untuk eksperimennya. Dari segi teknis Pak Dipo tidak mengalami tantangan berarti. Menurutnya yang paling sulit adalah menemukan jumlah masukan sampah dapur yang pas. Apabila terlalu banyak sampah dapur yang dimasukkan, proses dekomposisi akan terhenti. Sedangkan bila jumlah sampah dapur yang dimasukkan terlalu sedikit, jumlah gas yang dihasilkan juga sedikit.

Reaktor biogas dan kompornya di rumah Pak Dipo
Reaktor biogas dan kompornya di rumah Pak Dipo
"Dengan membuang sampah dapur kami ke reaktor biogas, kami bisa menghemat penggunaan LPG hingga 30%," Pak Dipo melanjutkan. Pak Dipo sudah menggunakan reaktor biogas buatannya sendiri selama hampir 8 tahun. Sampah dapurnya biasanya terdiri dari kulit buah, potongan sayur, dan sesekali sisa nasi; yang baik untuk dijadikan feed reaktor biogas. Dalam sehari, jumlah sampah dapur yang perlu dimasukkan ke dalam reaktor cukup 1 kg; di mana gas yang dihasilkan dapat digunakan untuk menyalakan api selama 70 menit. Apinya pun bernyala biru dan tidak berbau.

Setahun menggunakan reaktor buatannya sendiri, Pak Dipo kemudian mengenalkan teknologi ini pada orang lain. Di Bali masih banyak rumah tangga perdesaan yang menggunakan kayu bakar dan minyak tanah untuk memasak. Selain tak sehat, waktu yang diperlukan untuk mencari kayu bakar dan uang yang dikeluarkan untuk membeli minyak tanah juga tak sedikit. Dengan dukungan dari YLKI, Pak Dipo mengenalkan dan memasang reaktor rumahan ini di beberapa rumah tangga di Karangasem. Menurut ibu-ibu yang menggunakannya, keberadaan reaktor biogas ini sangat berarti untuk mereka karena meringankan pekerjaan sekaligus biaya rumah tangga.

Selain menggunakan biogas, konsep kemandirian energi yang diterapkan oleh Pak Dipo dan Bu Hira berkaitan juga dengan desain rumah mereka. Terletak di desa yang masih didominasi pepohonan dan sawah, rumah dua lantai itu minim sekat dan memiliki banyak jendela lebar. Ruang tamunya semi terbuka dengan jendela-jendela tinggi yang membuka ke sawah; membuat aliran udara di sana sangat baik. Pagi hingga siang hari, penerangan dalam rumah dicukupi dengan cahaya matari saja. Tanpa pendingin ruangan dan dengan penggunaan lampu yang efisian, Pak Dipo juga tak mengeluarkan banyak uang untuk biaya listrik.

"Kita punya kebebasan mendesain rumah kita sendiri, sehingga model efisiensi energi seperti ini juga bisa kita terapkan, tak harus rumit," Bu Hira berujar. Rumahnya memang sungguh cantik, tak hanya karena pemandangan hijau yang terbentang; juga karena desain minim sekatnya sangat artistik. Tangga kayu di ruang tamu menghubungkan lantai 1 ke lantai 2 yang juga sama terbukanya, dengan pemandangan lebih hijau dan lebih segar lagi. Jadi iri.

Agaknya semangat peduli lingkungan dan mengejar kemandirian energi Pak Dipo dan Bu Hira juga mirip seperti ngotot-nya Modi.

Salam hangat,

Citra

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun