Kata (beberapa, atau banyak) orang, perempuan itu tak cocok menjadi pemimpin. Katanya sering baper, katanya sering mikir terlalu dalam, katanya kurang tegas, katanya tidak bisa memisahkan perasaan dengan pekerjaan. Dan sekian banyak "katanya-katanya" lainnya, yang kadang dipercaya tanpa fakta dan membuat kita juga meragukan bahwa perempuan bisa menjadi pemimpin yang baik.
Untuk urusan masa depan energi, sayang sekali itu bukan kasusnya. "Pemimpin" transisi energi ini adalah seorang perempuan yang tidak berasal dari negara adidaya, Paman Sam. Perempuan ini seorang doktor kimia fisika dan seorang peneliti: Angela Dorothea Merkel.
Merkel Bukan Trump
Jerman, sebagaimana layaknya negara-negara maju lainnya, tentu punya pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Sumber energi yang satu ini memang relatif bersih, juga efisien karena bisa menghasilkan daya dalam jumlah besar dengan bahan aktif yang sedikit. Nuklir pernah menjadi salah satu penyangga energi di Jerman, menyumbang hingga lebih dari 20% suplai listrik. Fakta ini mungkin tak akan berubah jika tragedi Fukushima tak terjadi.
Meski Jerman juga mengembangkan energi terbarukan -terutama energi matahari, angin, dan biomassa, sepuluh tahun lalu mereka tak melakukannya dengan terburu-buru. Mungkin mereka sebenarnya 'jerman' alias 'jejer kauman'; jadi memilih alon-alon asal kelakon.
Sebelum Paris Agreement menjadi agenda internasional dan ditandatangani massal oleh negara-negara di dunia, Merkel sepertinya sudah mendapat wangsit duluan. Tragedi Fukushima itu bagaikan tamparan, apa yang akan terjadi apabila 17 reaktor nuklir di seluruh Jerman mendapat masalah? Satu saja sudah horor, apalagi tujuh belas.
Segera setelah kejadian di Fukushima itu, Merkel langsung meminta reaktor-reaktor nuklir yang umurnya sudah lebih dari 30 tahun untuk dimatikan. Ibu doktor ini bergerak cepat: hanya dua bulan setelahnya, revolusi energi di Jerman dimulai. Semua reaktor nuklir harus "tutup" di tahun 2022.
Revolusi Memang Mahal
.......dan penuh tantangan. Setelah menutup reaktor nuklir dan merencanakan penutupan sisanya, Jerman langsung berkomitmen untuk melakukan revolusi energi, atau bahasa Jawanya: energiewende. Komitmen untuk menjadi negara yang ramah atmosfer dan ramah lingkungan mensyaratkan Jerman untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari bahan bakar fosil, menghilangkan nuklir dari bauran energi, dan mendorong penggunaan energi terbarukan yang lebih banyak. Prinsip energiewende ini jelas: transisi ke sistem ekonomi rendah karbon dan bebas nuklir.
Berhubung nuklir punya sumbangan suplai energi yang cukup banyak di Jerman, tiba-tiba menutup reaktor nuklir tentu ada konsekuensinya. Sementara mereka berusaha untuk menaikkan produksi listrik dari energi terbarukan, Jerman harus impor listrik dari negara tetangga. Tambahan biaya? Tentu. Namun agaknya tantangan finansial dan berusaha swasembada listrik ini menjadi motivasi yang tepat bagi Jerman untuk ngebut mengembangkan energi terbarukan. Energi yang disuplai dari energi terbarukan terus naik porsinya, baik untuk listrik, transport, atau penghangat ruangan. Di tahun 2015, sudah lebih dari 31% listrik mereka disuplai dari energi terbarukan. Â
Di Jerman tak ada PLN, ada beberapa perusahaan listrik yang juga dikelola swasta. Ketika energiewende dikumandangkan, Merkel menyerukan masyarakat untuk ikut ambil bagian. Selain bersedia membayar harga listrik sesuai harga produksi (bahkan di atasnya), salah satu kunci sukses revolusi energi ini adalah banyaknya masyarakat yang kemudian ikut berinvestasi. Banyak yang memasang panel surya dan menjual listriknya, banyak pula yang membeli saham di kebun-kebun turbin angin.
Impor listrik tadi, perlu biaya. Beli listrik dari produsen dengan harga tinggi, juga perlu biaya. Kemudian muncul lagi aspek biaya yang lain: jaringan. Jika selama ini jaringan listrik biasa menerima suplai yang konstan dari batubara, solar, atau nuklir; kini harus ada penyesuaian karena sumber energi lain masuk. Lagi, energi galau seperti tenaga surya dan angin memerlukan balancing power yang memadai untuk menjadi cadangan tenaga di saat semesta sedang tidak berbaik hati. Karena reaktor nuklir mulai ditutup satu per satu, apakah Jerman kemudian bergantung pada batubara sebagai cadangan energi? Sepertinya. Jaringan juga perlu disesuaikan supaya menjadi "pintar", sehingga investasi lain perlu disalurkan untuk membangun smartgrid. Jika ladang angin ada di utara, perlu juga membangun jaringan yang handal untuk menyalurkannya ke selatan.
Sepanjang hampir dua puluh tahun terakhir, Jerman memang menjadi negara percontohan transisi energi. Mereka berani membuat keputusan yang dramatis, berani menggelontorkan uang sebagai konsekuensi keputusan tersebut, dan berani berlomba mempercepat inovasi teknologi energi terbarukan.
Beberapa tahun terakhir, sayangnya, energiewende agak melambat. FiT kini digantikan dengan model tender, yang justru kurang berpihak pada masyarakat individu dan komunitas. Selain itu, revolusi energi ini juga belum sepenuhnya menyentuh sektor transportasi, padahal Jerman adalah rumah BMW, Mercedes, dan VW. Â
Lalu, siapkah Indonesia untuk melakukan energiewende? Dengan hal-hal positif yang telah dicapai Jerman dengan energiewende-nya, revolusi yang dibayar sangat mahal itu; kita bisa belajar. Dari kekurangannya, kita juga bisa belajar. Pengalaman adalah guru terbaik, dan pengalaman orang lain adalah guru yang gratis.
Salam hangat,
Citra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H