Impor listrik tadi, perlu biaya. Beli listrik dari produsen dengan harga tinggi, juga perlu biaya. Kemudian muncul lagi aspek biaya yang lain: jaringan. Jika selama ini jaringan listrik biasa menerima suplai yang konstan dari batubara, solar, atau nuklir; kini harus ada penyesuaian karena sumber energi lain masuk. Lagi, energi galau seperti tenaga surya dan angin memerlukan balancing power yang memadai untuk menjadi cadangan tenaga di saat semesta sedang tidak berbaik hati. Karena reaktor nuklir mulai ditutup satu per satu, apakah Jerman kemudian bergantung pada batubara sebagai cadangan energi? Sepertinya. Jaringan juga perlu disesuaikan supaya menjadi "pintar", sehingga investasi lain perlu disalurkan untuk membangun smartgrid. Jika ladang angin ada di utara, perlu juga membangun jaringan yang handal untuk menyalurkannya ke selatan.
Sepanjang hampir dua puluh tahun terakhir, Jerman memang menjadi negara percontohan transisi energi. Mereka berani membuat keputusan yang dramatis, berani menggelontorkan uang sebagai konsekuensi keputusan tersebut, dan berani berlomba mempercepat inovasi teknologi energi terbarukan.
Beberapa tahun terakhir, sayangnya, energiewende agak melambat. FiT kini digantikan dengan model tender, yang justru kurang berpihak pada masyarakat individu dan komunitas. Selain itu, revolusi energi ini juga belum sepenuhnya menyentuh sektor transportasi, padahal Jerman adalah rumah BMW, Mercedes, dan VW. Â
Lalu, siapkah Indonesia untuk melakukan energiewende? Dengan hal-hal positif yang telah dicapai Jerman dengan energiewende-nya, revolusi yang dibayar sangat mahal itu; kita bisa belajar. Dari kekurangannya, kita juga bisa belajar. Pengalaman adalah guru terbaik, dan pengalaman orang lain adalah guru yang gratis.
Salam hangat,
Citra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H