Eh, katanya perempuan selalu benar?
Ujaran, kesaksian, olok-olok, bahkan meme mengenai kesimpulan bahwa "perempuan selalu benar" itu sering sekali kita temui. Konteksnya banyak, paling sering muncul adalah dalam hubungan romantis laki-laki dan perempuan, ada pula dalam konteks profesional, juga menyoal emak-emak (pake helm dulu).
Kemiskinan Energi Memiliki Dimensi Gender
Dua hari lalu saya bercerita mengenai Mama Rovina, ibu tangguh dari Lembata yang berjuang untuk mencukupi kehidupan keluarganya tanpa suami dan sekaligus menebarkan manfaat teknologi energi bersih. Kemarin saya bercerita mengenai Mama Seni, pengguna biogas yang merasakan manfaat besar setelah menggunakan energi bersih, tak hanya soal ekonomi, juga soal waktu untuk aktualisasi diri. Dua cerita ini memiliki benang merah: perempuan terdampak karena ketiadaan energi (bersih) dan mereka jugalah yang mendapatkan manfaat besar dengan penyediaan energi.
Pengguna utama energi di rumah adalah perempuan. Ini adalah diagram pembagian tugas laki-laki dan perempuan di kawasan perdesaan menurut kajian World Bank di tahun 2003.
Desa Mama Rovina baru terlistriki dengan diesel selama 4-6 saja, maka lampu tenaga surya yang dijual Mama Rovina sangat membantu masyarakat untuk beraktivitas, termasuk membantu anak-anak untuk belajar. Tak ada lampu sama dengan membeli minyak tanah untuk pelita, dan sebagai ibu, perempuan jugalah yang harus pandai mengatur keuangan keluarga.
Namun porsi penggunaan energi yang besar juga ada di dapur. Indonesia memang terbilang sukses menggalakkan energi bersih melalui program Ditjen Migas ESDM yaitu konversi minyak tanah ke LPG, namun data BPS menunjukkan bahwa lebih dari 20 juta rumah tangga di Indonesia masih menggunakan kayu bakar.Â
Di banyak daerah di Indonesia, memasak dengan kayu bakar masih merupakan norma dan kebiasaan. Banyak alasan yang menyertainya, misalnya ibu saya yang terkadang memilih memasak masakan tertentu dengan tungku karena katanya kompor gas akan mengubah rasa. Di daerah lain di Indonesia seperti Lembata dan Sumba, tungku tiga batu merupakan budaya dan sekaligus cerminan tingkat ekonomi. Perempuan, gadis, hingga anak-anak adalah mereka yang paling banyak bertanggungjawab untuk mencari dan mengumpulkan kayu bakar.
Dengan perubahan iklim dan musim, mereka harus berjalan lebih jauh lagi untuk mendapatkan kayu bakar. Hal ini menyebabkan mereka kehilangan banyak waktu produktif yang sebenarnya bisa mereka gunakan untuk hal lain, seperti bersosialisasi, menemani anak, hingga soal meningkatkan keterampilan. Pendek kata, kemiskinan energi memicu kemiskinan waktu bagi perempuan.
Lain waktu, lain lagi soal kesehatan. Pembakaran dengan kayu, terutama di ruang dengan ventilasi kurang, memicu dampak negatif pada kesehatan. Asap pekat yang dihasilkan, juga partikel-partikel tak kasat mata yang terlepas ke udara dapat menyebabkan gangguan pernapasan, pneumonia, hingga kanker. Tebak siapa lagi yang sangat terdampak?
Perempuan juga.