Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Jokowi Bukan Trump

17 Agustus 2017   10:46 Diperbarui: 20 Agustus 2017   09:48 2178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tentu saja. Lalu tulisan ini berakhir di sini (wkwkwwk).

Beberapa waktu lalu, junjungan saya Elon Musk menyatakan hal ini:

Benar, Amerika Serikat melalui presidennya yang fenomenal itu telah menyatakan akan keluar dari Paris Agreement, kesepakatan Konvensi Kerja PBB tentang perubahan iklim. Isinya sederhana saja: dunia bersepakat untuk menghentikan pemanasan suhu global hingga tak lebih dari 2 derajat celcius dari level era pra-industri, dan jika bisa, 1,5 derajat Celcius saja. Bersepakat tentunya harus disertai dengan perencanaan dan aksi jangka panjang. Begitu Trump mengumumkan keluarnya AS dari Paris Agreement, banyaklah figur publik dan CEO yang menyatakan keluar dari presidential councils,salah satunya Elon Musk, CEO Tesla dan SpaceX.

Meski secara resmi baru bisa keluar dari Paris Agreement (karena ada aspek legalnya) di tahun 2020, mundurnya Amerika Serikat sebagai salah satu negara penghasil emisi gas rumah kaca (GRK) jelas mempengaruhi motivasi dan komitmen negara lain. Padahal negara-negara di dunia sudah bersepakat bahwa pemanasan global karena perubahan iklim harus ditanggulangi dengan aksi bersama dan dalam skala yang besar. Semakin banyak orang yang tinggal di water-stressed area,tanaman sulit ditumbuhkan, hingga punahnya berbagai spesies (paling ikonik terlihat kepunahannya: beruang kutub).

Di mana posisi Indonesia? Jokowi bukan Trump, dan begitulah yang kita harapkan bahwa Indonesia akan memegang komitmennya dalam mengurangi emisi GRK dan berperan aktif dalam menanggulangi dampak perubahan iklim.

Komitmen Indonesia

Tahun 2010, Indonesia sudah pernah menyatakan komitmen pengurangan emisi GRK pada dunia internasional. Angka yang dijanjikan pada waktu itu adalah mengurangi 26% emisi dari BAU/business as usual (kondisi tanpa aksi apa-apa) di tahun 2020 dengan usaha sendiri dan sebesar 41% dengan bantuan internasional (cocok ya dipakein tagar #KerjaBersama, hehe). Komitmen ini dipertegas dengan berbagai peraturan termasuk peraturan presiden.

Energi adalah salah satu sektor yang menyumbang emisi GRK terbesar (nomor satunya lahan). Pelakunya tidak lain dan tidak bukan adalah bahan bakar fosil. Kehidupan kita dikelilingi bahan bakar fosil, lho. "Masa sih Mbak, aku ke kantor naik sepeda lho, nggak pake BBM kan itu, " ada yang berujar. Bagus, Mbak, tenanan. Masalahnya adalah, kita hidup di era "terang". Kita menikmati listrik untuk penerangan, pendingin ruangan, hingga mengisi daya alat elektronik. Listrik di Indonesia bersumber dari pembangkit listrik batubara. Dan gimanaaa? Yak, batubara adalah bahan bakar fosil.

Komitmen Indonesia pada dunia ini juga ditegaskan oleh Presiden Jokowi melalui nawacita program pemerintahannya, yang mencita-citakan tercapainya kemandiran energi dan ketahanan energi nasional. Di sektor energi, target spesifik yang ingin dicapai adalah porsi energi terbarukan sebesar 23% di tahun 2025. Namanya target ya kudu ambisius ya, cyin.

Transisi Energi dan Potensi Indonesia

dawawsau0aa7dlo-59951158e1f9c24155035ad2.jpg
dawawsau0aa7dlo-59951158e1f9c24155035ad2.jpg

Perubahan iklim dan segala kegiatan manusia yang menyebabkannya memicu adanya pergeseran dalam sektor energi. Pergeseran yang terjadi meliputi banyak hal: paradigma, teknologi, hingga kebijakan. Era ini adalah era transisi energi, di mana dunia secara global punya tujuan untuk melipatgandakan penggunaan energi terbarukan dan efisiensi energi.

Indonesia juga sedang bergerak menuju ke sana. Sebagai negara yang sangat bergantung pada bahan bakar fosil, harus diakui bahwa pengembangan energi terbarukan belum mencapai titik breakthough.Banyak sekali tantangan yang harus diselesaikan, mulai dari kebijakan yang belum optimal, harga yang belum kompetitif, hingga persoalan infrastruktur energi yang belum mumpuni.

Potensi energi terbarukan yang besar di Indonesia agaknya kini mulai disikapi secara serius. Pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) didorong dengan serius, dengan maksud untuk memenuhi kebutuhan energi dan demandyang terus tumbuh, sekaligus misi jangka panjang untuk bisa "menggantikan" pembangkit listrik konvensional yang bertumpu pada batubara. Menurut Rencana Umum Energi Nasional, di tahun 2025 kita bercita-cita PLTP yang kita miliki kapasitas totalnya 7 GW. Kecil? Iya karena 1 digit. Angka itu sebanding dengan kapasitas Unit Pembangkitan Brantas, Unit Pembangkitan Cirata, Unit Pembangkitan Gresik, Unit Pembangkitan Muara Karang, Unit Pembangkitan Muara Tawar, Unit Pembangkitan Perak Grati, dan Unit Pembangkitan Paiton dijadikan satu. Ya kira-kira bisa melistriki sepertiga Jawa Bali.

Potensi energi terbarukan lain di Indonesia sangat berlimpah, terutama tenaga surya. Angkanya diperkirakan berada di kisaran 207 GW. Kalau semua energi ini bisa kita manfaatkan, rasanya beres sudah tantangan energi di negara kita. Saat ini Indonesia baru bisa memanfaatkan 0,04% sajah sodara-sodara. Energi surya ini manis-manis asem gitu memang. Karena harga energi bergantung juga pada harga teknologi, dulu teknologi fotovoltaik (mengubah energi surya menjadi listrik) masih mehong. Selain itu karena surya merupakan intermittent renewable energyalias produksinya nggak bisa terus-terusan karena faktor siang-malam, mendung-cerah; produksinya tidak bisa kontinyu, harus ada cadangan energi lain atau perlu baterai kapasitas besar. Kini teknologinya makin maju, makin matang, banyak yang memproduksi instrumennya; sehingga pembangkit listrik tenaga surya mulai banyak dipakai dan digemari. Bangunan milik pemerintah dan badan usaha milik negara juga sudah banyak yang menggunakan, misalnya Angkasa Pura dan Kementerian ESDM.

Energi terbarukan adalah energi yang digadang-gadang dapat memberikan solusi bagi daerah-daerah miskin energi dan tidak terjangkau jaringan PLN. Dengan memiliki pembangkit mandiri yang sesuai dengan potensi lokal (tak cuma surya, bisa juga angin, biomassa, mikrohidro, dsb), maka tantangan infrastruktur bisa "dikalahkan". Kamanggih, salah satu desa di Sumba, adalah salah satu contoh desa mandiri energi yang kebutuhan listriknya tercukupi dari pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) dan tenaga angin. PLTMH itu dibangun bersama, masyarakat bergotongroyong "melubangi" bukit untuk membuat aliran air. Desa itu kini terang, berdaya, dan menjadi desa percontohan.

Bisakah kita mengulang dan menyalin keberhasilan Kamanggih di desa-desa lain di Indonesia?

Indonesia sedang bergerak ke arah yang benar, but we are not moving fast enough.Menurut laporan Climate Transparency, kita masih tertinggal dari negara-negara G20 lain terkait pemanfaatan energi terbarukan dan transisi menuju green and low-carbon economy. PR Jokowi jelas masih banyak.

Berani berkomitmen, harus juga berani melaksanakan. Jangan ikut-ikutan Trump ya Pak Jokowi.

Salam hangat,

Citra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun