Perubahan iklim dan segala kegiatan manusia yang menyebabkannya memicu adanya pergeseran dalam sektor energi. Pergeseran yang terjadi meliputi banyak hal: paradigma, teknologi, hingga kebijakan. Era ini adalah era transisi energi, di mana dunia secara global punya tujuan untuk melipatgandakan penggunaan energi terbarukan dan efisiensi energi.
Indonesia juga sedang bergerak menuju ke sana. Sebagai negara yang sangat bergantung pada bahan bakar fosil, harus diakui bahwa pengembangan energi terbarukan belum mencapai titik breakthough.Banyak sekali tantangan yang harus diselesaikan, mulai dari kebijakan yang belum optimal, harga yang belum kompetitif, hingga persoalan infrastruktur energi yang belum mumpuni.
Potensi energi terbarukan yang besar di Indonesia agaknya kini mulai disikapi secara serius. Pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) didorong dengan serius, dengan maksud untuk memenuhi kebutuhan energi dan demandyang terus tumbuh, sekaligus misi jangka panjang untuk bisa "menggantikan" pembangkit listrik konvensional yang bertumpu pada batubara. Menurut Rencana Umum Energi Nasional, di tahun 2025 kita bercita-cita PLTP yang kita miliki kapasitas totalnya 7 GW. Kecil? Iya karena 1 digit. Angka itu sebanding dengan kapasitas Unit Pembangkitan Brantas, Unit Pembangkitan Cirata, Unit Pembangkitan Gresik, Unit Pembangkitan Muara Karang, Unit Pembangkitan Muara Tawar, Unit Pembangkitan Perak Grati, dan Unit Pembangkitan Paiton dijadikan satu. Ya kira-kira bisa melistriki sepertiga Jawa Bali.
Potensi energi terbarukan lain di Indonesia sangat berlimpah, terutama tenaga surya. Angkanya diperkirakan berada di kisaran 207 GW. Kalau semua energi ini bisa kita manfaatkan, rasanya beres sudah tantangan energi di negara kita. Saat ini Indonesia baru bisa memanfaatkan 0,04% sajah sodara-sodara. Energi surya ini manis-manis asem gitu memang. Karena harga energi bergantung juga pada harga teknologi, dulu teknologi fotovoltaik (mengubah energi surya menjadi listrik) masih mehong. Selain itu karena surya merupakan intermittent renewable energyalias produksinya nggak bisa terus-terusan karena faktor siang-malam, mendung-cerah; produksinya tidak bisa kontinyu, harus ada cadangan energi lain atau perlu baterai kapasitas besar. Kini teknologinya makin maju, makin matang, banyak yang memproduksi instrumennya; sehingga pembangkit listrik tenaga surya mulai banyak dipakai dan digemari. Bangunan milik pemerintah dan badan usaha milik negara juga sudah banyak yang menggunakan, misalnya Angkasa Pura dan Kementerian ESDM.
Energi terbarukan adalah energi yang digadang-gadang dapat memberikan solusi bagi daerah-daerah miskin energi dan tidak terjangkau jaringan PLN. Dengan memiliki pembangkit mandiri yang sesuai dengan potensi lokal (tak cuma surya, bisa juga angin, biomassa, mikrohidro, dsb), maka tantangan infrastruktur bisa "dikalahkan". Kamanggih, salah satu desa di Sumba, adalah salah satu contoh desa mandiri energi yang kebutuhan listriknya tercukupi dari pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) dan tenaga angin. PLTMH itu dibangun bersama, masyarakat bergotongroyong "melubangi" bukit untuk membuat aliran air. Desa itu kini terang, berdaya, dan menjadi desa percontohan.
Bisakah kita mengulang dan menyalin keberhasilan Kamanggih di desa-desa lain di Indonesia?
Indonesia sedang bergerak ke arah yang benar, but we are not moving fast enough.Menurut laporan Climate Transparency, kita masih tertinggal dari negara-negara G20 lain terkait pemanfaatan energi terbarukan dan transisi menuju green and low-carbon economy. PR Jokowi jelas masih banyak.
Berani berkomitmen, harus juga berani melaksanakan. Jangan ikut-ikutan Trump ya Pak Jokowi.
Salam hangat,
Citra