Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menjadi Perempuan Pintar

13 Agustus 2017   15:53 Diperbarui: 17 Agustus 2017   20:05 3580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Tentu dalam kehidupan nyata memang ada mereka-mereka yang suka merendahkan orang lain yang dianggap tak sederajat tingkat pendidikannya ya).

Saya juga adalah tipe orang yang banyak bertanya, lebih karena ketidaktahuan atau ketidakyakinan akan sesuatu, bukan karena tak mau diatur atau ngetes orang (nggak kok, nggak sering wkwkwkwk). Kebiasaan ini muncul karena dalam model pendidikan tinggi (S1 ke atas), kita diharapkan (dan dibiasakan) untuk kritis. Kalau kata profesor pembimbing saya dulu, "melakukan penelitian nggak boleh baper, apa yang kamu kerjakan sekarang bisa saja dibuktikan berbeda di masa yang akan datang." Maka mempertanyakan sesuatu dalam kerangka kritis sangatlah penting. Buruknya, kebiasaan ini bisa menjadi opticsyang nggak enak: dianggap nggak mau diatur.

Lalu menurut saya anggapan "sombong dan arogan ini" juga sedikit banyak berhubungan dengan ketidakamanan alias insyekyuritas. Ketika kita merasa insyekyur, otak kita akan menerjemahkan perlakuan orang lain yang tak sesuai bayangan kita sebagai "ancaman". Atasan saya saat ini adalah seseorang yang tak hanya pintar dan cerdas, juga punya pengalaman panjang dan mumpuni di bidangnya. 

Setiap kali berdiskusi dengannya, saya harus belajar jauh-jauh hari untuk mengimbangi ujaran dan pendapatnya (insyekyur, cyin). Tentu nggak jarang beliau mementahkan pendapat saya atau menambahkan hal-hal yang terlupa, yang bisa jadi menyakitkan kalau tidak terbiasa dengan caranya. Tapi apakah saya menganggap beliau arogan? No.Karena faktanya beliau tahu lebih banyak daripada saya, mental yang saya bangun adalah mental ingin tahu dan ingin meningkatkan kemampuan.

Prove versus improve

Dalam dunia yang penuh hal-hal superfisial ini, bersekolah tinggi juga memiliki aspek pembuktian. Bagi perempuan yang banyak dikelilingi dengan anggapan ini itu mengenai bersekolah tinggi, keinginan untuk membuktikan sesuatu biasanya muncul. Ada yang ingin membuktikan bahwa perempuan juga bisa menjadi ahli di bidang-bidang maskulin seperti teknik dan sains, ada yang ingin membuktikan bahwa berasal dari desa tak serta merta membuat mereka kurang bisa bersaing dengan yang lahir di kota, ada pula yang ingin membuktikan bahwa mereka yang bersekolah tinggi bisa lho menjalani peran-peran yang beragam, baik di lingkup karir mau pun rumah tangga.

Bagi saya, prove seyogyanya disandingkan dengan improve. Kedua hal ini sifatnya personal, dengan prove kita bisa melihat seberapa jauh kita berjalan, dengan improve kita bisa merefleksikan makna perjalanan dan pembuktian itu. Apakah dengan bersekolah tinggi kita menjadi manusia yang lebih bijaksana? Apakah dengan bersekolah tinggi kita memiliki wawasan yang lebih terbuka? Apakah dengan bersekolah tinggi kita mampu memiliki kompetensi yang lebih baik dibanding beberapa tahun lalu? Pasangan prove dan improve inilah yang sepertinya dapat menjauhkan kita dari (secara tidak sadar menjadi) sombong dan arogan dan sifat-sifat kurang baik lainnya.

Setiap zaman dan orang memiliki standar "normal" yang berbeda

Tiga dekade lalu, lulus Sekolah Pendidikan Guru (SPG) sudah cukup bagi mereka yang ingin menjadi guru. SPG adalah sekolah setara SMA. Kini, menjadi guru memerlukan kompetensi lebih yang didapatkan dengan belajar lebih tinggi: S1 hingga S3. Ibu saya yang lulusan SPG pun kemudian kuliah lagi, menimba ilmu baru, meng-upgradeketerampilan menyesuaikan perkembangan zaman (dan dilakukannya tanpa membuat keluarga terbengkalai!). Maka kita tak bisa menutup mata bahwa tiap zaman memiliki tantangan dan standar "normal" yang berbeda. 

Bersekolah tinggi kini makin menjadi tren, seiring dengan kemudahan melihat dunia dan juga pertanda bahwa kepandaian kita bergerak maju, nggak jalan di tempat. Yang tetap menjadi pegangan dan tak berubah sejak dulu adalah soal mengupayakan diri menjadi pintar dan berwawasan (lepas dari pendidikan formal dan gender). Kini medianya menjadi beragam dan kesempatan pun banyak tersedia.

Secara personal, standar "normal" juga berbeda-beda untuk masing-masing orang. Ada yang punya jiwa pembelajar namun enggan bersekolah formal, lalu normal bagi mereka adalah banyak belajar mandiri dan mencari mentor. Ada pula yang "normalnya" adalah sekolah di luar negeri sampai tamat S3, karena begitulah budaya keluarga dan apa yang ingin dicapainya. Nggak ada yang salah. Mau berprestasi sampai sejauh apa juga itu wajar aja, siapa tahu memang itu standar ybs.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun