Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menjadi Perempuan Pintar

13 Agustus 2017   15:53 Diperbarui: 17 Agustus 2017   20:05 3580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sembilan tahun lalu (hah baru berasa tuanya wkwkwk), ketika saya memutuskan untuk melanjutkan studi ke luar negeri dan mengejar gelar S3; ujaran dan "concern" (yang entah tulus atau tidak) mengenai kodrat dan peran perempuan hingga soal jodoh itu sudah ada. Bedanya saat itu dunia internet masih relatif normal, WhatsApp belum ada, sehingga memesoal perempuan kesulitan jodoh karena berpendidikan tinggi hingga debat soal perempuan yang sekolah tinggi dan akhi-akhi cupet serta balasan untuk tante "sukses" juga belum beredar.

Sejak perempuan mulai mendapatkan kesempatan untuk belajar lebih tinggi, lebih jauh, hingga mempunyai karir yang sebelumnya tak terbayangkan, perdebatan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan gender sudah ada, dan akan selalu ada. Begitulah yang namanya perubahan, akan muncul banyak diskusi, diskursus mengenai apa perbedaan dulu dan sekarang, mana yang "harus" mana yang "baiknya". Dalam lingkup budaya kita, diskursus mengenai perempuan yang sekolah tinggi hampir selalu dibarengi dengan pembahasan budaya ketimuran, agama, sampai soal jodoh.

Apa pendapat saya?

Debat membuat kita melupakan satu hal yang esensial: cause

Lupakan soal "laki-laki nggak mau sama perempuan pintar yang (katanya) makin pintar makin susah diatur" dan "perempuan pintar nggak mau sama lelaki yang dikit-dikit insyekur". Perdebatan ini mengalihkan kita dari hal yang penting dan mendasar: apa tujuan para perempuan ini bersekolah hingga tinggi? Saya lihat banyak dari mereka yang memang percaya akan sesuatu, they believe in a cause and want to work on that cause.

Apa yang bahasa Indonesia yang tepat untuk cause? Sebut saja tujuan. Saya percaya jarang sekali para perempuan yang jika ditanya apa alasannya melanjutkan kuliah S2 dan S3, jawabannya adalah iseng (saya pernah menjawab begitu, mwihihihi). Mereka melakukannya karena mereka punya tujuan, dan tujuan itu yang menjadi motivasi mereka memulai perjalanan panjang belajar bahasa Inggris/bahasa negara tujuan, menulis esai, menulis laporan, melakukan penelitian. It is a long journey, and often, a painful one. Dan untuk apa mereka mau bersusah-susah? Because they believe in something.

Ada yang ingin mendidik generasi muda bangsa ini dengan menjadi dosen. Ada yang ingin berkontribusi lebih pada pembangunan bangsa dengan menjadi ahli di bidangnya. Ada pula yang ingin mendapatkan ilmu lebih luas untuk mendidik anak-anaknya. Yang sangat personal pun banyak: ingin merasakan sekolah tinggi karena berasal dari keluarga kurang mampu dan sekolah bagaikan mimpi, ingin selanjutnya berkarir dengan pendapatan lebih baik sehingga dapat menghidupi keluarga, ingin berguru pada seorang ahli dan maestro di bidangnya.

Mereka yang tak lelah belajar selalu mengagumkan di mata saya. Selain perlu komitmen dan konsistensi, mereka juga selalu punya cerita mengenai perjalanan terjal yang mereka ambil. Di mata saya, kontribusi yang diberikan oleh para perempuan bersekolah tinggi ini pada perkembangan dirinya, keluarganya, dan masyarakat di sekitarnya adalah fokus yang lebih menarik untuk dibahas. Lebih hangat di hati mendengarkan cerita tentang mereka yang berkarya dengan memmberikan dampak yang positif dan luas untuk orang-orang di sekitar mereka.

Rasanya tak ada orang yang bercita-cita menjadi sombong dan arogan

Benar atau benar? Hahaha. Saya pikir tak ada orang yang ingin menjadi orang yang kerjanya merendahkan orang lain. Bahwasanya kemudian ada anggapan bahwa perempuan yang bersekolah tinggi akan menjadi perempuan yang tidak mau diatur, sombong, dan arogan ini bagi saya perlu dipertanyakan kesahihan dan metode penelitiannya (halaaaaah). Anggapan adalah mengenai opticsatau "citra yang terlihat" (maaf saya agak henghong menerjemahkan ini), dan karenanya, bersifat subjektif sesuai dengan penerimaan siapa yang melihatnya.

Bahwa pendidikan akan mempengaruhi pola pikir, ya. Karena terpapar pada hal-hal baru, lebih luas, lebih mendalam, lebih banyak variasinya; pendidikan memang membukakan mata. Itu bagi mereka yang bisa meresapinya. Keberanian dan kepercayaan diri juga meningkat dengan lebih banyak pengetahuan yang kita miliki. Apakah dua hal ini yang kemudian diasosiasikan dengan sombong dan arogan? Mungkin. Apakah kebiasaan untuk mempertanyakan banyak hal yang sering menjadi basis pembelajaran dan penelitian yang kemudian diasosiasikan dengan "sulit diatur"? Bisa jadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun