Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kata Siapa Minat Baca Indonesia Rendah?

25 April 2017   18:20 Diperbarui: 6 September 2017   08:27 12791
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah penyelenggaraan pameran buku bertajuk Big Bad Wolf (BBW) di Jakarta, saya penasaran. Pertanyaan besarnya satu saja: jika ada studi yang mengatakan bahwa Indonesia minat bacanya rendah, lalu mengapa pameran buku BBW ini fenomenal dan menarik banyak pengunjung?

Apakah semata karena harga murah sehingga banyak yang beli untuk dibaca entah kapan? Apakah para kutu buku yang selama ini sembunyi terjaga dengan segera di momen istimewa ini? Ataukah ramainya karena para ibu perkasa yang menyediakan jasa titipan (jastip) bagi mereka yang tak bisa datang ke sana?

Sementara pertanyaan itu saya renungkan jawabannya (halah), saya justru kemudian tertarik untuk mengetahui studi mana sih yang menyebutkan minat baca Indonesia itu rendah.

Studi dari Amerika

“Prestasi” Indonesia sebagai negara dengan minat baca rendah ini agaknya pertama kali disebut oleh mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan di tahun 2016 dalam sebuah acara (silakan merujuk ke sini). Dari sana saya beranjak ke website universitas yang melakukan studinya, yaitu Central Connecticut State University. Studi mengenai minat baca tersebut bertajuk “World’s Most Literate Nation”. “Literate” sendiri secara tunggal berarti melek huruf atau bisa membaca (dan menulis). Jika dilihat dari judulnya saja, ini tidak menyinggung soal minat baca, karena bisa membaca tak lantas menyiratkan kesukaan (minat) membaca.

Maka saya membaca metodologi dan sumber datanya, karena saya lebih penasaran lagi bagaimana mereka melakukan studi tersebut. Di deskripsi studinya, langsung dinyatakan bahwa studi ini bukan soal kemampuan membaca namun perilaku membaca. Di sana juga tercantum:

The World’s Most Literate Nations (WMLN) is a descriptive study of rank orders created from a collection of variables of two kinds: those related to tested literacy achievement and those representing examples of literate behaviors. The latter include 15 variables grouped under five categories, including Libraries, Newspapers, Education System - Inputs, Education System - Outputs, and Computer Availability, as well as population, which is used for establishing per capita ratios, where appropriate.

Jadi studi ini menggunakan variabel pencapaian literasi (kemampuan baca) dan variabel yang mewakili contoh-contoh perilaku membaca (literasi). Variabel yang mereka gunakan dikelompokkan tersendiri, dan datanya diambil dari data-data yang tersedia secara publik, misalnya dari UNESCO dan PBB. Jadi mereka tidak mengadakan survei menanyakan pada berapa responden mengenai minat baca. Mereka mengelompokkan variabel tersebut dalam 5 kategori: Perpustakaan, Koran, Sistem Pendidikan – Input, Sistem Pendidikan – Keluaran, dan Ketersediaan Komputer.

Yang Menarik dari Studi Ini

Saya pikir yang menarik dari studi ini adalah interpretasinya bagi kita. Secara keseluruhan memang kita ranking 60 dari 61 negara yang menjadi objek studi. Pemilihan 61 ini bukan tanpa alasan, karena sesungguhnya negara yang masuk dalam studi ini lebih dari itu, hanya saja banyak negara yang tidak ditemukan datanya.

Jadi berbahagialah kita karena belum tentu juga kita paling bontot.

Yang kedua, studi ini juga mempertimbangkan basis per kapita. Misalnya untuk jumlah perpustakaan, tentu saja akan nggak adil jika membandingkan perpustakaan di Finlandia yang penduduknya “cuma” 5,5 jutaan dengan Indonesia yang 250 jutaan. Dengan jumlah penduduk di negara kita yang buanyak, maka bisa dibilang “wajar” jika salah satu variabel dalam studi ini menunjukkan kita ada di ranking bontot.

Tapi jumlah perpustakaan kita per kapita ada di ranking tengah-tengah, 36.5 (rankingnya pake setengah, hihi).

Setahu saya (dari Ibu yang guru), dengan dana BOS yang dianggarkan pemerintah untuk masing-masing sekolah, perpustakaan memang menjadi salah satu prioritas. Dengan dana tersebut, sekolah dapat membeli buku dan menganggarkan pembangunan perpustakaan yang layak. Pemerintah juga memberikan banyak paket buku di luar dana BOS. Mungkin itu salah satu faktor yang mempengaruhi ranking Indonesia di kategori perpustakaan, karena jumlah perpustakaan dan jumlah buku masuk hitungan.

Selanjutnya, studi ini juga menemukan bahwa input nggak berhubungan dengan keluaran. Dalam Sistem Pendidikan – Input itu isinya ada tahun wajib belajar dan persentase dana pemerintah untuk pendidikan (% GDP). Keluarannya adalah skor tes membaca yang dikeluarkan oleh PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study) dan PISA (Programme for International Student Assessment). Lucunya, dari semua negara yang dipelajari, hubungan antara input, misalnya anggaran, tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan keluarannya (kemampuan membaca). Nah, lho!

Koleksi pribadi
Koleksi pribadi
Koleksi pribadi
Koleksi pribadi
Dari dua gambar itu, negara yang sama-sama ada di 10 besar cuma Belanda dan Belgia. Indonesia inputnya ada di urutan 54, sementara keluaran di ranking 45. Brazil yang inputnya nomor 1 ada di ranking keluaran 55.

Bangga dulu apa terpacu untuk menganggarkan lebih nih?

Indonesia sendiri berada di urutan 60 dengan nilai individu untuk masing-masing variabel sbb:

Koleksi pribadi
Koleksi pribadi
Ketersediaan komputer memang minim sih ya, secara negara kita juga masih bergulat untuk melistriki Indonesia. Jumlah perpustakaan per kapita kita ada di golongan tengah, lebih baik dari Thailand yang ranking 59. Jadi memang seperti disebutkan oleh penelitinya, studi ini lebar sekali interpretasinya. Misalnya kategori Newspaper dibedah menjadi beberapa variabel, salah satunya jumlah sirkulasi. Mungkin diasumsikan bahwa sirkulasi tinggi = banyak yang baca. Jangan-jangan buat bungkus gorengan, ye kan? Jadi ya tinggal bagaimana kita menelaah studi ini dan menyikapinya. Lagipula yang saya baca juga baru overview, belum studi lengkap di buku yang diterbitkan penelitinya (bayar je…).

Jadi, sebenarnya kita literate apa nggak nih?

XOXO,

Citra

P.S. Silakan berkunjung ke CCSU ya untuk baca overview studi tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun