Saya baru mendaftar BPJS Kesehatan tahun lalu. Sebagai keluarga PNS (orangtua saya), dulu setiap anggota keluarga terlindungi Askes. Kalau dipikir-pikir memang ekslusif ya asuransinya, yang mendapatkan hanya mereka yang bekerja pada negara. Ketika BPJS Kesehatan diluncurkan, mereka yang menjadi peserta Askes otomatis terdaftar.
Saya, yang sudah tak berumur 21 (*uhuk!), sudah sejak lama “terlempar” dari penerima manfaat Askes. Tapi saya memang tak segera mendaftar BPJS Kesehatan ketika program ini diluncurkan di awal tahun 2014. Pertama, masih skeptis dengan pelaksanaannya. Kedua, sebagai bagian dari kaum menengah (yang katanya) ngehe itu, alasan yang pertama itu rasional untuk membuat kami menggunakan asuransi swasta. Ketiga, kebetulan kerja di kantor mendapatkan asuransi rawat inap yang lumayan.
Menurut UU BPJS Pasal 14, setiap warga negara Indonesia dan warga asing yang sudah berdiam di Indonesia selama minimal enam bulan wajib menjadi anggota BPJS Kesehatan. Sebagai warga negara yang baik (percayalah, saya berusaha, hihi), maka tengah tahun 2015, saya akhirnya mendaftar menjadi peserta. Di masa itu, selain banyak harapan digantungkan pada program JKN ini, banyak pula cerita tak mengenakkan yang menyertainya. Mulai dari proses pendaftaran yang berbelit-belit hingga soal pelayanan kurang memuaskan di fasilitas kesehatan yang mengakomodasi BPJS Kesehatan.
Sebelum berangkat ke kantor BPJS setempat, saya mengafirmasi diri. “Citra, kamu yakin?”
Berkaca pada Taiwan
Sebelum kembali ke Indonesia, saya tinggal di Taiwan. Di sana, serupa dengan aturan BPJS Kesehatan, warga asing juga harus mendaftar asuransi kesehatan nasional yang disebut national health insurance (NHI). Terlepas dari keharusannya, menjadi peserta NHI di Taiwan jauh lebih banyak manfaatnya daripada tidaknya.
Manfaat yang paling utama adalah harga layanan kesehatan yang menjadi cukup terjangkau dibanding tanpa NHI. Selain itu jangkauannya luas, tak hanya di fasilitas kesehatan milik pemerintah, klinik swasta juga menerima NHI. Harga terjangkaunya tadi menjadi daya tarik tersendiri sampai-sampai banyak orang Taiwan di Amerika Serikat yang mempertahankan kewarganegaraan ganda mereka untuk berobat. “If I get sick, I go to Taiwan, medical care is much cheaper than the US,” teman ABC (American Born Chinese) saya pernah bilang.
Mirip juga dengan Program Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan, mereka yang tidak mampu membayar tentu saja akan dibiayai pemerintah. Karena sistemnya yang asuransi banget, pembayaran preminya tidak didasarkan pada kelas pelayanan kesehatan yang dipilih, melainkan pada penghasilan dan kategori profesi (PNS, petani, mahasiswa, pekerja asing, dsb). Secara sederhana memang semakin besar penghasilannya, makin mahal. Mahasiswa seperti saya bayarnya sekitar 250 ribu per bulan (kurs saat itu), itu sudah disubsidi pemerintah 40%-nya, jadi sebenarnya yang harus saya bayarkan lebih dari itu. Mahal? Jika dibandingkan dengan fasilitas dan layanan yang saya dapat, saya berani bilang tak mahal.
Yang menarik dari NHI ini adalah soal kenaikan premi. Saya lupa tepatnya tahun berapa, premi NHI ini naik dan menimbulkan protes yang cukup panjang di kalangan masyarakat Taiwan. Pada penerapannya program asuransi nasional seperti NHI memang membutuhkan dana yang besar. Karena cakupannya yang meliputi seluruh warga negara dan untuk sekian banyak aspek kesehatan, pengeluaran pemerintah untuk membayar (expenditure) memang melebihi penerimaan premi (revenue).
Pemerintah sempat mengeluarkan pajak tembakau untuk menutupi perbedaan ini, dan berencana untuk meningkatkan pajak tembakau guna mensubsidi NHI. Selain itu ada pula extra-charge untuk mereka yang kemampuan finansialnya lebih sehingga bisa mensubsidi silang yang lainnya. Ada pula sistem co-payment, pembayaran ekstra untuk pelayanan kesehatan di luar cakupan NHI, yang dianggap malah membebani mereka yang kurang mampu.
NHI memang ada plus-minusnya.