Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menggugat Machiavelli

13 September 2016   17:15 Diperbarui: 13 September 2016   21:28 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini, saya menggugat Machiavelli.

When in doubt, ask and find out.

Mantra yang sering diajarkan mendiang Bapak saya adalah jangan, jangan pernah merasa terlalu pintar, terlalu tahu, terlalu jumawa untuk bertanya. Dulu saya berpikir bahwa ini hanya perkara mengerjakan PR dan memahami pelajaran di sekolah. Hanya saja, dengan semakin bertambahnya umur dan pengalaman yang saya dapat, mantra itu ternyata tak terbatas di ruang kelas. Dalam berbagai hal, saya menemukan bahwa dalam keragu-raguan, dalam ketidakpastian, dalam ketidaktahuan; bertanya adalah salah satu jalan untuk memahami. Saya berterima kasih atas proses bertanya dan menemukan yang saya jalani hingga akhirnya saya bertemu dengan lipcream yang sekarang saya bawa terus di tas.

Di era digital, termasuk di dalamnya merebaknya sosial media, bertanya dan menemukan menjadi mudah. Only one click away.

Tapi jarak satu klik itu juga memiliki sisi gelapnya sendiri. Kerusuhan yang berakhir dengan perusakan tempat ibadah di Tanjung Balai ditengarai muncul karena ujaran kebencian (hate speech) yang menyebar di media sosial. Polemik mengenai Gubernur Jakarta yang fenomenal juga mengerucut pada persoalan agama (selain juga kesukuan), meme dengan berbagai ujaran baik dari sisi yang mendukung mau pun menolak banyak bertebaran dan dibagikan. Foto putera bungsu Presiden Jokowi yang tersenyum lebar dengan seorang gadis di Instagram pun tak ketinggalan dibanjiri komentar yang menyangkut agama.

The hate is then also one click away.

That one-click-away is a trap.

Iya, gelombang Renaissance kedua dan kemudahan satu klik itu bisa menjadi jebakan. Tanpa kehati-hatian, tanpa langkah panjang mencari tahu, tanpa petunjuk arah yang jelas; satu status di media sosial bisa menjadi sumber kejengkelan. Hati yang masygul bisa menjadi pikiran yang tak jernih. Kegamangan pikir diterjemahkan dalam tindakan, legalah kita bila itu tak merugikan, bahayanya kita bila itu menyengsarakan orang lain.

Di sinilah saya tak sependapat dengan Machiavelli. Di tengah banjir informasi, bukanlah soal siapa cepat dia yang akan menang, ini adalah tentang permenungan. Ask and find out. Apakah benar menurut berita di AAA bahwa BBB melecehkan agama tertentu dengan ucapannya? Apakah benar sekian banyak orang dengan agama tertentu menjadi korban kebrutalan agama lain di daerah CCC? Apakah benar bahwa sekelompok orang dilarang melaksanakan ibadah dan memiliki tempat ibadah di negara DDD?

Dunia beralih dengan cepat, tapi kita tak boleh gegabah. Mencari itu itu juga mudah, asal kita mau. Banyak sumber yang bisa ditemui di dunia digital, asal kita tak terpatok pada satu referensi. Ada fasilitas berkomentar di Facebook, ada fasilitas menyebut di Twitter, ada fasilitas berdiskusi di Kaskus. Caranya banyak. Don’t tell me there isn’t a way, because there are many. Tanya dan temukan.

Hal tak sederhana yang pernah diajarkan mendiang Bapak lainnya adalah soal berteman. Carilah teman (yang banyak). Pesan yang dulu saya terjemahkan dalam jumlah ini ternyata soal keberagaman. Bagaimana kita tahu mengenai pemeluk agama lain jika kita sendiri tak pernah berinteraksi secara langsung dengan mereka? Seringkali membicarakan orang lain dan membenci mereka yang berbeda terasa lebih mudah bila kita tak mengenal mereka secara pribadi. Seringkali melontarkan kebencian dan kemarahan pada mereka yang berbeda terasa lebih mudah ketika tak berdiri di hadapan mereka. Seringkali sesat pikir dan salah paham pada mereka yang berbeda terasa lebih mudah hinggap ketika tak punya teman berbeda yang pernah atau biasa kita temui.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun