Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menggugat Machiavelli

13 September 2016   17:15 Diperbarui: 13 September 2016   21:28 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai seorang yang wanita yang memperlakukan alat berdandan sebagai sesuatu yang bukan kebutuhan pokok, saya termasuk “buta” kosmetik. Selain tidak mengikuti perkembangan tren make up,saya juga tak banyak tahu mengenai merk apa saya yang sedang naik daun. Begitu sudah ketemu satu yang cocok, saya biasanya setia dengan itu-itu saja sampai entah kapan.

Beberapa minggu lalu saya tertarik untuk mencoba produk kosmetik dari produsen dalam negeri. Di tengah gempuran produk luar, baik dari negara Barat mau pun negara Timur, kemunculan produk lokal dengan kualitas bagus memang menjadi angin segar. Saya pun tertarik mencoba lipcream buatan Indonesia yang banyak diulas beauty blogger. Ada yang positif, ada yang kurang suka, jumlahnya cukup berimbang. Hmmmm, mulailah saya bingung.

Dari kebingungan itu, langkah selanjutnya begitu mudah. Menelusuri jejak digital, melihat lebih banyak lagi review, bertanya pada penjual di toko daring, hingga bertanya pada teman yang memang menggunakan produk tersebut. Maka pada suatu pagi, saya memutuskan dengan yakin: saya akan membeli lipcream merk XXX tersebut.

And I love it.

Renaissance Kedua

Sekitar lima ratus tahun yang lalu, gelombang perubahan budaya yang drastis terjadi di Eropa. Dimulai dari sebuah kota kecil bernama Florence di Italia, gelombang ini menyapu Eropa dan memunculkan nama-nama besar serta menancapkan pengaruh yang dalam di berbagi segi. Seni, musik, politik, literatur, hingga agama, banyak aspek intelektual merasakan pengaruh humanism, efek yang kita lihat hingga sekarang.

Salah satu pelaku yang berperan dalam penyebaran humanism di periode Renaissance ini adalah Johannes Gutenberg.

Tak kenal Gutenberg? Pria ini adalah penemu mesin cetak. Penemuannya mengubah cara masyarakat waktu itu dalam menyebarkan informasi. Ide-ide baru yang bermunculan dari satu titik di Italia dengan cepat meluas ke seluruh Eropa, beranak-pinak di tempat yang lain, berkembang menjadi ide baru dengan nafas lokal. Humanism menyebar bagaikan bola api, mengubah sejarah Eropa dan menjembatani abad pertengahan dengan abad modern.

Menurut penulis Ian Goldin dan Chris Kutarna, saat ini kita sedang berada di periode Renaissance kedua. Serupa dengan yang terjadi di Eropa lima ratus tahun yang lalu, dunia digital mengubah persebaran informasi dan cara kita melakukan sesuatu. Gutenberg saat itu adalah dunia digital saat ini. Memacu perubahan dengan dengan kecepatan yang juga dramatis, mempengaruhi banyak aspek dalam hidup, termasuk aspek intelektual. Masih ingatkah Anda kapan terakhir kali Anda ke Kantor Pos untuk mengirim uang dengan wesel atau menerima telegram? Masih ingatkah Anda terakhir kalinya mencari RUPL di dasar lemari karena Anda tak ingat apa mata uang negara Zimbabwe? Atau kapankah terakhir kalinya Anda mengirim surat pada keluarga nun jauh di sana, lengkap dengan foto yang di-afdruk di tukang foto?

Beberapa di antara kita bisa jadi bahkan tak tahu semua kegiatan itu. Kini, semua itu bisa dilakukan dengan satu klik. Another one-click-away example.

Di masa Renaissance dulu, ada satu orang yang tanggap dengan perubahan besar itu: Machiavelli. Pandangan dan pendapatnya mengenai politik memang membuatnya dianggap sebagai seseorang yang buruk, namun lepas dari itu, Machiavelli mengamati bahwa dalam gelombang perubahan yang dahsyat itu, ia justru tak boleh berhati-hati.Menurut cerita, ia pernah memberikan nasihat kepada dua seniman besar masa itu, DaVinci dan Michelangelo, bahwa lebih baik menjadi pemburu risiko dibanding terlalu berhati-hati. Perubahan besar yang terjadi di masa itu adalah sumber kompetisi, dan menurut Machiavelli, tak ada gunanya berhati-hati, lebih baik terus mengerjakan sesuatu dan berani mengambil risikonya. Pemikirannya yang tajam dan berbeda mengenai politik dituangkannya dengan cermat dalam pelbagai tulisan, dan penemuan Gutenberg membuat tulisannya mudah dibagikan ke penjuru Eropa.

Jika kita secara alami justru enggan mengambil risiko ketika kita melihat kondisi yang membingungkan, penuh keragu-raguan, dan berubah drastis; Machiavelli justru kebalikannya. Dia bereaksi, dia merespon dengan cepat.

Hari ini, saya menggugat Machiavelli.

When in doubt, ask and find out.

Mantra yang sering diajarkan mendiang Bapak saya adalah jangan, jangan pernah merasa terlalu pintar, terlalu tahu, terlalu jumawa untuk bertanya. Dulu saya berpikir bahwa ini hanya perkara mengerjakan PR dan memahami pelajaran di sekolah. Hanya saja, dengan semakin bertambahnya umur dan pengalaman yang saya dapat, mantra itu ternyata tak terbatas di ruang kelas. Dalam berbagai hal, saya menemukan bahwa dalam keragu-raguan, dalam ketidakpastian, dalam ketidaktahuan; bertanya adalah salah satu jalan untuk memahami. Saya berterima kasih atas proses bertanya dan menemukan yang saya jalani hingga akhirnya saya bertemu dengan lipcream yang sekarang saya bawa terus di tas.

Di era digital, termasuk di dalamnya merebaknya sosial media, bertanya dan menemukan menjadi mudah. Only one click away.

Tapi jarak satu klik itu juga memiliki sisi gelapnya sendiri. Kerusuhan yang berakhir dengan perusakan tempat ibadah di Tanjung Balai ditengarai muncul karena ujaran kebencian (hate speech) yang menyebar di media sosial. Polemik mengenai Gubernur Jakarta yang fenomenal juga mengerucut pada persoalan agama (selain juga kesukuan), meme dengan berbagai ujaran baik dari sisi yang mendukung mau pun menolak banyak bertebaran dan dibagikan. Foto putera bungsu Presiden Jokowi yang tersenyum lebar dengan seorang gadis di Instagram pun tak ketinggalan dibanjiri komentar yang menyangkut agama.

The hate is then also one click away.

That one-click-away is a trap.

Iya, gelombang Renaissance kedua dan kemudahan satu klik itu bisa menjadi jebakan. Tanpa kehati-hatian, tanpa langkah panjang mencari tahu, tanpa petunjuk arah yang jelas; satu status di media sosial bisa menjadi sumber kejengkelan. Hati yang masygul bisa menjadi pikiran yang tak jernih. Kegamangan pikir diterjemahkan dalam tindakan, legalah kita bila itu tak merugikan, bahayanya kita bila itu menyengsarakan orang lain.

Di sinilah saya tak sependapat dengan Machiavelli. Di tengah banjir informasi, bukanlah soal siapa cepat dia yang akan menang, ini adalah tentang permenungan. Ask and find out. Apakah benar menurut berita di AAA bahwa BBB melecehkan agama tertentu dengan ucapannya? Apakah benar sekian banyak orang dengan agama tertentu menjadi korban kebrutalan agama lain di daerah CCC? Apakah benar bahwa sekelompok orang dilarang melaksanakan ibadah dan memiliki tempat ibadah di negara DDD?

Dunia beralih dengan cepat, tapi kita tak boleh gegabah. Mencari itu itu juga mudah, asal kita mau. Banyak sumber yang bisa ditemui di dunia digital, asal kita tak terpatok pada satu referensi. Ada fasilitas berkomentar di Facebook, ada fasilitas menyebut di Twitter, ada fasilitas berdiskusi di Kaskus. Caranya banyak. Don’t tell me there isn’t a way, because there are many. Tanya dan temukan.

Hal tak sederhana yang pernah diajarkan mendiang Bapak lainnya adalah soal berteman. Carilah teman (yang banyak). Pesan yang dulu saya terjemahkan dalam jumlah ini ternyata soal keberagaman. Bagaimana kita tahu mengenai pemeluk agama lain jika kita sendiri tak pernah berinteraksi secara langsung dengan mereka? Seringkali membicarakan orang lain dan membenci mereka yang berbeda terasa lebih mudah bila kita tak mengenal mereka secara pribadi. Seringkali melontarkan kebencian dan kemarahan pada mereka yang berbeda terasa lebih mudah ketika tak berdiri di hadapan mereka. Seringkali sesat pikir dan salah paham pada mereka yang berbeda terasa lebih mudah hinggap ketika tak punya teman berbeda yang pernah atau biasa kita temui.

Ketika dorongan untuk tak menyukai dan kemudian membenci itu hadir setelah membaca sebaris status, saya ingat Machiavelli dan merapal dua mantra warisan Bapak: tanya dan temukan, carilah teman.

XOXO,

-Citra

*ilustrasi dari sini.

Facebook: Marlistya Citraningrum

Twitter: @mcitraningrum

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun