Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pendidikan Indonesia: Beragam, Bukan Seragam

9 Agustus 2016   18:15 Diperbarui: 9 Agustus 2016   23:21 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengibaran Bendera saat Upacara - Dok. Pribadi

Sebagai anak jebolan sekolah setengah hari (half-day school/HDS) dan juga sekolah berasrama yang jadwalnya seperti sekolah penuh hari (full-day school/FDS), saya bimbang dan ragu (halah) mau setuju atau tidak dengan wacana pemberlakuan FDS ini. Menurut saya untuk masalah dijadikan pilihan, itu memperkaya. Jika jadi kebijakan, banyak implikasinya: anggaran yang mahal, apakah menjawab tujuan soal pendidikan karakter, hingga cocok tidaknya diterapkan di negara dengan diversifikasi tinggi macam Indonesia.

Mari kita perjelas di sini sesuai dengan rilis pres dari Kemdikbud bahwa full-day school yang dimaksud adalah siswa tetap menerima pelajaran hingga setengah hari, sisanya untuk kegiatan ekstrakurikuler.

Yang mana sebenarnya sudah banyak diterapkan di berbagai sekolah, terutama sekolah swasta di kota besar.

Secara personal, saya cenderung memilih half-day school. Itu kalau pilihannya dua tadi. Pada dasarnya saya percaya konsep pendidikan yang baik itu yang sesuai dengan kebutuhan anak, termasuk di antaranya homeschooling dan after-school enrichment (pengayaan sepulang sekolah)Ambillah contoh sewaktu saya berada di SD.

Dulu saya termasuk anak yang senang bersekolah (dan berkegiatan di sana), sesekali ada ekstrakurikuler (dulu kenalnya cuma Pramuka, hihi), dan saya juga diikutkan les di luar beberapa hari dalam seminggu. Apa yang saya rasakan? Capek. Iya ada trade off antara saya dan orangtua, bahwa saya mau les dengan syarat boleh mampir ke perpustakaan setelahnya; namun tak jarang saya merindukan bermain bersama teman-teman sepulang sekolah: kasti, sepak bola, layang-layang.

So yes, I loved being at school, but no, I did not want to stay longer in school.

Bicara Konteks

Untuk memperjelas situasi, ada baiknya kita bicara konteks. Berita yang sepenggal-sepenggal seringkali tak menyajikan konteks. Maka pernyataan kontroversial tadi hendaknya dikaji secara lebih mendalam. Atau lebih tepatnya, kita ajukan beberapa pertanyaan mendasar.

Apa tujuannya pemerintah mempertimbangkan FDS?

Bagaimana rencana penerapannya?

Adakah kajian awal mengenai kecocokan FDS bagi iklim pendidikan di Indonesia?

(silakan isi sendiri selanjutnya)

Pernah berkecimpung di lembaga yang mengurus community development membawa saya ke berbagai daerah di Indonesia, dari ujung barat hingga ujung timur, juga daerah-daerah terdepan. Di sana saya melihat keragaman Indonesia, bukan melulu soal budaya, makanan; melainkan juga soal pendidikan. Indonesia itu beragam, dan sejujurnya saya malu karena pernah berpikir bahwa Indonesia bisa dipandang dari sisi Jawa atau ibukota saja.

Banyak anak di daerah-daerah itu yang sekolahnya tak tuntas, on-off, atau tak mendapatkan guru. Tantangannya banyak, tapi mari fokus pada bagaimana mereka bisa mendapatkan akses pada pendidikan yang selaras dengan cita-cita kemerdekaan. Ada yang tak lanjut sekolah karena orangtuanya bermatapencaharian sebagai petani karet, harus menetap temporer di dekat ladang.

Ada yang bolos 3 bulan karena harus membantu keluarganya memasak gula aren. Ada pula yang menyerah tak lanjut sekolah karena tak ada SMP di desanya. Sehubungan dengan ritme kehidupan yang berbeda-beda itulah, sistem sekolah hari (day school,yang masuk Senin-Jumat/Sabtu, jam 7-siang/sore) bisa jadi tak cocok diterapkan seragam di seluruh Indonesia.

Keberagaman Model Pembelajaran

Masih ingat program Wajib Belajar 9 Tahun? Pemerintah mencanangkan program lanjutannya, Wajib Belajar 12 Tahun, di tahun 2015. Bagus bukan?

Mari mencermati data dulu. Menurut data UNICEF di tahun 2015, ada sekitar 2,5 juta anak usia 7-15 tahun yang tidak bersekolah. Itu berarti mereka belum tuntas untuk program Wajar 9 Tahun. Nah, menurut data KemenPPN/Bappenas, di tahun 2016, proyeksi rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia berusia di atas 15 tahun itu 8,5 tahun. Artinya apa sodara-sodara?

Iya, rata-rata penduduk negara kita tercinta ini nggak lulus SMP. Banyak yang putus sekolah, sodara-sodara.

Tahun lalu, sebagai bagian dari analisa kebijakan Wajar 12 Tahun, Kemdikbud melakukan studi mengenai anak putus sekolah (out of school children/OOSC) di mana saya tergabung dalam salah satu timnya.Apa saja tantangan pemerataan pendidikan di lapangan? Adakah alternatif solusinya? Adakah masukan terkait keragaman penyedia layanan pendidikan? Adakah intervensi yang bisa dilakukan untuk menyasar OOSC ini?

Di berbagai daerah di Indonesia, sistem “sekolah hari” (day school) banyak terkendala ritme kehidupan masyarakat yang, not surprisingly, beda dengan masyarakat penganut ritme kehidupan bercocok tanam. Sekolah hari memang cocok dengan jam-jam petani pergi ke dan pulang dari sawah. Tapi bandingkan dengan penduduk di Papua, di daerah yang suku adatnya masih nomaden atau mengandalkan pola meramu dan berburu.

Ketika kebutuhan makanan terpenuhi, mereka tak perlu ke hutan. Ketika bahan pangan habis, sekeluarga berpindah, bisa jadi sekampung. Mereka yang tinggal di Rote, memiliki masa panen nira pohon lontar yang berlangsung selama 3 bulan. Untuk mengolah nira menjadi gula, memasaknya harus lama dan harus ditunggui. Siapa yang menunggui? Anggota keluarga, termasuk anak-anak.

Anak-anak di Nunukan, ada yang harus meninggalkan sekolah dan ikut orangtuanya masuk hutan untuk mencari kayu gaharu (tahu kan mahalnya kayu ini?). Soal bantu-membantu keluarga ini memang pelik. Jadilah banyak yang putus sekolah atau keluar masuk sekolah mengikuti masa panen, misalnya.

Membicarakan akses pada pendidikan itu bisa dilihat dari banyak sisi. Ada soal infrastruktur dan sumber daya manusia, ada juga soal berpikir di luar kotak alias out of the box. Pertanyaannya diawali dengan jangan-jangan. Jangan-jangan, model sekolah yang mendekat ke ladang (guru datang ke siswa) selama masa panen/bertanam adalah solusi alternatif. Jangan-jangan sekolah yang masa belajarnya bukan seperti sistem sekolah hari namun menyesuaikan siklus panen karet adalah jalan keluar. Jangan-jangan model pembelajaran luar sekolah seperti Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) adalah jawaban.

Masyarakat kota dan kalangan kelas menengah barangkali menghadapi permasalahan pendidikan yang bisa dijawab dengan penerapan FDS. Namun di banyak daerah di Indonesia, kebijakan sekolah hari saja masih perlu dikaji. Apakah model sekolah hari ini sesuai untuk semua daerah di Indonesia? Belum tentu. Indonesia itu beragam, bukan seragam.

Mari terus mengupayakan masukan yang konstruktif untuk pendidikan Indonesia. Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah cita-cita kemerdekaan.

XOXO,

Citra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun