Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pendidikan Indonesia: Beragam, Bukan Seragam

9 Agustus 2016   18:15 Diperbarui: 9 Agustus 2016   23:21 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengibaran Bendera saat Upacara - Dok. Pribadi

(silakan isi sendiri selanjutnya)

Pernah berkecimpung di lembaga yang mengurus community development membawa saya ke berbagai daerah di Indonesia, dari ujung barat hingga ujung timur, juga daerah-daerah terdepan. Di sana saya melihat keragaman Indonesia, bukan melulu soal budaya, makanan; melainkan juga soal pendidikan. Indonesia itu beragam, dan sejujurnya saya malu karena pernah berpikir bahwa Indonesia bisa dipandang dari sisi Jawa atau ibukota saja.

Banyak anak di daerah-daerah itu yang sekolahnya tak tuntas, on-off, atau tak mendapatkan guru. Tantangannya banyak, tapi mari fokus pada bagaimana mereka bisa mendapatkan akses pada pendidikan yang selaras dengan cita-cita kemerdekaan. Ada yang tak lanjut sekolah karena orangtuanya bermatapencaharian sebagai petani karet, harus menetap temporer di dekat ladang.

Ada yang bolos 3 bulan karena harus membantu keluarganya memasak gula aren. Ada pula yang menyerah tak lanjut sekolah karena tak ada SMP di desanya. Sehubungan dengan ritme kehidupan yang berbeda-beda itulah, sistem sekolah hari (day school,yang masuk Senin-Jumat/Sabtu, jam 7-siang/sore) bisa jadi tak cocok diterapkan seragam di seluruh Indonesia.

Keberagaman Model Pembelajaran

Masih ingat program Wajib Belajar 9 Tahun? Pemerintah mencanangkan program lanjutannya, Wajib Belajar 12 Tahun, di tahun 2015. Bagus bukan?

Mari mencermati data dulu. Menurut data UNICEF di tahun 2015, ada sekitar 2,5 juta anak usia 7-15 tahun yang tidak bersekolah. Itu berarti mereka belum tuntas untuk program Wajar 9 Tahun. Nah, menurut data KemenPPN/Bappenas, di tahun 2016, proyeksi rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia berusia di atas 15 tahun itu 8,5 tahun. Artinya apa sodara-sodara?

Iya, rata-rata penduduk negara kita tercinta ini nggak lulus SMP. Banyak yang putus sekolah, sodara-sodara.

Tahun lalu, sebagai bagian dari analisa kebijakan Wajar 12 Tahun, Kemdikbud melakukan studi mengenai anak putus sekolah (out of school children/OOSC) di mana saya tergabung dalam salah satu timnya.Apa saja tantangan pemerataan pendidikan di lapangan? Adakah alternatif solusinya? Adakah masukan terkait keragaman penyedia layanan pendidikan? Adakah intervensi yang bisa dilakukan untuk menyasar OOSC ini?

Di berbagai daerah di Indonesia, sistem “sekolah hari” (day school) banyak terkendala ritme kehidupan masyarakat yang, not surprisingly, beda dengan masyarakat penganut ritme kehidupan bercocok tanam. Sekolah hari memang cocok dengan jam-jam petani pergi ke dan pulang dari sawah. Tapi bandingkan dengan penduduk di Papua, di daerah yang suku adatnya masih nomaden atau mengandalkan pola meramu dan berburu.

Ketika kebutuhan makanan terpenuhi, mereka tak perlu ke hutan. Ketika bahan pangan habis, sekeluarga berpindah, bisa jadi sekampung. Mereka yang tinggal di Rote, memiliki masa panen nira pohon lontar yang berlangsung selama 3 bulan. Untuk mengolah nira menjadi gula, memasaknya harus lama dan harus ditunggui. Siapa yang menunggui? Anggota keluarga, termasuk anak-anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun