Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bisakah Uang Membeli Segalanya?

26 Juli 2016   17:28 Diperbarui: 26 Juli 2016   17:33 996
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Money can’t buy class,” begitu kata orang bijak (apa orang kaya? atau orang kurang kaya?). Kalimat ini sering muncul untuk menggarisbawahi peristiwa yang berhubungan dengan uang dan kelakuan. Paling gres, hebohnya video curhat dari selebgram idola anak-anak abege di Instagram: Karin Novilda, dengan username awkarin. Video blog (vlog) berdurasi hampir tiga puluh menit itu isinya curhat Karin mengenai kandasnya cerita cintanya dengan pacarnya.

Seorang teman melemparkan kalimat sakti itu. Bahwa meskipun memiliki uang, memiliki barang-barang mewah, mengendari sportcarkap terbuka: senyatanya tidak membuat kita punya “kelas”, bisa memiliki perilaku yang baik (apa sih definisi baik?) di depan umum.

Korelasi Uang dan Perilaku

Suatu hari, saya naik pesawat terbang. Ketika pesawat itu mendarat, pramugarinya sempat marah. Marahnya lewat speaker pula.

Apa pasal?

Ketika pesawat baru mendarat, pramugari akan mengumumkan sederetan kalimat standar. Salah satunya adalah anjuran bagi para penumpang untuk tetap duduk, tidak melepaskan sabuk pengaman, hingga tidak mengaktifkan telepon genggam ketika pesawat belum mendarat sempurna. Hari itu, sekelompok (iya, nggak cuma satu!) penumpang di deret bagian belakang rupanya tak mengindahkan anjuran ini. Jadilah sang pramugari meminta sekelompok penumpang ini untuk duduk, dengan nada yang sedikit keras.

I would imagine that people who can afford a plane ticket will behave just like what they’re told. Iya kan? Saya tentunya membayangkan bahwa mereka yang bisa membeli tiket pesawat terbang tentunya mereka yang tahu soal aturan naik pesawat terbang. Bahwa aturan itu bukan mengada-ada namun memang ada maksudnya. Saya tentu juga membayangkan bahwa mereka bisa behave,bisa menaati peraturan yang ada, tak main langgar seperti naik angkot ke pasar.

Nyatanya tidak.

Korelasi uang dan perilaku adalah sebuah pengamatan pada fenomena sosial. Asumsi dasarnya adalah mereka yang memiliki uang (entitled) akan juga memiliki perilaku yang baik (standar baik di sini sepertinya perlu didiskusikan). Misalnya untuk hal-hal dalam kehidupan sehari-hari: membuang sampah, menaati peraturan lalu lintas, atau gaya saat berbincang dengan orang lain. Gestur berbicara Kate Middleton sudah tentu berbeda dengan saya. Bajunya apalagi, Kate menggunakan baju keluaran butik, saya keluaran pasar dan sale (semacam sirik, hahaha). Pembawaannya di depan umum pun anggun, beda jauh dengan saya yang sedikit serampangan. Yes, money can buy class. Mereka yang memiliki kemewahan dengan uang bisa punya banyak akses untuk banyak hal, termasuk table manner, pengetahuan tentang mengapa sebuah aturan dibuat,atau kesempatan bergaul dengan orang-orang yang open minded.

Hanya saja, seperti selayaknya semua hal di dunia ini, perilaku juga sebuah entitas yang multidimensi. Perilaku dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk kebiasaan dan karakter. Punya uang tak selalu menjadi garansi perilaku. Contohnya para penumpang pesawat tadi. Tak punya uang pun juga bukan sebuah alasan untuk tak berkelas.

Suatu hari, saya makan di tempat makan lesehan di halaman sebuah mall di Jakarta Selatan. Datanglah seorang anak kecil yang berjualan kacang dan kerupuk. Saya memanggilnya, mengajaknya duduk di dekat saya dan menawarinya makan malam. Anak kecil itu menggeleng menolak tawaran makan malam, namun mau duduk. Sembari duduk, saya mengajaknya mengobrol. Anak ini sopan, terlihat cerdas, juga murah senyum dan banyak bercerita. Dia kelas 4 SD, berjualan sepulang sekolah bersama ibunya hingga malam, pulang lalu belajar.

Di bagian pertanyaan mengenai cita-cita, caranya menjawab membuat saya tertarik. Anak ini ingin menjadi astronot (ah, mirip saya waktu kecil!). Jawabannya kurang lebih begini:

“Jadi ya Kak, setahu saya, jadi astronot itu kerjanya menyenangkan, meneliti luar angkasa. Menurut saya ni ya, kalau jadi astronot itu saya bisa menyumbangkan hal yang penting gitu untuk ilmu pengetahuan. Itu sih setahu saya ya Kak,” tuturnya dengan antusias.

Saya tersenyum simpul mendengar caranya menjawab. Anak kelas 4 SD ini tahu bagaimana caranya menyampaikan pendapat dengan hati-hati. Dia barangkali sadar bahwa “pengetahuan” yang dimilikinya sekarang bukanlah sesuatu yang sudah absolut dan benar. Saya kagum, anak sekecil ini sudah menunjukkan perilaku yang berkelas, tak peduli usia, tak peduli strata sosialnya. Keluarganya barangkali bukan keluarga berlimpah yang bisa menyekolahkan anaknya ke sekolah internasional, tapi kondisinya itu tak lantas membatasinya untuk bisa berperilaku baik.

Selesai berbincang, si anak pamit dengan sopan.

Tak semua anak yang besar di jalanan memiliki perilaku seperti anak ini. Tak sekali dua kali juga uang koin yang saya berikan ke pengamen dilempar dengan kasar, karena mereka menganggap uang dua ratusan, lima ratusan yang saya berikan adalah sebuah penghinaan. Terimanya minimal seribu. Ampuuuun. Padahal yang koin yang saya miliki selalu saya kumpulkan dan gunakan, sekecil apa pun.

Iya, uang bisa membeli banyak hal. Uang juga tak menjamin banyak hal, termasuk tak menandakan seseorang memiliki perilaku yang baik. Bagaimana dengan kita? Bermobil dan ambil jalur Transjakarta? Makan di restoran mewah dan buang sampah sembarangan di meja? Naik pesawat dan buru-buru menyalakan hape ketika pesawat masih taxiing? *sodorin kaca*

XOXO,

Citra

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun