Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Membungkus Cerita di Teluk Jakarta

27 Oktober 2015   20:47 Diperbarui: 27 Oktober 2015   21:27 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di masa penjajahan Belanda, gugusan pulau di Teluk Jakarta menjadi satu titik penting, baik untuk perdagangan maupun untuk pertahanan. Dengan Pulau Onrust sebagai titik beratnya, Pulau Bidadari, Pulau Cipir, dan Pulau Kelor menjadi pulau penunjang. Karena alasan inilah, terdapat martello di Pulau Bidadari dan Pulau Kelor, untuk melindungi Pulau Onrust. Desain bangunan yang melingkar memungkinkan meriam yang ditempatkan di bagian atas diputar 360 derajat, sementara ukurannya yang tak terlalu besar membuat martello dapat beroperasi dengan jumlah tentara yang tak terlalu banyak. Martello yang berada di Pulau Bidadari sebenarnya belum berfungsi, masih dalam masa pembangunan ketika Krakatau meletus. Tak jadi difungsikan, penduduk waktu itu mengambil bata merah bangunannya sebagai bahan material, hingga tersisa reruntuhannya yang tak lengkap. 

Tak ingin peninggalan bersejarah ini terkikis waktu, Dinas Purbakala DKI Jakarta menjadikannya cagar budaya. Di pulau ini, lampau bertemu kini. Sementara banyak bungalow yang dibangun di bagian pulau yang menghadap ke Jakarta,  di muka yang menghadap laut lepas, martello masih gagah berdiri. Meski tak lagi utuh, sisa ketegarannya masih gagah menyapa.

Maka saya berbisik pelan ke dinding merah bata, "Maukah kamu berbagi rahasia? Rahasiamu mengecoh masa?"

Di pergantian hari, memandang langit senja dan lembayung dini hari di pulau ini sungguh meleburkan kisahnya yang dulu tak cerah. Pernah disebut Pulau Sakit, di tahun 1600an, pemerintah Belanda membangun rumah sakit lepra di sini. Pak Candrian, pemandu wisata yang setia mengantar kami, mewanti-wanti kami untuk tak menyentuh tulang belulang yang kami temui. "Lepra baru muncul 20 tahun setelah pertama terjangkit, jadi kalau saya yang sudah uzur, barangkali tak masalah; Anda-anda yang masih muda jagalah diri baik-baik," ujarnya serius dengan selipan canda.

Kini, Pulau Bidadari adalah rumah bagi berbagai jenis pohon yang keberadaannya makin langka: pohon sentigi, pohon kepuh, hingga pohon kayu hitam. Pulau yang bisa dikelilingi dalam waktu singkat ini juga rumah untuk biawak, elang bondol, dan rusa totol India. Benar, kami dan para pengunjung lain adalah tamu, sementara merekalah sang empunya rumah. Biawak berkeliaran bebas di sela-sela akar bakau, elang terbang mengawasi sarangnya di ketinggian, dan rusa yang muncul malu-malu ketika matahari belum juga bangun.

Pulau Onrust: Sejarah yang Tergerus

Di hari yang sama, saya menginjakkan kaki di Pulau Onrust. On terus, kata Yosh, pemandu kami dengan gaya bicaranya yang cadel. Onrust dalam bahasa Belanda memang berarti tak pernah beristirahat, kata yang ekuivalen dengan unrest dalam bahasa Inggris. 

Senada dengan namanya yang bermakna tak berjeda, Onrust juga menjadi suaka sejarah yang sarat cerita.

Onrust adalah pulau yang memegang peranan penting di masa pemerintahan kolonial Belanda. Posisinya yang strategis di Teluk Jakarta membuat kapal-kapal yang hendak mencapai Jayakarta (yang kemudian disebut Batavia) dan tujuan lainnya di seitaran Asia, termasuk Australia, harus melewatinya. Pemerintah kolonial kemudian membangun galangan kapal di pulau ini, bagi mereka yang memerlukan perbaikan. Pulau Onrust pernah disebut sebagai Pulau Kapal karena adanya aktivitas ini.

Reruntuhan berbagai bangunan ada di Onrust. Di dalam tanahnya yang keras, terpendam sisa benteng pertahanan yang dibangun untuk melindungi pulau ini, sebuah benteng berbentuk segi lima yang kini hanya terlihat satu sudutnya. Penggalian yang pernah dilakukan tim arkeologi Dinas Purbakala DKI Jakarta juga menemukan fondasi kincir angin yang tercatat digunakan untuk penggergajian kayu.

Berkaitan dengan fungsinya sebagai hub untuk kapal-kapal asing, James Cook, kapten penemu benua Australia kabarnya pernah singgah di Onrust.

Ditinggali oleh banyak orang Belanda di masa itu, ada fenomena menarik tentang usia di Onrust. Di salah satu kompleks makam di sana, Pak Candrian menunjuk satu nisan yang menunjukkan usia orang yang dikuburkan di sana. "Orang ini menurut catatan adalah orang tertua yang meninggal di sini, usianya baru 43 tahun," tuturnya. Orang Belanda yang tinggal di Onrust kebanyakan tidak berumur panjang, padahal penduduk pribumi baik-baik saja. Menurut Pak Candrian, hal ini kemungkinan disebabkan karena clay dan uapnya (fumes) yang bereaksi berbahaya pada fisiologi orang Belanda. Belum ada penelitian dan bukti solid bahwa memang clay yang menjadi penyebab usia pendek ini, namun dari pengetahuan kimia yang saya miliki (uhuk!), hipotesis ini bisa jadi benar. Ketika clay dibakar pada suhu yang berlebihan, clay akan mengeluarkan gas hydrochloric yang jika dihirup menyebabkan mata merah dan terganggunya saluran pernapasan. Mengapa efeknya hanya terjadi pada orang Belanda, saya pun angkat tangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun