Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ruang Publik: Kota untuk Manusia

29 September 2015   14:06 Diperbarui: 29 September 2015   14:12 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kedua jawaban itu benar, tentu. Taman dan city square  adalah dua bentuk ruang publik yang paling terkenal, dan karenanya, yang paling sering mendapat fokus untuk dikembangkan. Karena bentuk yang familiar ini hanya dua, seringkali tantangan yang ada mentok untuk bisa diselesaikan, misalnya terkait area. Dinas Pertamanan DKI Jakarta mencatat area ruang terbuka hijau (RTH) di tahun 2012 hanya seluas 2.700 hektar, atau sekitar 10% dari total area ibukota. Padahal idealnya, RTH di sebuah kota berada di kisaran 30%. Ada banyak tantangan yang terkait penambahan RTH di Jakarta, misalnya sengketa lahan dan nilai jual lahan yang tinggi karena sudah dimiliki oleh pengembang. Menjaganya pun menjadi tantangan tersendiri, menurut pakar tata kota Nirwono Yoga, melihat banyaknya taman yang beralih fungsi menjadi lokasi pedagang kaki lima. Ya,  membangun taman atau city square baru memang menjadi tantangan yang sulit disesuaikan hingga saat ini.

Lalu apakah kita jadi hilang harapan?

Sembari mendorong pemerintah mengelola tantangan yang ada, mari berpikir lebih luas. Adakah bentuk ruang publik yang lain?

Ketika kembali pada prinsip cities are for people, kita dengan mudah akan menemukan bentuk-bentuk ini: trotoar, perumahan, pasar, kampus, hingga bangunan publik seperti kantor pemerintah. Itulah titik-titik di mana kita, people, berkumpul dan melakukan aktivitas yang dinamis. Dan ketika sampai pada pemahaman ini, banyak sekali ruang yang tersedia untuk kita. Ahok, Gubernur Jakarta saat ini, melihat potensi tinggi trotoar untuk menjadi ruang publik dan ruang interaksi warga kota. Ahok sudah merencanakan untuk membongkar batas jalur lambat dan jalur cepat serta menjadika jalur lambat di sepanjang Jalan Sudirman dan Thamrin, dua jalan protokol di Jakarta, tempat untuk warga menikmati hari mereka.

Ah, ketika satu pintu tertutup, ada pintu lain yang terbuka, begitu kata pepatah. Maka dari itu, mari kita menengok sejenak pada ruang publik yang lain, misalnya……   

#2 Area di institusi dan properti pemerintah

Ketika berkunjung ke Musi Banyuasin awal tahun ini, saya diajak mengunjungi sebuah ruang terbuka di belakang rumah dinas wakil bupati. Masuk agak jauh dari jalan utama, ruang terbuka ini dulunya tanah tak termanfaatkan dan hanya dipandang sebagai tepian sungai, karena memang letaknya yang menghadap ke anak Sunga Musi. Ketika saya tiba di sana, pembangunan sebuah waterfront sedang berlangsung. Tata ruangnya dibenahi dengan penambahan pohon, bunga, tanaman, dan paving block. Tak ketinggalan anak-anak tangga di tepian sungai yang didesain untuk dimanfaatkan sebagai tempat santai di pagi dan sore hari.

Tanahnya tak luas, namun saya bisa melihat potensinya sebagai ruang terbuka untuk semua. Saya bisa membayangkan ibu dan anak-anak yang berlarian membawa mainan masing-masing. Saya bisa membayangkan sekelompok anak muda mendiskusikan musik terkini. Saya bisa membayangkan sepasang kakek dan nenek duduk bercengkerama menunggu senja.

 Jika taman kota dan city square dibayangkan harus didesain secara serius mempertimbangkan banyak aspek termasuk lahan yang cukup luas dan letak yang strategis, pemanfaatan ruang  dan area di institusi milik pemerintah bisa jadi lebih sederhananya implementasinya. Museum Nasional, contohnya di Jakarta. Lepas dari fungsinya sebagai ruang publik dalam bentuk museum, halaman depannya jelas bisa menjadi ruang publik dalam bentuk yang lain. Tak hanya tempat kumpul komunitas, halaman ini bisa digunakan sebagai sarana mendukung ekonomi lokal dengan menjadikannya farmers’ market atau pasar kerajinan. Mendukung program peningkatan kesehatan? Ruang terbuka ini tentu bisa dijadikan tempat donor darah, sosialisasi program kesehatan, hingga survei masyarakat terkait kesehatan.

Ruang-ruang terbuka di kantor milik pemerintah pun bisa dimanfaatkan, apalagi di kota dengan fasilitas ruang terbuka yang terbatas. Jika kita menghitung jumlah kantor mulai dari desa hingga level kementerian, Jakarta jelas punya banyak tabungan ruang terbuka yang bisa dioptimalkan penggunaannya. Saya membayangkan suasana city square Kota yang dipindah ke Monas atau Balaikota Jakarta.

Tak harus berbasis event, karena justru ruang publik adalah ruang interaksi. Ruang publik yang sebenarnya justru tidak “diprogram” untuk menarik orang datang ke sana. Ruang publik yang sebenarnya terbangun dari komunitas, orang, kehidupan yang dinamis bergerak di sana.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun