Tahun ini saya akan menginjak usia dua puluh lima. Tahun ini juga adalah tahun kedua studi doktoral saya. Dua fakta yang tidak banyak diketahui orang secara bersamaan, kecuali teman-teman yang saya kenal.
Saya tahu benar penampilan saya memang cuek. Saya bukan tipe gadis feminin dan saya juga tidak memiliki postur tubuh selayaknya teman-teman seusia saya. Tinggi badan saya di bawah 160 cm, dan itu membuat orang sering mengira saya masih duduk di bangku S1 atau bahkan SMA.
Jadi apa yang sebenarnya ingin saya sampaikan?
Tua tidak berarti selalu bijaksana, muda juga bukan berarti tidak bisa berkarya.
Satu kalimat sederhana saja dari saya. Yang berawal dari pengalaman pribadi saya, yg menyenangkan dan yang sedikit kurang menyenangkan.
Saya dibesarkan di pedesaan dengan lingkungan bertradisi kuat. Saya menyukai desa asal saya, tapi di satu sisi, ada beberapa hal yang seringkali membuat saya merasa 'disisihkan'. Saya tahu benar artinya 'berpengalaman' dan anggapan umum bahwa semakin kita tua maka kita semakin punya banyak pengalaman. Dan semakin banyak pengalaman membuat kita semakin dewasa dan bijaksana. Alur klasik: usia --> pengalaman --> bijaksana.
Tapi maafkan saya untuk bersikap sedikit skeptis. Experience is valuable, but if you have lots and never learn from them, then they are just numbers. Pengalaman yang banyak tapi tidak dijadikan guru hanya akan menjadi memori yang lama-kelamaan akan terlupakan. Boleh jadi ada orang yang sering bepergian ke luar negeri, ke negara-negara dimana disiplinnya tinggi, tapi yang dibawa pulang hanya ratusan foto-foto dan bukannya mengadopsi budaya disiplin mereka seperti membuang sampah pada tempatnya. Lalu gunanya foto-foto itu untuk apa? Sekedar pengingat dan supaya orang terkesan? Believe me, lots of people do something useless to impress people they don't even like.
Di lingkungan rumah, ketika saya berinteraksi dengan orang-orang yang (jauh) lebih tua, saya selalu menjadi 'anak bawang', atau 'anaknya Pak M (nama ayah saya)', yang bagi saya menunjukkan bahwa saya belum bisa dianggap sebagai Citra, sebagai diri saya sendiri; karena usia saya yang masih dua puluhan. Beruntung kedua orang tua saya selalu berpikiran terbuka dan menanyakan pendapat saya tentang berbagai hal.
Lalu apakah usia muda yang saya miliki itu artinya saya tidak memberikan apa-apa kepada orang-orang di sekitar saya? Apakah usia saya menjadi titik ukur seberapa berpengalamannya saya?
Siapa tidak kenal Alanda Kariza atau Dr. Nelson Tansu? Alanda Kariza baru berusia 20 tahun dan lihatlah apa yang sudah ia kerjakan, ia perjuangkan. Dr. Nelson Tansu sudah menjadi tenured chair associate professor di usianya yang ke tiga puluh tiga. Apakah mereka kurang 'berpengalaman' dibanding dengan pegawai berusia 40 tahun yang tidak pernah pergi dari kota kelahirannya, misalnya?
Lihatlah betapa kata 'berpengalaman' itu relatif, dan sebenarnya tidak berkaitan dengan usia.
Saya tahu, saya belum menjadi seseorang yang bijaksana. Saya belum bisa melihat segala sesuatu dari 'baiknya' saja. Tapi saya juga tahu, saya punya keinginan untuk belajar dari pengalaman yang saya miliki. Dari pahit manisnya kehidupan yang saya jalani. Dari rentang waktu 10 tahun sejak saya meninggalkan rumah, literally, untuk belajar di tempat yang tidak saya kenal sebelumnya.
Dan di antara masa-masa nomaden itu, di antara puluhan ribu sms dan ratusan jam bercengkerama dengan orang tua saya (hanya) melalui telepon; saya belajar untuk terus berkembang. Despite of my age.
Saya tinggal di sekolah berasrama sewaktu saya SMA. Bertemu dengan teman-teman yang berbagai rupa dan dari berbagai daerah. Sebuah masa yang mengajari saya untuk berpikiran terbuka, bahwa ada banyak hal yang belum saya tahu, belum saya kenal. Saya pergi ke Surabaya untuk kuliah sarjana. Kota yang belum pernah saya injak sebelumnya. Kenapa? Karena selama ini saya sudah mengenal Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta; dan saya ingin mengenal kota lain, ingin memperluas wawasan yang saya punya.
Ketika ada tawaran studi lanjut di luar negeri, saya mengajukan lamaran ke beberapa negara sekaligus sampai akhirnya saya memilih Taiwan. Bukan untuk sok-sokan belajar ke luar negeri, lagi-lagi karena saya tahu dunia itu luas dan akan tetap luas tak terbayang bila tidak saya jelajahi. Karena pikiran saya tidak akan menjadi terbuka jika saya terus menerus bertemu orang yang sama. Saya mendapat kesempatan untuk berinteraksi dengan banyak teman baru di Taiwan, baik itu mahasiswa lokal atau sesama mahasiswa internasional. Bahkan punya kesempatan bertemu dengan akademisi-akademisi handal di bidang yang saya geluti. Siapa yang tidak gembira?
Punya pengalaman itu adalah pilihan. Dan percayalah, when there is an opportunity, grab it fast; since the feeling of regret for not taking the chance is much worse compared to what happens if you take the chance and it doesn't work.
Saya memang belum menginjak usia dua puluh lima. Tapi usia tidak akan menjadi penghalang bagi saya untuk berkarya, dan siapa tahu bisa menjadi doktor termuda di Indonesia!
Salam semangat,
Citra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H