Memangnya seburuk apa sih kondisi sekolah di Indonesia? Sekolahan sekarang sudah bagus-bagus kan? Dana BOS kan sudah dialokasikan untuk semua sekolah.
Pertengahan Januari kemarin, berbekal celetukan (yang sepertinya iseng) dari seorang teman, saya menata baju dan keperluan lain dalam satu carrier bag 50 L dan sesekali merenung, membayangkan perjalanan saya selama 2 minggu setelahnya, menyusuri dua kabupaten di Sumatera Selatan: Musi Banyuasin dan Muara Enim.
Saya buta medan. Mendarat memang di Palembang, yang hawa-hawanya mirip Jakarta. Menuju jembatan Ampera yang terkenal, menuju dermaga di bawahnya.
"Kita naik sepit itu ke desa, mbak", Dita berujar sambil menunjuk deretan speedboat yang berjajar di dermaga. Hari itu hujan tak henti mengguyur kota. Saya terdiam. Ini masuknya dari mana, saya membatin.
Sepit ini hanyalah awal mula perjalanan saya. Perjalanan berkunjung ke beberapa sekolah, sekolah dasar, yang membekaskan ingatan begitu dalam. Foto paling atas barangkali terlihat normal. Sekolah dengan bangunan yang cukup bagus, anak-anak yang ceria. Apa yang diujarkan teman saya memang wajar, banyak bangunan sekolah yang sekarang sudah cukup memadai, pembangunan fisik yang bisa dilihat hasilnya. Tapi ada satu yang terlupa: akses.
Sekolah pertama harus dicapai dengan naik sepit. Sekolah kedua berjarak 3 jam naik motor melewati jalan tanah, tengah sawah, beberapa paving block, menembus areal primer (kompleks transmigran). Bisa dicapai dengan naik sepit lagi selama 1 jam menyusuri anak sungai memang. Kondisi geografis salah satu kecamatan di Musi Banyuasin ini memang unik, banyak anak sungai dengan kondisi jalan darat yang belum memadai membuat sarana transportasi air masih menjadi pilihan. Kalau hujan jalanan becek dan susah dilewati. Sekolah ketiga dicapai dengan sepit yang lebih kecil, perjalanan selama setengah jam. Tiga sekolah berikutnya sama. Katakan saya kenyang naik sepit dan mulai terbiasa dengan gaya naik turun yang epic. Pada akhirnya saya memang menikmatinya, di sela samar kekhawatiran ketika melihat kiri kanan hanya air dan hutan.
Di kabupaten berikutnya, Muara Enim, jalan darat menanti. Mulus? Jangan bertanya.
Saya banyak diam sepanjang perjalanan.
Saya tahu bahwa banyak anak-anak yang harus menempuh perjalanan berat ini untuk menuju sekolah mereka. Saya juga tahu guru-guru mengalami hal yang sama. Harus berangkat pagi demi mengejar jam masuk sekolah. Perjalanannya tentu bukan 10 menit, 20 menit, setidaknya satu jam berkendara menembus sepinya perkebunan dan beratnya jalan. Setiap hari. Dua kali, pulang pergi. Bagi para guru, perjalanan panjang mereka bisa menjadi dua tiga kali lipatnya ketika harus ke "kota" kecamatan atau kabupaten, dengan biaya yang juga berlipat.
Melihat masalah-masalah yang ada di depan mata, sangat normal jika saya jadi depresi.
Hanya saja, saya menemukan banyak cerita. Perjalanan dua minggu saya dijalin oleh benang merah yang sama: yang ada bukan masalah, melainkan tantangan; yang ada bukan kekhawatiran, melainkan harapan. Semua sekolah dasar yang saya tuju memang aksesnya sulit, dan saya menemukan dua kesamaan lain: guru-guru berdedikasi yang menghangatkan hati dan anak-anak yang semangatnya tak henti membuat saya tersenyum. Segala kesulitan itu adalah tantangan yang mereka hadapi dengan senyum dan kepercayaan. Mutiara memang tetap mutiara meski terbenam dalam lumpur. Saya tersenyum bangga mendengar cerita anak-anak dari "talang" (perkampungan kecil yang hanya terdiri dari 20-30 KK, berada di tengah kebun karet) dan sekolah pinggir sungai yang bisa berprestasi sampai ke tingkat nasional. Saya bahagia bertemu guru-guru, penggerak daerah, local champion, yang mau membaktikan diri untuk tetap bertahan karena yang namanya berjuang itu tak bisa hanya dengan ujar dan semboyan.
Mereka tak memilih untuk menjadi pesimistik. Saya pun ikut memilih untuk tetap bersemangat. Mereka menunjukkan pada saya satu cinta yang hangatnya menular cepat.
XOXO,
-Citra