Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mereka Menunjukkan Pada Saya Satu Cinta

4 Februari 2015   18:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:50 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Memangnya seburuk apa sih kondisi sekolah di Indonesia? Sekolahan sekarang sudah bagus-bagus kan? Dana BOS kan sudah dialokasikan untuk semua sekolah.

Pertengahan Januari kemarin, berbekal celetukan (yang sepertinya iseng) dari seorang teman, saya menata baju dan keperluan lain dalam satu carrier bag 50 L dan sesekali merenung, membayangkan perjalanan saya selama 2 minggu setelahnya, menyusuri dua kabupaten di Sumatera Selatan: Musi Banyuasin dan Muara Enim.

Saya buta medan. Mendarat memang di Palembang, yang hawa-hawanya mirip Jakarta. Menuju jembatan Ampera yang terkenal, menuju dermaga di bawahnya.

"Kita naik sepit itu ke desa, mbak", Dita berujar sambil menunjuk deretan speedboat yang berjajar di dermaga. Hari itu hujan tak henti mengguyur kota. Saya terdiam. Ini masuknya dari mana, saya membatin.

1423020595473360244
1423020595473360244
Sepit tak berpintu namun berjendela banyak inilah yang menjadi sarana transportasi saya menuju sebuah desa di Kabupaten Musi Banyuasin. Masuk dan keluarnya memang sedikit epic, bisa masuk dengan posisi wajar dari depan atau dari belakang, namun yang kebagian duduk di bagian tengah, boleh banget masuk dengan gaya tiarap melalui jendela, daripada kejeduk bangku di dalam yang sama sekali tidak memberikan ruang untuk 'berjalan'. Dengan sepit ini saya menempuh perjalanan 4 jam ke desa tujuan saya, di tengah rinai hujan dan gelombang Sungai Musi yang cukup membuat saya takut mabuk laut. Berhenti cukup lama di PU (tempat istirahat dan mengisi bahan bakar), sembari memindahkan penumpang ke sepit lain karena sepit yang saya naiki overload (bayangkan perasaan saya waktu itu). Dan bayangkan leganya saya ketika sepit merapat dengan mulus ke dermaga tujuan.

Sepit ini hanyalah awal mula perjalanan saya. Perjalanan berkunjung ke beberapa sekolah, sekolah dasar, yang membekaskan ingatan begitu dalam. Foto paling atas barangkali terlihat normal. Sekolah dengan bangunan yang cukup bagus, anak-anak yang ceria. Apa yang diujarkan teman saya memang wajar, banyak bangunan sekolah yang sekarang sudah cukup memadai, pembangunan fisik yang bisa dilihat hasilnya. Tapi ada satu yang terlupa: akses.

Sekolah pertama harus dicapai dengan naik sepit. Sekolah kedua berjarak 3 jam naik motor melewati jalan tanah, tengah sawah, beberapa paving block, menembus areal primer (kompleks transmigran). Bisa dicapai dengan naik sepit lagi selama 1 jam menyusuri anak sungai memang. Kondisi geografis salah satu kecamatan di Musi Banyuasin ini memang unik, banyak anak sungai dengan kondisi jalan darat yang belum memadai membuat sarana transportasi air masih menjadi pilihan. Kalau hujan jalanan becek dan susah dilewati. Sekolah ketiga dicapai dengan sepit yang lebih kecil, perjalanan selama setengah jam. Tiga sekolah berikutnya sama. Katakan saya kenyang naik sepit dan mulai terbiasa dengan gaya naik turun yang epic. Pada akhirnya saya memang menikmatinya, di sela samar kekhawatiran ketika melihat kiri kanan hanya air dan hutan.

Di kabupaten berikutnya, Muara Enim, jalan darat menanti. Mulus? Jangan bertanya.

14230214771200316710
14230214771200316710
Sekolah-sekolah dasar yang saya tuju berada di sekitar area operasi Pertamina, bahkan jalannya disebut sebagai jalan Pertamina karena memang yang membuka akses di sana adalah Pertamina. Dan jangan bayangkan jalan mulus, jalan ini memang desainnya untuk jalan operasional truk dan mobil tipe 4WD. Sepeda motor pun seringkali harus menyerah, terutama di musim hujan. Kiri kanan adalah perkebunan karet atau kelapa sawit. Dari jalan yang normal (bukan beraspal), perjalanan masih harus dilanjutkan dengan 10-15 kilometer jalan Pertamina. Satu mobil yang kami tumpangi harus menyerah di awal karena bukan tipe mobil yang bisa digunakan untuk bermanuver di jalanan seperti ini. Mereka yang ahli naik sepeda motor pun harus pandai-pandai mencari celah supaya tidak terpeleset atau terjebak di lumpur liat. Ada lagi sekolah yang letaknya di puncak bukit yang berada di jajaran Bukit Barisan. Naik berkelok-kelok berjam-jam dengan banyak tanjakan dan turunan yang kiri kanannya jurang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun