Kebijakan swasembada garam harus selaras dengan kebutuhan industri kima dasar. Kebijakan tata niaga impor garam harus mempertimbangkan kepentingan seluruh stakeholder dalam hal ini petambak, rakyat, industri dan pemerintah.
Selama ini para pelaku industri lebih mengandalkan suplai garam impor, hal tersebut disebabkan garam impor memiliki spesifikasi yang baik dan memenuhi standar garam industri (SNI) dengan rata-rata kandungan NaCl diatas 96%.
Sementara, kondisi garam rakyat kualitasnya masih dibawah standar, dimana kandungan atau kadar NaCl dikisaran 88-92,5 %, dan kadar Magnesium (Mg) yang tinggi, Mg dikisaran 0,63- 0,92%. Selain itu, keberlangsungan suplai juga terjamin dan harga garam impor sangat kompetitif. Harga garam impor berkisar sekitar US$ 38 - US$ 40/mt ( Kurs Rp. 13 ribuan) atau sekitar Rp. 500/kg (sudah sampai di pelabuhan Indonesia). Sedangkan garam rakyat harganya Rp 750/kg FOB di tempat petambak.
Mutu garam rendah menjadi pertimbangan utama industri tidak menggunakan garam rakyat sebagai bahan baku proses produksi. Pasalnya, jika dipaksakan, kadar Magnesium (Mg) yang tinggi akan menyebabkan hal-hal seperti; kerusakan mesin atau peralatan produksi dan berkurangnya kualitas produk.
Selain itu, garam rakyat juga tidak memenuhi standar nasional garam industri. Kualitas produk garam rakyat tidak seragam dengan kandungan zat pencemaran yang tinggi. Sehingga untuk peningkatan kualitas atau pemurnian kristal garam melalui pencucian menyebabkan naiknya biaya, oleh karena itu garam rakyat cenderung dijual dengan kualitas seadanya.
Banyak permasalahan petambak belum mampu memproduksi garam kualitas industri. Salah satunya terkendala iklim dan cuaca. Musim panas di Indonesia relatif pendek yaitu 4 s.d 5 bulan pertahun, dengan kelembapan udara cukup tinggi di kisaran 60-70%. Sedangkan di Negara-Negara penghasil garam impor seperti, Australia, Mexico atau China, memiliki musim panas sampai 11 bulan pertahun dengan humiditas 20-30%.
Ditengah polemik produksi garam nasional, pemerintah mengevaluasi tata niaga impor garam dengan tujuan untuk mewujudkan program swasembada garam, melalui penyerapan garam lokal. Wacana ini mendapat respon beragam para pemangku kepentingan. Bagi pelaku industri, rencana revisi dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 58 Tahun 2012 terkait dengan kebijakan pengenaan impor garam diminta tetap mempertimbangkan dampaknya terhadap penguatan daya saing industri kimia dasar dan industri-industri lain yang menggunakan bahan baku garam.        Â
Sebagai gambaran, kebijakan tata niaga impor garam di Indonesia yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 58 Tahun 2012 tentang Ketentuan Impor Garam. Kebijakan tersebut mewajibkan para importir garam untuk mendapatkan rekomendasi dari Kementerian Perindustrian, sebelum mendapatkan izin impor dari Kementerian Perdagangan.
Kebijakan ini dinilai tidak sinergis dengan kebutuhan industri kimia, pangan, kosmetik, farmasi dsb. Para pelaku industri masih memerlukan garam industri yang sesuai dengan spesifikasi atau standar tertentu sebagai bahan baku utama, yang pasokannya masih mengandalkan impor.
Beberapa usulan dalam revisi Permendag No. 58 Tahun 2012 yaitu :
- Kewajiban rekomendasi dari Kementerian Perindustrian sebelum mendapatkan izin impor dari Kemendag tidak lagi diberlakukan untuk impor garam industri.
- Permendag akan digantikan regulasi yang baru dengan penyederhanaan birokrasi seperti penghapusan Importir Produsen (IP), status Importir Terdaftar (IT), dan hanya menggunakan Angka Pengenal Importir Produsen (APIP).
- Tarif impor akan diberlakukan antara Rp. 150,-/kg - Rp. 200,-/kg. equivalent US$ 11 /ton – US$ 15 /ton Per 1 ton impor Garam. ( berdasarkan FX US$/Rp 14,000).