Mohon tunggu...
Siti Maesaroh
Siti Maesaroh Mohon Tunggu... Karyawati -

Hello! I like to challenge myself with different things and often wondering how some things work :D

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Seandainya KRL Diintegrasikan dengan Kereta di Seluruh Negeri

6 Desember 2015   22:29 Diperbarui: 6 Desember 2015   22:58 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada tanggal 28 November 2015 lalu saya mengikuti gathering acara terbaru kompas TV yakni Big Bang! Show bersama Andy F. Noya di Studio Gold, Kompas TV. Itu adalah pengalaman pertama saya melihat pak Andy Noya secara langsung. Senang sekali bisa melihat dan bertemu langsung dengannya. Rasa senang saya semakin bertambah tatkala saya diumumkan oleh pihak Kompas TV bahwa saya adalah satu dari 50 orang yang datang pertama dan terdaftar di acara tersebut sehingga berhak mendapatkan satu buku biografi Andy F. Noya yang ditandatangani olehnya. Alhamdulillah!

Sebelum membaca buku biografi Andy F. Noya ini dan sebelum ia terkenal seperti sekarang, saya sudah pernah membaca sedikit profil hidupnya di majalah Femina. Sangat inspiratif, tak kalah menginspirasi dengan para tamu yang biasa ia ajak berbincang di acara Kick Andy dan Big Bang! Show yang dipandu olehnya. Sayangnya kemarin saya tidak bisa mengikuti acara tapping Big Bang! Show sampai selesai dikarenakan saya ada keperluan lain dan harus pulang lebih awal.
Saat keluar dari Studio Gold itu saya mendengar suara kereta. Saya baru ingat kalau kawasan Kompas Gramedia ini dekat dengan stasiun Palmerah. Saya tahu itu dari Google maps yang selalu menjadi teman setia ketika bepergian ke daerah yang masih asing bagi saya.

Setelah menukar visitor card dengan KTP saya kepada petugas, saya menanyakan kepada petugas itu dimana letak stasiun Palmerah berada. Sebenarnya dari Google maps saya sudah tahu itu ada dimana, ini saya lakukan hanya untuk meyakinkan diri saya saja, bahwa info peta dari mbah Google ini memang benar adanya.

“Mbak belok kanan aja di jalan itu, trus lurus aja ngikutin jalan abis itu belok kiri. Jalan kurang lebih 100 meter nanti keliat kok stasiunnya di kanan jalan.” Kata petugas itu mengarahkan kepada saya.

“Oh, oke. Makasih pak!” kata saya sambil tersenyum lalu bergegas pergi.

Saya mengikuti petunjuk yang diberikan petugas itu, sambil sesekali melihat Google maps. Menurut Google sih saya bisa sampai sana dalam 12 menit dengan berjalan kaki. Ah ternyata tidak begitu jauh, pikir saya.

Ternyata jaraknya memang cukup dekat dengan kompleks KG. Ada beberapa pohon di pinggir jalan untuk sampai kesana sehingga cukup membuat para pedestrian seperti saya tidak begitu kepanasan. Sebelum benar-benar sampai di stasiun saya harus menyeberangi JPO yang langsung terhubung dengan lantai 2 stasiun itu.

[caption caption="stasiun palmerah tampak sangat 'wah' bagi saya yang baru kali pertama kesana :) (sumber foto: harianterbit.com)"][/caption]

Di lantai 2 stasiun Palmerah itu sepertinya hanya untuk costumer service, tapi saya kurang tahu juga sih. Saya pikir saya tidak perlu kesana karena ada kartu Flazz bergambar Kriko dari Kompasiana yang bisa saya gunakan untuk bisa naik KRL.

Begitu saya tap ke reader di mesin itu tertulis bahwa kartu saya tidak bisa digunakan. Saya bingung, lho kenapa? Saat berangkat ke acara gathering tadi pagi saya menggunakan busway dan saya lihat saldonya masih cukup untuk beberapa kali naik bus itu.

Beruntung saat itu ada banyak petugas yang berjaga di stasiun itu. Salah satu petugas yang terdekat dengan saya melihat itu, lalu menanyakan apa kartunya belum pernah digunakan untuk Commuter Line?

“Iya pak, belum pernah”, kata saya. Petugas itu lalu ke salah satu loket CS dan meminta saya untuk tetap menunggu di dekat reader yang tadi menolak Flazz Kriko milik saya.

Tidak lama petugas itu kembali, lalu membantu saya men-tap si Kriko kemudian menyerahkannya kembali kepada saya.
Setelahnya saya menuju ke bawah menuju bagian tunggu ke arah Stasiun Tanah Abang dengan eskalator. Kemarin (28/11) eskalator untuk ke bawah di stasiun Palmerah itu sedang tidak berfungsi, jadi para calon penumpang harus berjalan untuk menuruninya.

Bingung

Sejujurnya, saya masih agak bingung jika naik KRL. Pengalaman kemarin adalah kali ke dua saya naik KRL. Pertama kali dulu saat hendak ke kampus UI Depok. Karena masih bingung dan agak sungkan untuk bertanya, saya kemudian mencari rute KRL di Google. Dulu saya juga pernah mendownloadnya tapi karena suatu hal rute KRL yang saya download beserta file-file saya yang lain hilang karena SD card gadget saya yang corrupt.

Tujuan akhir saya adalah Serang, jadi awalnya saya pikir akan naik kereta dari Tanah Abang untuk sampai sana. Akan tetapi saat saya lihat rute kereta, ternyata akan lebih dekat dan lebih hemat jika saya naik dari stasiun Kebayoran, berlawanan jalur tunggu jika hendak ke stasiun Tanah Abang sehingga saya harus naik ke lantai dua lagi untuk menyeberang. Bagian tunggu dengan rel kereta di stasiun Palmerah ini cukup tinggi, sekitar 1,5 meter. Mungkin saya tidak bisa naik ke atas lagi jika nekat turun dari sana untuk menyeberang tanpa bantuan orang lain.

Naik dari bagian tunggu Tanah Abang lalu turun ke bagian tunggu Kebayoran. Eskalator naik dan turun di bagian ini berfungsi dengan baik. Saya pikir orang-orang Jakarta dan sekitarnya ini beruntung sekali ya, punya fasilitas-fasilitas publik yang amat baik dan memudahkan seperti ini.

Kalau di kota Serang jangankan tangga berjalan, Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) saja hanya ada satu-dua saja disini. Itu pun ‘produk’ pemerintah lama, mungkin itu dibuat berpuluh-puluh tahun yang lalu. Pemerintah kota Serang yang sekarang tidak banyak membuat fasilitas publik untuk masyarakat. Kalau pun ada, biasanya hanya berfokus di daerah-daerah ‘kota’ saja yang dipoles melulu, sedangkan daerah-daerah pinggiran seperti daerah rumah saya berada kondisinya hampir tidak pernah tersentuh pembangunan.

Sampai di bagian tunggu ke stasiun Kebayoran. Tidak lama setelah itu urban transportation itu pun sampai di depan para calon penumpangnya. Kereta Rel Listrik itu tampak sarat penumpang dari luar, mungkin karena kemarin awal weekend. Saya sudah ikhlas untuk tidak kebagian tempat duduk. Toh saya hanya naik sebentar karena satu stasiun di depan saya akan turun. Di dalam KRL, meski penuh tapi saya rasa kondisinya tidak begitu panas karena di dalamnya dipasangi AC.

Dari pengalaman saya berkali-kali naik angkutan umum di Jakarta, saya menyimpulkan bahwa minat masyarakat Jakarta dan sekitarnya untuk naik kendaraan umum seperti busway dan KRL sebenarnya sangat tinggi. Sayangnya, hal ini belum diimbangi dengan tersedianya moda transportasi publik yang lebih banyak, nyaman dan aman. Mengapa harus banyak? Karena jumlah penduduk Jabodetabek dan pendatang di kota ini ada banyak. Saya pernah menunggu bus Harmoni-Lebak Bulus hampir satu jam. Antriannya panjaaang sekali..sampai-sampai memakan space untuk rute Kota-Blok M. Ini pernah saya alami beberapa kali dan mungkin masih terjadi hingga sekarang, terutama saat jam pulang sekolah/kantor.

Beberapa menit kemudian akhirnya saya sampai di Stasiun Kebayoran. Stasiun ini sedang dalam tahap rekonstruksi jadi kondisinya masih kurang begitu bagus jika dibandingkan stasiun Palmerah. Keluar dari mesin tap itu saya langsung melihat orang-orang yang mengantri panjang. Hendak kemana ya mereka? Pikir saya. Pertanyaan saya terjawab setelah saya melihat tulisan di atas loket di depan antrian itu, “Kereta Ekonomi Patas-Merak”. Wah, berarti saya juga harus mengantri disini nih! Pikir saya.

Tapi saya agak malas untuk mengantri dari belakang karena disana terlalu banyak laki-laki, saya kemudian berkenalan dengan salah seorang perempuan yang juga sedang mengantri di tengah. Saya pikir usianya hampir sebaya dengan saya, tak disangka kami memang seumuran dan sama-sama hendak pulang ke Serang.

Padanya saya banyak bertanya mengenai kereta dengan tujuan akhir Merak ini karena saya sudah lama sekali tidak naik kereta. Ia kemudian menjelaskan bahwa kereta akan datang sekitar pukul 14.30an. Di karcis akan tercantum akan tiba di Serang pukul 17.00 tapi menurutnya itu sering tidak akurat alias ngaret karena proses menaikturunkan penumpang yang membutuhkan waktu cukup lama di setiap stasiun yang dilalui, terutama saat tiba di stasiun Rangkasbitung, katanya.

Tiba giliran kami di depan loket. Ia mengatakan biar pakai uang dia saja dulu. Oke saya setuju. Saat menerima tiket, saya baru tahu bahwa harga tiket Serang-Kebayoran hanya Rp 8.000 saja. Sangat murah sekali..

Akhirnya saya menyadari saat saya naik ke dalam kereta Kebayoran-Serang bahwa harga delapan ribu rupiah memang sangat pantas untuk pelayanan di dalam kereta.

Tidak seperti KRL, kereta api domestik Patas-Merak tidak ber-AC. Jangankan AC, jendela saja tidak bisa dibuka. Hanya ada satu-dua lubang angin di dalam kereta yang bisa dibuka. Selain itu, posisi tempat duduknya juga berbeda. Bukan saling berhadapan dengan sisi/jendela lain kereta dan kursi yang melekat di sisi samping, tapi seperti kursi di dalam pesawat tapi saling berhadapan antardua pasang kursi. Selain itu, tidak ada hanger atau pegangan tangan bagi penumpang yang tidak mendapat tempat duduk. Oleh karena itu, banyak dari kursi yang idealnya diisi oleh dua orang tapi malah diisi tiga orang. Ada pun yang masih tidak kebagian tempat duduk harus rela duduk lesehan di lantai kereta.

Saya sendiri awalnya duduk lesehan, sebelum seorang bapak memanggil saya untuk duduk di ‘sisa’ kursi miliknya. Tidak lama kemudian seorang bapak yang lain memanggil saya lagi, ternyata ada satu kursi kosong di depannya dan ia menyuruh saya untuk duduk disana. Saya pun berpindah kesana.

Satu demi satu stasiun terlewati, semakin lama kereta ini terasa semakin panas dan membuat seluruh penumpang kegerahan. Seorang ibu tampak sangat sibuk menenangkan bayinya yang menangis sepanjang jalan. Mungkin karena terlalu kelelahan, dalam kondisi yang panas itu saya masih bisa ‘tidur ayam’ alias tertidur sebentar lalu terbangun jika ada yang mengganggu lalu tertidur lagi jika suasana kembali tenang.

Bersyukur saat hendak sampai di stasiun Rangkasbitung hujan turun, membuat suasana di dalam kereta yang berjam-jam terpapar panas sang mentari menjadi hangat. Di sepanjang perjalanan ke Serang dengan kereta, saya melihat sawah-sawah yang terhampar luas, terutama di wilayah Rangkasbitung dan Kabupaten Serang.

Tiga jam lebih di dalam kereta akhirnya saya sampai juga di stasiun Serang. Ini mungkin pertama kalinya saya berada disini karena dulu, biasanya orang tua saya selalu naik/turun kereta dari stasiun Walantaka, satu stasiun sebelum stasiun Serang.

Mungkinkah jika diintegrasikan?

Dengan sedikit gambaran tentang perbandingan keadaan kereta api lokal Patas-Merak dengan KRL itu saya membayangkan, bagaimana ya jika KRL itu diteruskan sampai ke Banten (bukan hanya Tangerang raya)? Atau ke seluruh pulau Jawa? Atau bahkan seluruh Indonesia, dengan rel di atas/di bawah laut? Sepertinya itu akan sangat bagus. Akses distribusi barang, jasa dan manusia antarwilayah menjadi semakin mudah, cepat dan hemat karena antar daerah telah terhubung dengan satu media transportasi pasti.

Tapi tentu saja, hal ini tentu memerlukan modal yang sangat besar untuk merealisasikannya. Semoga saja suatu saat itu bisa terjadi di Indonesia. Saya berharap, saat itu tiba saya bisa merasakannya. Bisa merasakan kereta bawah laut dari Serang, Banten menuju Sorong, Papua Barat. Aamiin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun