Mohon tunggu...
Siti Maesaroh
Siti Maesaroh Mohon Tunggu... Karyawati -

Hello! I like to challenge myself with different things and often wondering how some things work :D

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Keadilan untuk Sopir Angkot

19 September 2015   01:21 Diperbarui: 19 September 2015   01:21 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

sumber: radarbanten.co

Sebagai pengguna jasa transportasi publik, saya kadang merasa kasihan dengan sopir angkutan kota (angkot) di kota saya. Saya sadar, semakin mudah dan murahnya orang ‘mengambil’ sepeda motor di sebuah dealer maka akan semakin sedikit pula jumlah penumpang angkot. Apalagi dengan kondisi sistem transportasi publik di kota saya yang semrawut, menjadikan orang-orang semakin malas untuk naik angkot.

Apa yang salah?

Menurut pengamatan saya pribadi, permasalahan transportasi massal di kota saya yang pertama adalah tata ruang di kota saya. Di kota saya ada banyak sekali jalan raya dengan jarak yang sangat dekat menuju ke arah yang sama sehingga muncul banyak jalan alternatif untuk menuju tempat tersebut.

Satu sisi hal ini memang menguntungkan, terutama bagi yang menggunakan kendaraan pribadi karena jika satu jalan macet atau rusak bisa mengambil jalan alternatif yang lainnya. Namun di sisi lain, jalur yang berdekatan dan ‘berputar-putar’ ini menyebabkan sukarnya menentukan trek bagi angkutan umum. Sehingga tidak mengherankan meski sebagian angkot-angkot di kota saya sudah diberi nomor trek di bagian kaca depannya tapi angkot-angkot tersebut tidak berjalan sesuai jalan-jalan yang tertera di kaca tersebut.

Tidaklah heran pula jika setiap pendatang di kota saya yang menanyai nomor angkot ke suatu tempat, saya selalu mengatakan bahwa kalau ingin naik angkot disini bilang saja kamu mau kemana ke sopirnya, nanti kalau dia memang ingin ke tempat yang kamu inginkan (meski di kaca depan bukan tertulis itu), kalau dia sedang butuh penumpang pasti akan diantar. Singkatnya, angkot di kota saya tak ubahnya seperti taksi yang akan mengantarkan kita kemana pun kita mau, jika kita sedang sendiri dalam angkot tersebut dan akan seperti mobil carteran, jika penumpang angkot tersebut banyak.

Permasalahan transportasi massal di kota saya yang kedua adalah tarif. Sepanjang pengalaman saya, sistem tarif angkot yang berlaku di kota saya adalah ‘flat’ alias rata. Sejauh atau sedekat apa pun kita naik angkot, ongkosnya tetap sama. Jika dulu ketika saya SMP tarif angkot untuk jarak jauh/dekat adalah Rp 500 untuk pelajar SD/SMP, maka sekarang ketika saya sudah dewasa tarif angkot untuk jarak jauh/dekat adalah Rp 4.000. Hal ini tidak bermasalah jika saja pemkot memberikan subsidi angkutan massal kepada sopir.

Sistem tarif dan kebijakan pemkot yang demikian memberikan keuntungan sekaligus kerugian bagi sopir angkot maupun penumpang. Bagi penumpang yang bepergian jauh dengan naik angkot mungkin akan merasa diuntungkan karena ia cukup membayar Rp 4000 saja, tapi bagi penumpang yang jaraknya dekat, tidak sampai satu kilometer mungkin akan merasa dirugikan dengan tarif itu, terutama bagi pelajar dan mahasiswa. Pun dengan tarif tersebut sopir angkot akan merugi jika ada penumpang yang memakai jasanya untuk jarak yang jauh namun hanya membayar Rp 4000, dan akan mendapat keuntungan jika ada penumpang jarak dekat dan membayar Rp 4000.

Disinilah diperlukannya sebuah solusi. Meski permasalahan yang pertama yang menyangkut tata kota sedikit banyak sukar untuk diatasi, namun untuk permasalahan yang kedua saya memiliki ide untuk mengatasi problematika itu. Ide saya sederhana, namun membutuhkan modal yang tidak sedikit untuk merealisasikannya.

Ide saya adalah dengan pemasangan pemindai pembayaran di setiap pintu angkot. Pemindai pembayaran (pay reader) yang saya maksud hampir sama dengan pemindai e-card yang biasa digunakan ketika hendak menaiki busway TransJakarta atau KRL, hanya saja mungkin ukurannya lebih kecil, disesuaikan dengan ukuran pintu angkot. Tentu tidak hanya pemindai, tapi juga palang besi untuk mencegah calon penumpang yang belum memindai e-card nya pada reader.

Para calon penumpang harus memiliki e-card terlebih dahulu sebelum bisa menaiki angkot. Dalam hal ini pemeritah kota bisa bekerja sama dengan bank-bank yang memiliki produk e-card. Hal yang membedakan sistem pembayaran angkot yang saya usulkan ini dengan sistem pembayaran yang ada pada TransJakarta atau KRL adalah terletak pada sistem ongkos pada pemindainya itu sendiri.

Jika pada TransJakarta atau KRL diberlakukan sistem tarif flat, maka pada usulan saya, mesin pemindai ongkos angkot akan menghitung seberapa jauh/lama penumpang yang memakai e-card tersebut berada di dalam angkot. Oleh karena itu, sebelum keluar dari dalam angkot ia diharuskan memindai e-cardnya kembali ke reader, kemudian reader akan memotong saldo e-card tersebut sesuai dengan tarif yang berlaku. Dalam hal ini perlu ada peraturan juga mengenai tarif angkot perkilometernya. Dengan sistem ongkos yang demikian, diharapkan kedua belah pihak yakni penumpang maupun sopir angkot sepaham dan tidak ada yang merasa dirugikan sehingga kesejahteraan sopir angkot dapat lebih terjamin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun