Mohon tunggu...
Cita juwita alwani
Cita juwita alwani Mohon Tunggu... Psikolog - PSIKOLOG RS.BHAYANGKARA POLDA JATIM

Trying to be a minimalism.. Bekerja sebagai seorang psikolog di ppt jatim perlindungan thd perempuan n anak korban kekerasan.. Berusaha melakukan yg terbaik dan menikmati setiap ritme kehidupan yg diberikan Allah SWT

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Di Balik Telekonseling: Kedukaan Ditinggal Suami Selamanya

31 Agustus 2021   12:24 Diperbarui: 31 Agustus 2021   13:40 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masa pandemi covid ini, luar biasa dampaknya bagi semua terutama membentur kondisi psikis kita. Setiap kali membuka televisi, membuka handphone, berselancar di dunia maya lewat medsos akan datang silih berganti menerima informasi tentang kematian yang dialami oleh orang terdekat dan kita mengenalnya. 

Iya sangat dekat, sampai kadang bermunculan pertanyaan 'apa aku ya yang selanjutnya?' sangat mengganggu, bahkan berpengaruh pada kebiasaan tidur, kerja, dan apapun aktivitas kita.

Saya ingin flashback pada beberapa bulan lalu sebelum ada PPKM, dimana ada seorang ibu muda yang baru saja melahirkan dan ditinggal meninggal oleh suaminya. Ibu tersebut menghubungi saya melalui telpon dengan menangis di sepanjang ceritanya. Saya yang awalnya tidak mengenal, menjadi kaget dan akhirnya mencoba untuk memahami setiap perkataannya, Jelas saja apa yang diceritakan tidak runtut.

Si ibu muda tersebut menceritakan bahwa betapa hancurnya dia dan perasaannya dimana harus merawat bayinya yang baru lahir tanpa adanya suami. Dia kemudian menyangkal akan apa yang dialami dan menyalahkan Tuhan saat itu.

'Suamiku baik-baik saja Bu, dia berolahraga, Saya dijagain terus..kenapa RS justru menganggap dia covid , dirawat trus meninggal, gak mungkin itu Bu, Allah kok kejem ya sama Saya, lama nunggu punya anak lha kok pas anak lahir langsung jadi janda.' 

Si ibu semakin ga karuan berbicara di telpon. Saya hanya bisa terdiam karena saya sadar bahwa kata 'sabar bu..' tidak akan membuat tangisnya akan reda, yang ada justru malah semakin kenceng ngejer nantinya.

Saya diam, sambil sesekali memberi tanggapan seperti "baik bu..""uhumm.." itu probing yang bisa saya sampaikan saat dia bercerita agar dia tahu bahwa saat berbicara lewat telpon, saya tetap ada dan tidak nyambi ngerjakan hal lainnya. Percakapan itu terjadi kurang lebih satu jam, dimana hanya tangisan yang mendominasi. Mungkin setelah si ibu muda tadi menangis kencang lalu kemudian tenang, lalu percakapan berhenti.

Keesokan harinya, si ibu muda tadi menghubungi saya kembali melalui telpon dengan reaksi yang sama tetapi yang kali ini saya sudah bisa lebih menghandle kondisinya. Kejadian ini terjadi kurang lebih tiga minggu. Sampai akhirnya kita bertemu, setelah saya agak gemes karena diminta mendengarkan tanpa harus menyela.

Ibu Muda tersebut dan saya memutuskan waktu pertemuan untuk membahas apa yang dialami. Si ibu ini menceritakan bahwa ada perasaan yang tidak bisa ditebak dalam dirinya dan ini berkecamuk jadi satu lalu mempengaruhi kemampuannya dalam beraktivitas. Pada suatu momen, muncul kemarahan dalam diri lalu ingin mengakhiri hidup bayi dan dirinya.

Momen-momen berat tersebut dialami sendiri dan sulit untuk mempercayakan orang lain sebab orang lain dirasa tidak bisa merasakan apa yang dirasa. Saat si ibu muda berkata demikian, saya juga mikir 'lha kok curhat ke aku?' tapi kemudian saya sadar bahwa ya jelaslah kan saya psikolog.

Semua kemarahan dan keinginan untuk merusak diri tersebut, alhamdulillahnya diketahui oleh keluarga yang kebetulan satu rumah. Si ibu Muda akhirnya lebih banyak mengasingkan diri, tidak memberikan ASI pada bayi.

Kejadian yang dialami oleh si Ibu muda terjadi tepat sebelum PPKM yaitu bulan Juli dan saat ini kondisinya sudah lebih baik. Si ibu muda ini sudah menemukan coping dan social support yang tepat sehingga mampu melalui tahapan kesedihannya dengan baik menurut versinya. Si ibu muda sudah mulai belajar menerima bahwa apa yang dialaminya merupakan suatu cerita menarik dalam perjalanan hidupnya.

  1. Berkaca dari apa yang dialami oleh si ibu muda yang saya jelaskan di atas, kasus yang hampir sama juga dialami oleh banyak orang khususnya di Indonesia terutama di saat pandemi. Kondisi ini merupakan kondisi baru dan benar-benar menguras emosi kita.  Sekali lagi semua merasakan hal yang sama hanya saja kita tidak bersama.

Kisah ditinggal meninggal oleh orang yang dicintai selama pandemi, membuat kita belajar bahwa di era pandemi ini, kematian terasa lebih dekat dan membuat perubahan kondisi psikis kita. Hal ini sesuai dengan apa yang diteliti oleh Elizabeth Kubler Ross yaitu The Five Stages Of Grief  atau model lima tahapan kedukaan.

Tahapan kedukaan menurut Elizabeth Kubler Ross, diantaranya:

1. Penyangkalan atau denial

Ini adalah tahap pertama yang dialami, dimana orang yang berduka masih menyangkal bahwa orang yang dicintai sudah tidak ada. Pada pengalaman dari si ibu muda tadi, tampak jelas bahwa dirinya saat itu masih tidak menyangka bahwa ditinggal      suaminya. Suaminya adalah orang yang rajin berolahraga.

2.  Kemarahan (Anger)

Pada tahapan ini, seseorang akan merasa bahwa ini tidak adil kenapa harus terjadi pada saya. Pada kisah si ibu muda ini juga tampak kemarahan pada Tuhan dimana dia merasa tidak adil. Si ibu muda memimpikan memiliki anak dan saat sudah memiliki anak justru malah ditinggal oleh suami, dan ini menunjukkan Tuhan jahat, tega, dan tidak adil. 

Target kemarahan yang dirasakan seseorang dalam tahapan ini adalah orang-orang yang ada disekitarnya yang tidak mengalami hal seperti yang ia rasakan, dalam tahap ini orang yang mengalami kedukaan akan semakinsulit untuk dirawat, karena kemarahanya akan disampaikan kepada orang orang yang ada disekitarnya seperti dokter, perawat dan keluarga.(Santrock, J.W 2007:15)

3. Tawar Menawar (Bargaining)

Menawar atau tawar menawar adalah tahapan Elizabeth Kubler Ross yang ketiga bagi orang yang mengalami kedukaan, dimana pada saat ini mulailah muncul pemikiran bahwa kenapa harus saya yang mengalami ini kenapa tidak orang lain atau kenapa harus suamiku, dia masih muda dan saya masih membutuhkan kehadirannya, kasian anak saya. 

Kondisi ini juga dialami oleh si ibu muda yang merasa bahwa mengapa bukan orang lain, dan kenapa diberi anak kalau pada akhirnya suami meninggal.

4. Depression

Ini adalah kondisi terberat yang dialami oleh seseorang sebab semua perasaan marah, kecewa, menyesal, depresi menjadi satu dan pada tahapan ini biasanya seseorang tidak mau dibantu, ditenangkan, tidak mau dihibur melainkan hanya ingin didengar. 

Pada apa yang dialami oleh si ibu muda sepertinya si ibu menghubungi saya itu saat berada di tahapan keempat ini. Karena apa? Karena pada saat itu si ibu muda emosinya tidak stabil, pembicaraannya tidak runtut sehingga sulit dipahami.

5. Penerimaan (Acceptance)

Penerimaan adalah tahap kelima, dimana orang yang mengalami kedukaan mulai mengembangkan rasa damai, dalam penelitian ini banyak kasus sesorang yang mengalami kedukaan menginginkan dibiarkan sendiri untuk menenangkan diri.


Setiap orang tidak semuanya mengalami apa yang dialami oleh si ibu muda yang kebetulan runtut dalam mengalami kedukaan. Pada beberapa kisah orang lain ada yang mengalami kedukaan dengan cepat, atau justru lambat tergantung dari bagaimana karakter individu dan bagaimana social supportnya.

Hal yang perlu dilakukan saat mengalami kedukaan adalah satu yaitu meyakinkan diri bahwa apa yang dialami saat ini merupakan suatu takdir yang diberikan Tuhan dan takdir itu pasti baik karena kita adalah pribadi terpilih. Segera meminta bantuan ahli untuk membantu anda mencari coping yang tepat dalam mengatasi masalah anda. Self healing juga dapat dilakukan secara mandiri setelah sebelumnya mendapat bantuan dari Ahli.

Satu lagi, penanganan terhadap kedukaan penting melibatkan keluarga karena psikologmu tidak satu rumah denganmu jadi akan percuma kalau psikolog sudah berbusa-busa lalu individu dan keluarga juga tidak mensupport . Terakhir pesan dari saya: salam sehat untuk kita semua, kita BISA kita KUAT dalam menghadapi pandemic covid

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun