Mohon tunggu...
cipto lelono
cipto lelono Mohon Tunggu... Sudah Pensiun Sebagai Guru

Menulis sebaiknya menjadi hobi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Habis Uang Rp 7000, Sepenggal Cerita Naik Kereta Api Pasar Senin-Kutoarjo tahun 2005

23 Oktober 2024   05:36 Diperbarui: 23 Oktober 2024   08:36 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Uang logam Rp 25 yang Bank Indonesia tahun 1994.Sumber: https://www.cnbcindonesia.com

Pemandangan sosial naik Kereta Api sebelum pak Jonathan menjadi menteri Perhubungan dan sesudah beliau menjadi menteri ada perbedaan yang lumayan jauh. Perbedaan tersebut lebih nampak pada campur baurnya penumpang dengan non penumpang di dalam gerbong kereta dalam berbagai label sosial. Kondisi ini paling terasa pada kereta jenis Ekonomi. Kelompok non penumpang bisa berupa penjual minuman, makanan kecil sampai pada penjual nasi pecel gendong.

Betapapun mereka adalah pelaku ekonomi yang ingin mengais rezeki dari penumpang dalam perjalanan yang relatif lama. Terkadang saat tidurpun ada penjual yang nekat membangunkan penumpang. Setiap kereta berhenti sesaat di stasiun penghubung, gelombang mereka naik turun kereta sangat terasa. Sampai-sampai penumpang yang mau turun maupun yang naik kereta harus berdesakan dengan mereka. Kondisi demikian diperparah oleh pelaku kriminal, seperti copet yang memanfaatkan kondisi berjubelnya penumpang dan non penumpang dikisaran pintu kereta.

Selain beberapa pelaku ekonomi tersebut, ada juga kelompok pengais rezeki yang tidak kalah hebohnya. Mereka selalu hadir di setiap kereta berhenti sementara di stasiun untuk menurunkan atau menaikkan penumpang. Ada bapak-bapak, ibu-ibu, bahkan remaja baik putera maupun puteri. Kelompok ini juga tidak mau ketinggalan untuk ikut-ikutan mengais  rizki. Bedanya mereka tidak membawa barang dagangan, namun mereka membawa alat-alat tertentu, misalnya sapu, kemucing, sikat sepatu, kaleng koin, gitar atau alat musik yang penting bunyi. Siapa mereka? Mereka adalah orang-orang yang berprofesi sebagai tukang semir sepatu/sandal, pengemis, pengamen, dan tukang sapu lantai Kereta disingkat (TSLK).

Ketika mereka hadir di dalam kereta menyatu dengan penumpang, makin sempurna pemandangan yang dapat dinikmati. Yang pasti ada perlombaan saling menawarkan jasa masing-masing, baik melalui lisan maupun aktivitas langsung.  Tidak mustahil, ada juga yang memaksakan minta uang seusai menyanyi atau menyapu. Lucunya sandal dan sepatu yang terlepas dari kaki pemiliknya, tidak luput juga "disikat dan disemir paksa".

 Profil Mereka

Agar melengkapi pengalaman empiris penulis terhadap empat kelompok sosial di gerbong kereta api Jakarta-Kutoarjo, sekilas ingin dipaparkan tentang profil singkatnya. Paparan profil mereka sebagai berikut:

1) Tukang Semir Sepatu/Sandal

Pelakunya pada umumnya adalah bapak-bapak paroh baya dan remaja. Alat yang mereka bawa adalah Semir merek Kiwi, kaim tipis, dan sikap sepatu warna hitam, terkadang ada yang putih kayu. Cara menawarkan jasanya, biasanya mendekati bapak-bapak yang diketahui memakai sepatu atau sandal kulit. Bahasa promosi yang dipakai biasanya agar sepatu mengkilap, namun pada umumnya hanya berkata "semir sepatu, semir sepatu, semir, semir". Cara pakaian mereka lumayan bersih. 

2) Pengemis

Untuk kelompok sosial ini, pelakunya ada anak-anak usia sekolah (baik laki maupun perempuan), bapak-bapak yang agak tua, dan ibu-ibu yang juga kelihatan tua. Sebagian mereka ada yang membawa kaleng koin untuk wadah uangnya. Namun sebagian besar menggunakan tangan. Bahasa yang dipakai biasanya " minta pak, minta buk". Kalimat itu sering dipakai para pengemis yang berstatus anak-anak. Untuk bapak-bapak dan ibu-ibu, biasanya hanya mendekatkan kaleng koin ke depan penumpang atau dengan tangan kosong (Bahasa Jawa: Ngathung). Pakaian yang dikenakan lusuh dan  terlihat kotor.

3) Pengamen

Para pengamen, ada yang bapak-bapak, adapula mas-mas. Alat yang dibawa sebagian besar gitar. Namun ada juga yang bawa "krenceng" maupun "alat musik sekedar bunyi" (asbun) yang biasanya dibuat dari kaleng kecil yang yang diisi dengan benda-benda tertentu.

Strategi yang digunakan, ada yang menyanyi dengan memetik gitar. Lagu-lagu yang dibawakan ada yang jenis dangdut, pop, maupun keroncong. Umumnya pengamen jenis ini suaranya terukur relatif bagus dan enak didengar. Apalagi yang dinyanyikan lagu Koes Plus (Bunga di Tepi Jalan), penulis selalu menikmatinya. Ada yang menyanyi "asbun" (asal bunyi) dengan menggerakkan alat musik yang digolongkan asal bunyi tadi. Jadi ada korelasi positif, alat musik yang dibawa dengan lagu yang dibawakan serta suara yang diperdengarkan dalam hal ngamen. Bagi pengamen dengan alat gitar, biasanya anak-anak muda atau pengamen tua, pakaiannya relatif rapi. Namun yang membawa alat music asal bunyi, biasanya pakaiannya cenderung lusuh.   

4) Penyapu Lantai Kereta

Untuk kelompok ini terdiri dari bapak-bapak, remaja, juga ada yang anak-anak (baik laki maupun perempuan). Strategi yang langsung diterapkan adalah menyapu di lantai yang ada disekitar penunmpang maupun di bawah tempat duduk penumpang. Sesekali mereka bilang minta maaf kepada penumpang sambil mengangkat saldal maupun sepatu yang dilepas pemakaianya.

Setelah selesai menyapu, mereka baru membawa alat tertentu yang didekatkan di muka para penumpang. Kalau pas waktu baik, banyak juga yang memberikan. Namun kalau pas waktu yang kurang baik, hanya sedikit sekali yang memberikan. Pakaian mereka ada yang lusuh ada yang terlihat rapi. Namun Sebagian besar tampak lusuh.

Iseng Siapkan Uang Recehan Rp 7000 

Saat itu di tugas kedinasan, penulis mendapatkan tugas sebagai guru Sosiologi. Biasalah, guru Sosiologi selalu berbincang fenomena sosial dengan para siswanya. Maka, pada saat ada kepentingan di Jakarta, penulis ingin melihat fenomena sosial apa saja yang ada di didalam Kereta Api sebagai oleh-oleh perjalanan kepada para siswa. Untuk makin menikmati fenomena tersebut, penulis menyiapkan uang logam recehan. Terkumpul tujuh ribu rupiah. Untuk apa uang itu? Uang itu penulis rancang untuk diberikan orang-orang yang penulis anggap sebagai fenomena sosial baru di masyarakat perkeretapian.

Saat itu penulis naik kereta kelas Ekonomi. Selama perjalanan dari melihat secara nyata terhadap empat kelompok sosial yang profilnya diuraikan di atas. Menariknya, uang logam recehan yang berjumlah Rp 7000 habis terbagi untuk keempat kelompok tersebut. Sayangnya penulis lupa tidak menjumlahkan berapa yang diberikan pada masing-masing kelompok dari setiap berhenti di setiap stasiun dalam perjalanan Kutoarja-Jakarta. Sekaligus berapa jumlah mereka yang menerima dalam perjalan tersebut, lupa dijumlahkan. Yang pasti, setiap mereka beraktivitas, selalu penulis berikan uang receh. Apakah Rp 50 atau Rp 100. Eh Lupa, sejumlah Rp 7000 semua terbagi untuk keempat kelompok sosial di atas (di luar untuk makan dan kamar kecil).

Setelah pulang, di kantor penulis bercerita ke teman-teman tentang pengalaman tersebut. Ada-ada saja, celoteh teman-teman saya di kantor saat itu. Saat pengalaman itu penulis ceritakan, mereka sangat antusias. Sekaligus penulis memberikan contoh secara langsung kepada para siswa, langkah riil memperoleh data penelitian yang riil. Ternyata sambil naik kereta, bisa menambah wawasan para siswa berpikir Sosiologi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun