3) Pengamen
Para pengamen, ada yang bapak-bapak, adapula mas-mas. Alat yang dibawa sebagian besar gitar. Namun ada juga yang bawa "krenceng" maupun "alat musik sekedar bunyi" (asbun) yang biasanya dibuat dari kaleng kecil yang yang diisi dengan benda-benda tertentu.
Strategi yang digunakan, ada yang menyanyi dengan memetik gitar. Lagu-lagu yang dibawakan ada yang jenis dangdut, pop, maupun keroncong. Umumnya pengamen jenis ini suaranya terukur relatif bagus dan enak didengar. Apalagi yang dinyanyikan lagu Koes Plus (Bunga di Tepi Jalan), penulis selalu menikmatinya. Ada yang menyanyi "asbun" (asal bunyi) dengan menggerakkan alat musik yang digolongkan asal bunyi tadi. Jadi ada korelasi positif, alat musik yang dibawa dengan lagu yang dibawakan serta suara yang diperdengarkan dalam hal ngamen. Bagi pengamen dengan alat gitar, biasanya anak-anak muda atau pengamen tua, pakaiannya relatif rapi. Namun yang membawa alat music asal bunyi, biasanya pakaiannya cenderung lusuh. Â Â
4) Penyapu Lantai Kereta
Untuk kelompok ini terdiri dari bapak-bapak, remaja, juga ada yang anak-anak (baik laki maupun perempuan). Strategi yang langsung diterapkan adalah menyapu di lantai yang ada disekitar penunmpang maupun di bawah tempat duduk penumpang. Sesekali mereka bilang minta maaf kepada penumpang sambil mengangkat saldal maupun sepatu yang dilepas pemakaianya.
Setelah selesai menyapu, mereka baru membawa alat tertentu yang didekatkan di muka para penumpang. Kalau pas waktu baik, banyak juga yang memberikan. Namun kalau pas waktu yang kurang baik, hanya sedikit sekali yang memberikan. Pakaian mereka ada yang lusuh ada yang terlihat rapi. Namun Sebagian besar tampak lusuh.
Iseng Siapkan Uang Recehan Rp 7000Â
Saat itu di tugas kedinasan, penulis mendapatkan tugas sebagai guru Sosiologi. Biasalah, guru Sosiologi selalu berbincang fenomena sosial dengan para siswanya. Maka, pada saat ada kepentingan di Jakarta, penulis ingin melihat fenomena sosial apa saja yang ada di didalam Kereta Api sebagai oleh-oleh perjalanan kepada para siswa. Untuk makin menikmati fenomena tersebut, penulis menyiapkan uang logam recehan. Terkumpul tujuh ribu rupiah. Untuk apa uang itu? Uang itu penulis rancang untuk diberikan orang-orang yang penulis anggap sebagai fenomena sosial baru di masyarakat perkeretapian.
Saat itu penulis naik kereta kelas Ekonomi. Selama perjalanan dari melihat secara nyata terhadap empat kelompok sosial yang profilnya diuraikan di atas. Menariknya, uang logam recehan yang berjumlah Rp 7000 habis terbagi untuk keempat kelompok tersebut. Sayangnya penulis lupa tidak menjumlahkan berapa yang diberikan pada masing-masing kelompok dari setiap berhenti di setiap stasiun dalam perjalanan Kutoarja-Jakarta. Sekaligus berapa jumlah mereka yang menerima dalam perjalan tersebut, lupa dijumlahkan. Yang pasti, setiap mereka beraktivitas, selalu penulis berikan uang receh. Apakah Rp 50 atau Rp 100. Eh Lupa, sejumlah Rp 7000 semua terbagi untuk keempat kelompok sosial di atas (di luar untuk makan dan kamar kecil).
Setelah pulang, di kantor penulis bercerita ke teman-teman tentang pengalaman tersebut. Ada-ada saja, celoteh teman-teman saya di kantor saat itu. Saat pengalaman itu penulis ceritakan, mereka sangat antusias. Sekaligus penulis memberikan contoh secara langsung kepada para siswa, langkah riil memperoleh data penelitian yang riil. Ternyata sambil naik kereta, bisa menambah wawasan para siswa berpikir Sosiologi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H