Mohon tunggu...
cipto lelono
cipto lelono Mohon Tunggu... Guru - Sudah Pensiun Sebagai Guru

Menulis sebaiknya menjadi hobi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menelisik Nilai-nilai Kearifan Lokal Bangsa dari Situs Liangan

2 Oktober 2024   07:43 Diperbarui: 2 Oktober 2024   07:43 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Repro Formasi keruangan situs Liangan tahun 2014.Dokpri

Dinasti Sanjaya telah banyak mengukir jejak peradaban di wilayah Magelang sekitar. Salah satunya adalah situs Liangan yang disebut-sebut oleh para ahli sebagai kampung peradaban peninggalan Mataram Kuno. Situs ini terpendam material pasir dan bebatuan dari letusan gung Sindoro sedalam +8 m.  Mulai terkuak tahun 2008 oleh penambang pasir. Penulis sempat beberapa kali menikmati keindahan situs ini. Dari kondisi awal di mana banyak situs yang masih terpendam, sampai tersusunya pagar, yoni tiga lubang (di halaman 1), pagar, candi Patirtan yang ada di halaman 3.  

Kondisi pagar lempeng batu (saat awal eskavasi) yang masih terpendam di dalam batu galian sedalam + 8 m.Dokpri
Kondisi pagar lempeng batu (saat awal eskavasi) yang masih terpendam di dalam batu galian sedalam + 8 m.Dokpri
Kondisi pagar tersebut sekarang sudah nampak tersusun rapi, sehingga menambah pesona tata kehidupan masyarakat Mataram Kuno pada masa tersebut. Selain pagar, kondisi sekarang sudah diketahui adanya bangunan candi, pagar candi, talud pagar, talud tebing, bahkan candi patirtan.

Salah satu struktur situs Liangan yaitu tangga masuk halaman 1 dan jalan batu.Dokpri
Salah satu struktur situs Liangan yaitu tangga masuk halaman 1 dan jalan batu.Dokpri

Melihat sebaran temuan situs yang ada, situs Liangan merupakan peninggalan dinasti Sanjaya yang masuk kategori besar. Liangan bukan percandian seperti biasanya, namun diduga kuat merupakan prototipe "kampung peradaban" pada masa Mataram Hindu. Kampung ini merupakan contoh nyata tata kehidupan masyarakat yang hidup secara komunal berdasarkan nilai dan norma yang telah disepakati.

Kampung Peradaban

Berdasar hasil penelitian Balai Arkeologi Yogjakarta dapat diketahui bahwa situs Liangan merupakan kampung peradaban peninggalan Mataram Kuno. Berdasar temuan benda-benda purbakala yang ada, dapat diketahui bahwa situs Liangan bercorak Hindu. Selanjutnya terpendam material vulkanik gunung Sindoro belasan meter, dan baru mulai terkuak sejak 2008.

Candi 1 dan yoni tiga lubang  di halaman pertama saat  masih terpendam.Dokpri
Candi 1 dan yoni tiga lubang  di halaman pertama saat  masih terpendam.Dokpri

Berdasar temuan benda-benda purbakala yang ada juga disimpulkan bahwa situs Liangan bukanlah kompleks candi, namun merupakan suatu kampung dengan tata nilai yang sudah teratur dan terintegrasi baik secara social, ekonomi, budaya maupun religi dengan mendepankan konsep teknologi yang tinggi. Istilah "kampung peradaban" ini digunakan barangkali sebagai gambaran adanya tatanan kehidupan masyarakat desa pada masa Mataram Kuno yang sudah memiliki tata kelola kehidupan yang sudah tertata secara terintegrasi dalam berbagai bidang.

Sebutan tersebut mengindikasikan kampung yang ada di situs Liangan mempunyai karakteristik yang tidak sama  dengan kampung-kampung di luar Liangan. Maka sebutan kampung peradaban mengindikasikan adanya kekhususan baik secara relasi keruangan maupun dalam konteks kehidupan social, ekonomi, budaya dan relegi, maupun pengembangan teknologi.  

Sebagai satu kesatuan ruang, situs Liangan mempunyai tiga area yaitu area peribadatan, area hunian dan area pertanian. Temuan struktur bangunan sebagai temuan hasil penelitian oleh Tim Peneliti Balai Arkeologi Yogjakarta tahun 2013 dipetakan dengan diberi kode angka romawi I sampai XXI. Struktur bangunan sebagai salah satu bentuk formasi keruangan situs Liangan secara detil dapat dilihat sebagai berikut:

Repro formasi struktur bangunan situs Liangan hasil penelitian tahun 2013.Sumber:Balai Arkeologi Yogjakarta.Dokpri
Repro formasi struktur bangunan situs Liangan hasil penelitian tahun 2013.Sumber:Balai Arkeologi Yogjakarta.Dokpri

Berdasar peta di atas dapat diketahui bahwa kampung peradaban pada situs Liangan terdiri dari 17 komponen yang menyebar di area persawahan penduduk. Uraian peta dapat dijelaskan sebagai berikut: kode I adalah bangunan candi 1, kode II adalah pagar candi, kode III dan III a adalah pagar lempeng batu, kode IV adalah tangga, kode V adalah selasar, kode VI dan XVII adalah talud balok batu, kode VII adalah jalan batu, kode VIII adalah rumah kayu, kode IX adalah batur nomor 1, kode X adalah batur nomor 2a, kode XI adalah batur nomor 2b, kode XII adalah batur nomor 2c, kode XIII adalah batur nomor 3, kode XIV, XV, XV a, XVI, XIX, XX adalah talud batu baulder, kode XVIII adalah talud kubus batu, kode XXI adalah batur nomor 4. Dugaan batur nomor 4 dengan kode XXI, dalam penelitian tahun 2014 mengalami perubahan. Sebab tempat tersebut bukanlah batur, namun bangunan candi. Maka tahun 2014 kode XXI menjadi candi 2. Selanjutnya kode XII a adalah batur nomor 2d.

Berdasar uraian di atas diketahui bahwa 17 komponen situs Liangan terdapat 2 candi, 7 batur, tangga, selasar, talud balok batu, talud kubus batu, pagar lempeng batu, jalan batu dan pagar candi dan rumah kayu. Konponen-komponen tersebut terintegrasi dalam satu kesatuan formasi ruangan yang membentuk suatu kesatuan wilayah yang ditempati sekelompok manusia (penduduk) di Liangan pada sekitar abad IX M dan X M. Seperti diuraikan di atas, sebagai wilayah sosial yang disebut kampung peradaban, situs Liangan didentifikasi mempunyai tiga area utama yaitu:

a) Area peribadatan

Area peribadatan merupakan pusat kegiatan keagamaan. Tempat ini dijadikan sebagai kegiatan upcara keagamaan atau prosesi ritual. Pada area ini terdiri dari 3 halaman. Secara garis besar prosesi ritual dimulai dari halaman III, selanjutnya menuju halaman II, dan berakhir di halaman I. Dengan demikian halaman I merupakan area terakhir prosesi ritual. Untuk memperoleh penjelasan tentang hal-hal yang terkait di area peribadatan dapat dilihat pada denah ruangan berikut:

Repro proses ritual situs Liangan hasil penelitian tahun 2014. Dokpri.
Repro proses ritual situs Liangan hasil penelitian tahun 2014. Dokpri.

Berdasar gambar di atas, Tim peneliti Balai Arkeologi Yogjakarta memberikan penjelasan prosesi ritual sebagai berikut. Prosesi ritual dimulai dari candi 2 yang berada di halaman III area F. Prosesi dilanjutkan menuju halaman II (ruang B) melalui tangga. Prosesi kemudian dilanjutkan dari tangga ke batur 4 untuk kemudian menuju batur 3 melalui tangga selasar. Selanjutnya dari batur 3 prosesi utama dimulai dengan didahului prosesi di batur 2d, 2c, 2b, 2a, dan akhirnya sampai pada prosesi puncak yaitu di candi I (halaman utama). Selanjutnya dari candi I, setelah menyelesaikan prosesi,  keluar lewat tangga selasar untuk kemudian singgah di batur nor 2. Terakhir adalah keluar dari area peribadatan melalui selasar pagar candi dan pagar balok untuk turun melalui jalan batu atau naik juga melalui jalan batu.  

Mencermati penjelasan Tim Peneliti Balai Arkeologi Yogjakarta di atas, dapat diketahui bahwa prosesi ibadah dimulai dari halaman III (bahkan tahun 2014 berkembang pada halaman IV) dengan melakukan pemujaan di candi II. Selanjutnya menaiki tangga menuju halaman II, dan akhirnya menuju I sebagai prosesi ritual di candi I. Untuk menuju halaman II dan I menggunakan tangga. Untuk menghubungkan halaman III, II dan akhirnya menuju halaman utama (I), dihubungan dengan tangga. Struktur demikian tidak berlebihan apabila dijelaskan sebagai pengaruh budaya asli Nusantara yaitu Punden berundak. Hanya saja "undak-undak"nya tidak tinggi seperti yang ada di candi Borobudur. Tempat peribadatan untuk prosesi ritual Hindu yang demikian, sepertinya baru ditemukan di situs Liangan. Hal demikian bisa dimaklumi, karena liangan memang bukan candi atau kompleks percandian.

b) Area hunian

Area hunian mempunyai formasi tidak terpisah dengan area peribadatan maupun area pertanian. Pada area yang diduga sebagai tempat hunian masyarakat, ditemukan fragmen tulang, onggokan butir padi yang terbakar, alat rumah tangga, dll. Namun demikian, hipotesis berkaitan dengan area hunian juga berkembang seiring dengan temuan-temuan baru yang ada di lapangan. Untuk mencermati rangkaian satu kesatuan area hunian dengan area peribadatan dan area pertanian dapat dilihat pada denah  ruangan berikut:

Repro Formasi keruangan situs Liangan tahun 2014.Dokpri
Repro Formasi keruangan situs Liangan tahun 2014.Dokpri

Formasi ruangan hasil penelitian tahun 2014 sekaligus memberikan koreksi tentang identifikasi komponen. Batur 4 di ruang F yang diidentifikasi tahun 2013 dengan kode XXI, pada tahun 2014 diidentifikasi  menjadi candi II. Maka konsep ruangan menjadi tiga ruang yaitu ruang F, ruang B dan ruang A. Ketiganya diduga sebagai area peribadatan. Ketiganya dikelompokkan pada kategori halaman sebagai berikut. Ruang F berada di halaman III, ruang B berada pada halaman II, sedang ruang A berada pada halaman I (halaman utama).

Di mana letak area hunian? Berdasar hipotesis Tim Peneliti Balai Arkaelogi Yogjakarta area hunian berada ruang F dan G. Ruang F merupakan area hunian yang menyatu dengan area peribadatan. Sedangkan area G merupakan area hunian yang terpisah dari ruang peribadatan (A dan B).

c) Area pertanian

Selanjutnya hipotesis tentang area pertanian berada di ruang D, I, J, K, L dan M. Di ruang ini ditemukan aneka alat pertanian (cangkul, parang, sabit,dll). Ditemukan juga beberapa yoni yang terlepas. Temuan yoni dimungkinkan sebagai sarana untuk memperoleh kesuburan tanah atau lahan pertanian. Area pertanian tersebut merupakan satu rangkaian dengan area peribadatan dan area hunian.

Ketiga area tersebut boleh dikatakan sebagai karakter utama situs Liangan sebagai kampung peradaban yaitu suatu kampung yang dinamis, maju, terbuka dan berpegang pada adab (tata krama, sopan santun, menjunjung tinggi gotong royong, nilai social dan agama),  dengan penerapan teknologi yang bisa dikategorikan tinggi. Ketiga area sekaligus merupakan satu kesatuan wilayah social, ekonomi, budaya dan relegi. Di situs ini masyarakat melakukan interaksi social yang lebih bersifat asosiatif (saling membantu). Hal ini disebabkan bahwa masyarakat Liangan sangat mungkin merupakan masyarakat yang agraris yang menjunjung tinggi nilai kebersamaan daripada persaingan. 

Aneka temuan di luar Struktur Bangunan

Sebelum mengurai tentang nilai-nilai kearifan lokal yang dapat dicermati dari situs Liangan, kiranya perlu dipaparkan juga hasil penelitian Tim Peneliti Arkeologi Yogjakarta terkait dengan beberapa temuan yang ada di situs Liangan.

Benda-benda temuan selain struktur bangunan.Dokpri
Benda-benda temuan selain struktur bangunan.Dokpri

 Aneka temuan tersebut menujukkan adanya dinamika kehidupan masyarakat di Liangan sekaligus makin memperjelas Liangan sebagai kampung peradaban. Beberapa temuan ada yang merupakan produk terkait dengan keberadaan situs Liangan, bahkan juga ada yang berasal dari Cina (khususnya dinasti Tang). Beberapa temuan tersebut antara lain:

1) Keramik

Keramik yang ditemukan semua berasal dari dinasti Tang abad IX M sampai X M. Benda-benda yang ditemukan antara lain: guci, tempayan, mangkuk, guci kecil, teko, guci bercerat, botol, cepuk, cawan, vas dan kendi. Kualitas keramik Liangan tergolongan kualitas menengah.

2) Tembikar

Secara umum tembikar situs Liangan dibuat dari pasta kasar dengan campuran pasir maupun sekam. Adapun cara pembuatan menggunakan roda putar dan teknik tekan atau gabungan keduanya. Beberapa hasil temuan antara lain: kendi, periuk, lampu, kowi, penyangga wadah, cawan,dll.

3) Artefak batu

Artifak batu melengkapi keberadaan situs Liangan sebagai kampung peradaban. Beberapa temuan antara lai: pipisan, gandik, plat batu, manik-manik berwarna merah dan berlubang tembus.

4) Artefak logam

Sementara itu artefak logam juga ditemukan di situs Liangan. Beberapa temuan antara lain alat pertanian (cangkul, parang, sabit), alat bangunan (Angkor), alat rumah tangga (buyung, mangkuk, panic, pisau, talam, pegangan wadah, dll), alat tukang (cangkul, kapak, palu, tatah, dan tang), alat upacara (genta, giring-giring), alat penerangan (tempat minyak, lampu gantung), perhiasan             (cermin atau derpana), senjata (pedang, keris, dan mata tombak).

Sederet temuan struktur bangunan, sarana peribadatan dan aneka temuan selain struktur bangungan seperti keramik, tembikar, artefak batu, artefak logam, perhiasan, alat pertanian, maupun senjata; menunjukkan bahwa situs Liangan sebagai kampung yang mempunyai kompleksitas baik secara sosial, ekonomi maupun budaya. Secara tidak langsung juga teknologi juga sudah tinggi. Bahkan pada situs Liangan juga menyuguhkan arsitektur bangunan yang kompleks dan rumit. Hal ini menunjukkan tingkat peradaban masyarakat yang dikategorikan tinggi. 

Sehingga sebutan situs Liangan sebagai kampung peradaban lebih mengacu pada keberhasilan masyarakat Liangan saat itu dalam menata wilayah sosialnya menjadi suatu tempat hunian yang terikat konsep ekonomi, sosial, maupun relegi. Penataan pola perkampungan dengan arsitektur yang rumit, kompleks dan mempunyai relasi keruangan yang jelas dan terprogram. Penataan pola kampung demikian tidak mustahil juga memunculkan pertanyaan, masuk wilayah territorial apa keberadaan situs Liangan?

Sampai sekarang situs Liangan sepertinya masih belum bisa diidentifikasi masuk dalam wilayah teritorial rajya (kerajaan), watak, atau wanua. Namun berdasar isi prasasti Rukam, secara territorial bisa saja masuk dalam watak patapan (Sugeng Riyanto,2014:157). Maka perlu telaah lebih lanjut agar dapat diketahui status atau kelompok teritorialnya.

Siapa Raja yang memerintah?

Misteri demi misteri situs Liangan muncul secara bertahap. Dugaan awal kalau situs Liangan adalah peninggalan candi, terbantahkan. Berdasarkan hasil temuan benda-benda purbakala, akhirnya disimpulkan bahwa situs Liangan merupakan kampung peradaban. Tentu masih ada perjuangan untuk mengungkap misteri lebih lanjut guna melengkapi temuan dan hasil rekonstruksi yang sudah ada. Misteri berikutnya yang tidak kalah penting adalah siapa yang berkuasa pada saat Liangan berdiri, bahkan yang memerintahkan?

Berdasar ciri temuan candi, lingga maupun yoni, sudah bisa disimpulkan bahwa situs Liangan bercorak Hindu. Pertanyaan berikut adalah, siapa raja yang memerintah saat itu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu diuraikan tentang prasasti yang terkait yaitu prasasti Rukam 907 M. Prasasti ini menjelaskan adanya desa yang hilang akibat letusan gunung. Selain itu dapat dilacak dari temuan guci yang diduga kuat dari dinasti Tang (Cina) yaitu abad IX M.  Selanjutnya juga dilihat seni arsitek pada kaki candi situs Liangan yaitu berupa pelipit persegi, pelipit setengah lingkaran dan pelipit sisi genta. Berdasar ciri tersebut diperkirakan merupakan salah satu ciri asrisitek Jawa Tengah abad IX M.

Apabila didasarkan pada prasasti Rukam 907 M, maka penguasa Mataram Hindu saat itu adalah Balitung. Sebab Balitung berdasarkan isi prasasti Wanua Tengah III naik tahta tahun 23 Mei 898 M. Sehingga sembilan tahun berkuasa, dia mengeluarkan prasasti Rukam 907 M. Bisa saja Balitung saat berkuasa terjadi letusan hebat gunung Sindoro yang mengakibatkan situs Liangan hilang terkubur material gunung. Maka, Balitung mengeluarkan prasasti Rukam 907 M untuk memberikan sima sebagai pengganti desa yang hilang akibat letusan gunung.

Mengingat keberadaan Liangan diduga sudah ada sebelum Balitung, bisa saja yang berkuasa adalah raja Kayuwangi. Sebab raja ini naik tahta tanggal 27 Mei 855 M. Berdasarkan fakta (prasasti maupun peninggalan candi-candi), Kayuwangi pada kisaran tahun 856 M sangat gencar melakukan ekspansinya di wilayah Magelang. Sebab beberapa candi (Pendem, Asu, Lumbung, situs Plandi, situs Samberan?, situs Brongsongan?, candi Umbul?,dll) dibangun masa pemerintahannya. Maka tidak mustahil kalau situs Liangan juga menjadi karya monumentalnya. Bisa saja Pikatan yang juga berkuasa pada saat Liangan itu ada. Sebab Pikatan naik tahta 847 M s.d. 855 M. Selanjutnya Pikatan digantikan oleh Kayuwangi. Rakai Pikatanlah yang diduga kuat membangun candi Prambanan yang metropolit itu. Sehingga tidak mustahil, kampung peradaban di Liangan juga merupakan karya kekuasaanya.

Apabila sejak abad IX M situs Liangan sudah ada, maka raja-raja yang dimungkinkan berkuasa adalah Warak (803-827 M), Garung (828 M-847 M), Pikatan (847 M-855 M), Kayuwangi (855 M-885 M), Watuhumalang (894 M-898 M), Balitung (898 M-911 M).  Pada awal Balitung memerintah, sangat mungkin terjadi letusan dahsyat yang materialnya mengubur desa Liangan. Sehingga 907 M Balitung memerintahkan mengeluarkan prasasti yang berisi pemberian sima sebagai pengganti desa yang hilang akibat letusan gunung Sindoro (ilang dening Guntur). Namun penulis condong situs Liangan dibangun atas perintah raja Kayuwangi. Seperti diuaraikan di atas, pada masa Kayuwangi di wilayah Magelang banyak dibangun candi-candi bercorak Hindu.

Situs Liangan berdiri dan berkembang abad IX M relevan dengan ciri bangunan kaki candi yang arsiteknya bercirikan periode Jawa Tengah abad IX M. Demikian juga temuan keramik yang berasal dari dinasti Tang abad IX M.

Menelisik Nilai-nilai Kearifan Lokal

a) Penataan masyarakat yang teratur

Berdasar pada fakta di lapangan, situs Liangan merupakan bekas perkampungan yang tertata secara teratur. Keteraturan social yang nampak pada beberapa hal yaitu areal hunian (tempat masyarakat berinteraksi) dikelilingi oleh pagar, talud, dan tempat pemujaan (candi). Hadirnya tempat pemujaan merupakan bukti bahwa masyarakat mempunyai sikap relegius yang baik. Selanjutnya sebagai masyarakat yang ingin mempertahankan hidupnya, mereka hidup dari pertanian maupun perdagangan.

Tata kehidupan kampung yang sudah teratur, sudah ada sejak masa Indonesia memasuki masa bercocok tanam. Agar masyarakat bisa bercocok tanam dengan tenang dan maksimal, mereka membangun tempat hunian di dekat areal bercocok tanam. Agar ada ketenangan dan kenyamanan, mereka membuat simbol-simbol pemujaan. Kondisi demikian terus berkembang ketika Nusantara memasuki zaman perundagian.

Menurut Brandes (arkeolog Belanda) sebelum pengaruh India masuk ke Nusantara, nenek moyang kita sudah mempunyai 10 nilai-nilai kearifan lokal yang menjadi identitas bangsa kita. Salah satunya adalah penataan masyarakat yang teratur. ( http://www.pda.or.id/pustaka/books-detail.php?id=20050020).

Liangan merupakan salah satu contoh tata kelola masyarakat yang teratur. Hal ini ditandai dengan  adanya tempat hunian, tempat ibadah, tempat mencari nafkah yang dikelilingi oleh struktur-struktur bangunan yang relevan dengan kepentingan. Gambaran demikian sudah muncul masa bercocok tanam, dan berkmebang pada masa perundagian. Maka tidak berlebihan apabila dijelaskan bahwa situs Liangan adalah protipe kampung yang telah ditata secara teratur.  

b) Kehidupan relegius

Berdasar fakta yang ada di lapangan, dapat diketahui bahwa kehidupan masyarakat desa Liangan adalah relegius. Gambaran demikian dapat diketahui dari adanya dua candi, Setidaknya ditemukannya dua candi dan beberapa batur yang menjadi tempat-tempat prosesi ibadah. Proses sosial demikian menunjukkan bahwa masyarakat Liangan saat itu adalah masyarakat yang berpegang pada kehidupan yang religius. Sikap relegius merupakan salah satu ciri kehidupan masyarakat Indonesia sebelum masuknya pengaruh India yang membawa pengaruh agama Hindu dan Budha. 

c) Struktur bangungan bertingkat (berundak)

Pada akhir masa pra sejarah Indonesia, bangsa kita sudah mengenal teknologi dengan menggunakan batu besar yang dibuat secara berundak. Contoh nyatanya adalah peninggalan Punden Berundak. Jadi, sebelum pengaruh India masuk; bangsa kita sudah mengenal tempat pemujaan yang dibuat secara berundak.

Apabila dicermati, struktur bangunan situs Liangan dari halaman III menuju halaman II sampai pada halaman utama (halaman I) juga tersusun secara berundak. Maka, bangsa kita pada saat itu dalam membangunan situs Liangan, masih mempertahankan konsep bangunan asli nusantara, selanjutnya dimodifikasi dengan pengaruh India (khususnya Hindu). Sehingga dalam pembangunan situs Liangan bangsa kita saat itu sudah menerapkan kecerdasan lokal sebagai identitas bangsanya.

Kearifan lokal adalah kepribadian budaya bangsa yang mampu bertahan, mengakomodasi,   dan  menginterogasi    unsur-unsur    budaya    luar ke   dalam   kebudayaan  sendiri. Keberadaan situs Liangan merupakan salah satu budaya bangsa kemampuan bangsa kita menyerap nilai-nilai dari luar yang dapat diadopsi dan dimodifikasi untuk kepentingan masyarakat, dengan tetap mempertahankan nilai-nilai luhur bangsa yang sudah berjalan secara turun temurun.

Referensi

Balai Arkeologi Yogjakarta.2014. Liangan: Mozaik Peradaban Mataram Kuno di Lereng Sindoro

Kusen.1994.Raja-raja Kuna dari Sanjaya Sampai Balitung Sebuah Rekonstruksi Berdasarkan Prasasti Wanua Tengah III. Majalah Berkala.Vol 14 No 2 1994. Diunduh dari https//berkalaarkeologi.kemdikbud.go.id.

http://www.pda.or.id/pustaka/books-detail.php?id=20050020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun