Mohon tunggu...
cipto lelono
cipto lelono Mohon Tunggu... Guru - Sudah Pensiun Sebagai Guru

Menulis sebaiknya menjadi hobi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membaca Warta Magelang dari Prasasti Mantyasih (907 M)

8 Agustus 2024   08:47 Diperbarui: 19 Agustus 2024   21:54 665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Prasasti Mantyasih secara tekstual tidak menyebut adanya sistem sosial yang ada di Mataram Hindu masa Balitung. Yang pasti masa Balitung masih menunjukkan pengaruh Hindu (India). Maka sistem sosial yang berjalan adalah sistem kasta. Namun konsep kasta-nya tentu tidak bisa mutlak seperti India. Diperoleh informasi dari prasasti sebelum Balitung berkuasa, terdapat nama-nama yang bersifat ke Indonesiaan terkait dengan status sosial berdasarkan catur wangsa (brahmana, ksatria, waysa dan sudra). Informasi tersebut diperoleh dari beberapa prasasti yang dibuat sebelum Balitung. Adapun uraian sebagai berikut:

a. Golongan Brahmana (golongan agamawan). Kaum Brahmana disebut dengan "samgat/pamgat" (Prasasti Kamalagi ,821 M dan Munggu Antan, 886 M). Mereka bertugas di bidang keagamaan (mengajarkan agama hindu, memimpin upacara, memutus perkara keagamaan).

b. Golongan Ksatria (Golongan Bangsawan dan Pejabat Kerajaan). Kaum Ksatria terdiri dari raja (Rake Kayuwangi) dan pejabat kerajaan yang terdiri dari Rakaryan Mapatih Hino, Wka, Sirikan, Tiruan, Halaran, Panggilhyan, Wlawan, Manhuri, Tanjun, Lanka, Wadihati, Makudur (Prasasti Ramwi,882 M). Namun prasasti tidak menjelaskan secara pasti tugas masing-masing pejabat tersebut. Nastiti,2003:36 (dalam Arrazaq dan Rochmat,2020) menjelaskan pejabat kerajaan terdiri dari atas raja, putra mahkota (mapatih I hino yaitu calon pengganti raja, tiga putra yang lain (mapatih i halu, mapatih i sirikan, mapatih i wka) yaitu pejabat kerajaan yang melanjutkan perintah raja kepada para kepala daerah (kepala watak/rake), serta seorang pejabat keagamaan (pamgat/samgat) yang bertugas mengurus keagamaan.

c. Golongan Waysha (Golongan Pedagang). Golongan pedagang juga disebutkan dalam prasasti Ramwi 882 M dengan sebutan tuha dagan. Raharjo,2011:541 (dalam Arrazaq dan Rochmat,2020) menjelaskan bahwa tuha dagan adalah ketua/pemimpin kelompok masyarakat yang berprofesi sebagai pedagang.

d. Golongan Sudra (Golongan Masyarakat Biasa). Golongan sudra adalah kelompok masyarakat yang memiliki status sosial paling bawah. Mereka disebut sebagai masyarakay biasa. Zoetmoulder,1994:473 (dalam dalam Arrazaq dan Rochmat,2020) menjelaskan bahwa masa kerajaan Mataram Kuno terdapat profesi masyarakat paling bawah yang disebut pembantu yang disebutkan dalam prasasti Luitan (901 M) dengan istilah katik. Prasasti ini ditulis masa Balitung. Maka katik adalah pembantu yang dikelompokkan dalam golongan Sudra.

8. Sistem Ekonomi

Prasasti Mantyasih secara tidak langsung juga menjelaskan tentang system ekonomi masyarakat dalam bentuk pertanian. Hal ini terkait dengan penetapan Mantyasih sebagai wilayah sima yaitu wilayah yang dibebaskan dari beban pajak, namun diberi kewajiban bahwa hasil pertanian digunakan untuk merawat dan melestrarikan bangunan suci. Berdasar prasasti sebelum Balitung berkuasa, diperoleh penjelasan beberapa aktivitas ekonomi yang tumbuh dan berkembang di Mataram Kuno. Uraian dapat dilihat pada tabel berikut:

Data tabel diolah.dokpri
Data tabel diolah.dokpri
Berdasar tabel di atas dapat diketahui ada empat kegiatan ekonomi yang dipastikan ada pada masa Balitung yaitu pertanian, perdagangan, Pengrajin, dan Kesenian. Dengan demikian profesi yang ada antara lain petani, pedagang, pengrajin, dan pegiat seni. Hasil pertanian antara lain beras dan biji-bijian, barng yang diperdagangkan antara lain beras dan komoditi lain yang dibutuhkan antar desa (wanua). Pengrajin emas, besi dan tembaga sudah berkembang pada masa Balitung. Demikian juga aktivitas kesenian (khususnya pengidung dan pemain kendang) juga sudah tumbuh dan berkembang.

Kehidupan Magelang Abad X

Warta Magelang awal abad X M jauh tentu lebih baik dibanding abad sebelumnya. Bahkan secara empiris mendapat dukungan pada bukti tertulis (prasasti) yang cukup banyak. Ditambah lagi dengan bangunan purbakala baik yang bercorak Hindu maupun Budha.

Penulis membayangkan, Magelang pada awal abad X M seperti kota metropolitan yang dipenuhi kecanggihan teknologi dan tata kehidupan social, ekonomi dan budaya yang masyarakatnya hidup sejahtera dan makmur. Sehingga tidak mustahil Magelang saat itu menjadi tumpuan masyarakat yang berasal di luar Magelang untuk berkunjung baik untuk keperluan agama, ekonomi, berwisata maupun kepentingan politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun