PNS adalah profesi yang sampai sekarang masih menjadi profesi pilihan bagi sebagian masyarakat.Â
Pertimbangan status, kepastian masa tua menjadi bagian pertimbangan yang sering mengemuka dalam perbincangan di masyarakat.
Maka tidak mustahil di sebagian masyarakat kita, dahulu kala, pernah ada yang menghalalkan segenap cara agar bisa anaknya menjadi PNS. Dengan kata lain PNS menjadi profesi dambaan dan kebanggaan bagi sebagian masyarakat kita.
Namun realitanya, perjalanan PNS tak seindah dan linear dengan sikap masyarakat yang memberikan dambaan dan simbol kebanggaan.Â
Hal ini disebabkan oleh sikap dan perilaku PNS yang kontraproduktif dengan kehendak indah masyarakat, salah satunya adalah "bolos kerja."
PNS bolos kerja mempunyai banyak dimensi penyebab dan faktor yang mendorongnya. Salah satunya adalah tidak mempunyai "kecerdasan sikap" dalam memosisikan gaya hidupnya dengan penghasilan yang diterima setiap bulan.
Seperti diketahui bahwa gaji PNS sudah dapat dihitung setiap bulannya. Sehingga setiap pribadi PNS tentu sudah mengerti berapa penghasilan yang diterima tiap bulannya.
Jumlah itulah yang semestinya dijadikan sebagai ukuran untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Baik untuk makan minum, sandang, pangan dan papan maupun biaya pendidikan anak-anaknya.Â
Sikap "menjadi diri sendiri" adalah langkah bijak dalam mengarungi kehidupan di tengah perbedaan status yang dimiliki sesama PNS.
Pakaian PNS tentu yang sesuai kondisi penghasilan tiap bulannya. Makan untuk diri dan keluarga semestinya juga begitu. Apalagi tentang kepemilikan rumah, PNS juga menginginkan sebagai upaya memenuhi kebutuhan primernya.Â
Namun sekali lagi, indikator rumah yang semestinya dimiliki PNS juga harus disesuaikan dengan kondisi penghasilannya.Â
Demikian juga kebutuhan yang lain seperti kendaraan juga harus berpedoman pada penghasilannya.
Seorang PNS dituntut cerdas dalam memilah mana itu "keinginan" mana itu "kebutuhan". Sebab apabila PNS terjebak pada keinginan, maka dapat dipastikan akan bermasalah pada kondisi finansialnya.
Pengeluaran lebih besar bahkan jauh lebih banyak daripada penerimaaan tiap bulannya.Â
Dalam kondisi demikian, maka PNS sudah berada dalam kondisi "besar pasak daripada tiang". Â
Kondisi ini sangat membahayakan bagi kenyamanan, konsentrasi dan kaulitas kinerja PNS. Sebab setiap bulannya harus berpikir untuk menutup kekurangan gajinya. Lebih mengenaskan lagi apabila gaji di kantor sudah minus, padahal masih banyak tanggungan keuangan yang harus diselesaikan.
Apabila kondisinya sudah demikian, maka sang PNS akan kehilangan semangat dalam bekerja. Ujung-ujungnya adalah bolos kerja. Bolos kerja selain sebagai alibi juga sebagai kompensasi atas ketidaknyamanan di kantor.Â
Kondisi demikian secara tidak sadar telah merugikann negara dan rakyat. Sebab setiap bulan negara masih mengeluarkan gaji, walaupun realitanya PNS tersebut tidak bekerja.
Oleh sebab itu mengelola pengeluaran berdasar pemasukan butuh kecerdasan. Hal inilah yang membedakan PNS satu dengan yang lain.Â
Bagi PNS yang dapat "mengekang nafsu gaya hidup!" akan berhasil hidup nyaman di tengah pemenuhan kebutuhan yang sudah dipilah-pilah. Â
Orang Jawa bilang dengan istilah "uwis ditaning-taning". Artinya pengeluaran yang sudah diatur sesuai kebutuhan (posnya).
Menjadi PNS murni, tidak sedikit yang bisa mempunyai rumah "layak, sehat dan sederhana" (dalam sudut pandang PNS), mobil, menyekolahkan anak sampai perguruan tinggi bahkan yang muslim juga bisa menjalankan ibadah haji. Semua itu membutuhkan kecerdasan dalam mengelola sumber penghasilan dengan pengeluarannya.
Untuk menghindari kondisi "besar pasak daripada tiang" dibutuhkan sikap realistis, siap menjadi diri sendiri dan menggunakan kacamata kuda guna mencari kenyamanan hidup sebagai PNS.Â
Meninghindari gaya hidup konsumtif apalagi konsumeristik adalah langkah aman menjalani tugas sebagai PNS sampai hari tua.Â
Semoga bermanfaat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H