Namun sekali lagi, indikator rumah yang semestinya dimiliki PNS juga harus disesuaikan dengan kondisi penghasilannya.Â
Demikian juga kebutuhan yang lain seperti kendaraan juga harus berpedoman pada penghasilannya.
Seorang PNS dituntut cerdas dalam memilah mana itu "keinginan" mana itu "kebutuhan". Sebab apabila PNS terjebak pada keinginan, maka dapat dipastikan akan bermasalah pada kondisi finansialnya.
Pengeluaran lebih besar bahkan jauh lebih banyak daripada penerimaaan tiap bulannya.Â
Dalam kondisi demikian, maka PNS sudah berada dalam kondisi "besar pasak daripada tiang". Â
Kondisi ini sangat membahayakan bagi kenyamanan, konsentrasi dan kaulitas kinerja PNS. Sebab setiap bulannya harus berpikir untuk menutup kekurangan gajinya. Lebih mengenaskan lagi apabila gaji di kantor sudah minus, padahal masih banyak tanggungan keuangan yang harus diselesaikan.
Apabila kondisinya sudah demikian, maka sang PNS akan kehilangan semangat dalam bekerja. Ujung-ujungnya adalah bolos kerja. Bolos kerja selain sebagai alibi juga sebagai kompensasi atas ketidaknyamanan di kantor.Â
Kondisi demikian secara tidak sadar telah merugikann negara dan rakyat. Sebab setiap bulan negara masih mengeluarkan gaji, walaupun realitanya PNS tersebut tidak bekerja.
Oleh sebab itu mengelola pengeluaran berdasar pemasukan butuh kecerdasan. Hal inilah yang membedakan PNS satu dengan yang lain.Â
Bagi PNS yang dapat "mengekang nafsu gaya hidup!" akan berhasil hidup nyaman di tengah pemenuhan kebutuhan yang sudah dipilah-pilah. Â
Orang Jawa bilang dengan istilah "uwis ditaning-taning". Artinya pengeluaran yang sudah diatur sesuai kebutuhan (posnya).