Kata "Merdeka" menjadi racun yang membahayakan bagi nyawa kolonialisme Belanda di Indonesia. Maka pemerintah kolonial terus melakukan langkah yang massif dan terstruktur agar senantiasa berhasil mempertahankan dan memperpanjang rentang kolonialisme di Indonesia.Â
Sehingga tercipta suatu "mitos" bahwa "merdeka" bagi bangsa Indonesia adalah hantu yang sangat menakutkan. Maka jangan sekali-kali bangsa ini bicara tentang kata "merdeka"
Hari ini bangsa kita memperingati 76 tahun kebebasannya dari ikatan kolonialisme. Hal ini berarti 76 tahun yang lalu bangsa kita mematahkan mitos politik pemerintah kolonial. Proses panjang dan berliku dengan segenap pengorbanan yang dilakukan adalah fakta dibalik kata "merdeka" yang sekarang kita peringati.
Sejak kapan kata "merdeka" itu tersampaikan? Siapa yang berani menyampaikan? Bagaimana sikap Pemerintah Kolonial Belanda ketika membaca ada kata "merdeka"? Itulah sederet pertanyaan anak bangsa yang juga perlu diungkap dalam mememperingati 76 tahun kemerdekaan bangsa kita.
Pertanyaan petama jawabnya adalah sejak 6 September 1912. Pertanyaan ke dua jawabnya adalah Tiga Serangkai (dr Cipto Mangunkusumo, Suwardi Suryaningrat dan E.D.Dekker) selaku pendiri organisasi pergerakan nasional yang bernama Indivche Partij. Pertanyaan ke tiga jawabnya Pemerintah Kolonial Belanda "Menolak" dan "mengasingkan" para pengusung ide kemerdekaan.
Apa yang melatarbelakangi Indische Partij mempunyai tuntutan Indonesia Merdeka? Mari kita simak paparan berikut:
Apabila dihitung sejak zaman VOC (20 Maret 1602) yaitu kongsi dagang Belanda di Indonesia, maka penjajahan di Indononesia berjalan sekitar 343 tahun. Namun kalau dihitung dari tahun 1800 (sejak VOC dibubarkan 31 Desember 1799), maka penjajahan Belanda di Indonesia berjalan selama 145 tahun.
Penjajahan yang berjalan ratusan tahun tentu meninggalkan banyak penderitaan baik secara politik apalagi di bidang sosial dan ekonomi. Secara politik, pemerintah kolonial Belanda menerapkan politik untuk menguasai sentra-sentra kekuasaan. Â Gubernur Jenderal, Gubernur, Residen dijabat oleh orang-orang Belanda.Â
Residen ke bawah dalam kekuasaan penguasa lokal baik bupati maupun pejabat di bawahnya. Tujuannya adalah melanggengkan kekuasaan.
Secara sosial, Belanda menerapkan stratifikasi sosial-kolonial dalam bentuk "colour line" (garis warna). Â Dalam garis warna tersebut Belanda menempati kelas pertama, kelas sosial kedua ditempati orang-orang timur asing (Cina, Arab, India) sedang pribumi berada di kelas akhir.
Dampak kebijakan tersebut adalah pemisahan pembedaan fasilitas umum. Ada kereta api khusus pribumi, namun juga ada kereta api khusus kulit putih. Hal tersebut juga terjadi untuk Lembaga Pendidikan maupun sentral ekonomi (pasar). Bahkan dalam bidang pendidikanpun kala itu ada larangan pelajar pribumi berpakaian sekolah seperti orang Eropa (Belanda). Pelajar pribumi hanya boleh memakai pakaian adat.
Intinya, rakyat menderita dalam semua hal. Belum lagi sikap kebanyakan kaum feodal (raja, bupati, bangsawan,dll) yang lebih senang berpihak kepada Belanda daripada berpihak pada nasib kaum pribumi (khususnya rakyat jelata) lebih membuat rakyat pribumi makin menderita.
Kondisi demikian yang melandasi beridirinya Indische Partij yang dirikan oleh tokoh politik yang disebut Tiga Serangkai yaitu E.D.Dekker, Suwardi Suryaningrat dan dr. Cipto Mangunkusumo pada tanggal 6 September 1912. Â
Apa Tujuan Indische Partij mengusung cita-cita Hindia (Indonesia) Merdeka?
Tujuan organisasi ini adalah membangunkan patriotisme semua "Indiers" terhadap tanah air yang telah memberi hidup agar dapat mendorong untuk bekerjasama atas dasar persamaan ketatanegaraan untuk memajukan tanah air "Hindia" dan untuk mempersiapkan kehidupan rakyat yang "merdeka".
Berdasar tujuan tersebut Satono Kartodirjo menjelaskan bahwa Indische Partij berdiri di atas dasar nasionalisme menuju "kemerdekaan Indonesia" (Sartono Kartodirjo,1976:192).
Indische Partij adalah organisasi pergerakan yang pertama kali bergerak di bidang politik dengan target "Indonesia merdeka". Suatu langkah yang tida hanya berani, namun merupakan langkah spektakuler dan mencengangkan baik bagi para pejuang bangsa kita (kaum terpelajar khususnya).
Bagi Belanda langkah tersebut dianggap sebagai langkah yang mengusik kenyamanan dan ketenangan politik yang sedang dan selau ingin dipertahankan.
Tujuan Indonesia merdeka dilakukan dengan beberapa langkah: memelihara nasionalisme HIndia, memberantas kesombongan ras, mengembangkan sikap saling menghormati antar umat beragama, persamaan hak bagi Hindia, pelaksanaan persamaan hak bagi semua rakyat HIndia, memperkuat ekonomi rakyat dan pelaksanaan pengajaran untuk peningkatan kualitas rakyat Hindia.
Berdasar langkah-langkah yang ditancang tersebut maka tujuan kemerdekaan yang disampaiakan oleh Indische Partij  adalah untuk kemakmuran, kesederajatan dan pemerataan pendidikan bagi kaum Hindia.Â
Arogansi politik, kesombongan rasial dan eksploitasi ekonomi adalah pemandangan yang selalau mewarnai praktik kolonialisme Belanda di Indonesia.
Bagi para tokoh Indische Partij hanya dengan merdeka semua derita bekepanjangan tersebut bisa dihentikan. Namun permohonan badan hukum ditolak, Sebab mencantumkan cita-cita Indonesia Merdeka.
Bahkan pada 4 Maret 1913 untuk ke dua kalinya Indische Partij mengajukan permohonan agar diakui sebagai badan hukum setelah mengubah bagian-bagian anggaran dasarnya, dalam sidang yang dihadiri Gubenur Jenderal sebagai pimpinan rapat; permohonan tetap ditolak. Sekali lagi ditolak karena bergerak di bidang politik yang dianggap akan mengganggu stabilitas politik pemerintah kolonial. (Sartono Kartodirjo:192).
Penolakan itu makin menyadarkan para tokoh Indische Partij bahwa kemerdekaan Indonesia tidak mungkin akan diperoleh dari belas kasih pemerintah kolonial. Oleh sebab itu kemerdekaan Indonesia harus diperjuangkan oleh bangsa Indonesia sendiri. Sejak keluarnya penolakan badan hukum, maka Indische Partij dikatakan sebagai organisasi yang illegal.
Menyikapi respon pemerintah kolonial demikian para tokoh Indische Partij terus melakukan propaganda untuk mengkritisi segenap kebijakan pemerintah kolonial melalui propaganda anti pemerintah kolonial. Langkah tersebut berhenti  setelah  beberapa kali para tokoh Indische Partij diasingkan guna menghindari bahaya yang lebih besar.
Cita-cita merdeka Indische Partij kala itu memang masih gagal. Namun anak panah politik yang sudah dilesatkan berhasil menyulut semangat dan membuka mata para penerusnya  bahwa kemerdekaan adalah jembatan emas mewujudkan kemenangan bangsa Indonesia yang sesungguhnya. Cita-cita mulia Indische Partij baru terwujud 109 tahun berikutnya, 17 Agustus 1945 yang hari ini kita peringati. Dirgahayu negeriku.
Â
Referensi:
Sartono Kartodirjo, dkk.1976. Sejarah Nasional Indonesia Jilid V. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H