Hal tersebut akan berdampak pada sulitnya Boedi Oetomo melakukan perubahan. Inilah yang menyebabkan Boedi Oetomo berada dalam dalam jerat ilusi kebangsaan.Â
2).Penguasa lokal (raja, bupati dan para bangsawan,dll) masih dalam posisi wait and see.
Disadari atau tidaknya kehadiran kaum terpelajar di panggung politik, akan melahirkan struktur sosial baru di masyarakat. Kelahiran struktur baru dengan wadah perjuangan baru, pasti akan menimbulkan masalah baru.Â
Dengan kata lain akan memunculkan persaingan baru di tengah kehidupan "anak negeri" (baca: pribumi). Para penguasa lokal tentu berhitung "untung rugi" baik secara sosial apalagi politik.Â
Secara sosial tentu mereka tidak berharap tergantikan oleh kaum terpelajar yang relatif masih muda. Secara politik mereka juga berpikir bagi langgengnya kekuasaan secara feodal yang sudah diterima secara turun temurun.
Oleh sebab itu kehadiran kaum terpelajar merupakan ancaman bagi penguasa lokal yang selama ini hanya berorientasi pada status dirinya sendiri. Mendukung perjuangan kaum terpelajar bisa saja mempertruhkan status yang sudah diperoleh secara turun temurun. Maka mereka dalam posisi menunggu dan memperhatikan untung ruginya.
Kondisi demikian merupakan kondisi sulit yang diahadapi kaum terpelajar. Sebab para penguasa tersebut adalah penggenggam suara rakyat. Bahkan sejak kelahirannya sudah banyak reaksi yang ditunjukkan oleh kaum priyayi, birokrasi dari golongan ningrat ataupun aristokrasi lama (Sartono Kartodirjo:102).Â
Reaksi tersebut mencerminkan kekawatiran elit lokal terhadap munculnya kelas sosial baru di masyarakat yang bernama kaul intelektual. Hal tersebut juga menjadi alasan mengapa Boedi Oetomo berada dalam jerat ilusi kebangsaan.
3).Mempercayakan Kelompok Tua (khususnya kaum priyayi) berada di barisan terdepan Boedi Oetomo. Sutomo dkk berada di barisan belakang. Tujuannya adalah memberikan kesempatan kalangan tua mengendalikan roda organisasi. Mimpi kaum terpelajar tentu berharap agar kiprahnya dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan Boedi Oetomo secara berarti. Namun realitanya "jauh panggang daripada api".
Komposisi kepengurusan demikian, membawa konsekwensi pada sikap mereka yang lebih mendengarkan keinginan pemerintah kolonial dan kelompok priyayi dibanding mendengarkan keluhan rakyat.
Pada tahap ini yang menonjol adalah usaha memperbanyak pendidikan bagi anak keturunan priyayi agar dapat berkesempatan masuk dalam jenjang kepegawaian kolonial. Pendidikan kaum pribumi sama sekali tidak mendapat perhatian. (Sartono Kartodirjo:102).