4. Masyarakat (khususnya orangtua), tidak boleh bertindak kasar apalagi menganiaya kepada "anak rambut gembel".
Sebab diyakini, perlakuan tersebut akan berdampak pada petaka yang akan diterima oleh pelakunya (dalam Bahasa Jawa disebut "malati").
Secara umum, keberadaan "anak rambut gembel" berada di dataran tinggi Dieng. Namun di wilayah dataran rendah juga masih ditemukan. Khususnya di Dusun Anggrung Gondok Desa Reco Kecamatan Kertek Kabupaten Wonosobo.Â
Di tempat tersebut penulis pernah mendampingi peserta didik melakukan pengamatan dan latihan meneliti kehidupan mereka, mendampingi teman-teman Guru Sosiologi Surabaya, mendampingi guru dan peserta didik kelas XI IPS SMAN 5 Surabaya, serta menemani guru dan peserta didik kelas XI IPS SMA Labschool Jakarta untuk melakukan observasi tentang fenomena "anak rambut gembel."
Mitos "anak rambut gembel" sudah berjalan turun temurun dalam waktu yang sangat panjang dan sudah mengkristal menjadi sistem religi yang sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat.
Maka, di tengah modernitas yang terus berjalan, fenomena tersebut akan tetap bertahan. Walaupun populasinya makin berkurang dari waktu ke waktu.
Sampai kapan mitos tersebut akan hilang, tingkat pendidikan dan tingkat kesejahteraan masyarakatlah yang akan menjawabnya. Sebab fenomena tersebut secara faktual banyak ditemukan di wilayah pedesaan.