Mohon tunggu...
ciptonoroso
ciptonoroso Mohon Tunggu... Auditor - owner ciptofurniture

sekedar menulis untuk mengisi waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pintu Minimalis | Kisah Perjalanan Seorang Pengamen

6 Februari 2020   06:09 Diperbarui: 6 Februari 2020   07:28 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pintu Minimalis | Kisah Perjalanan Seorang Pengamen

Seorang Pengamen Jalanan (2)
Oleh : Rizky Wijaya

Ketika dunia sudah berubah, aku masih memainkan lagu-lagu yang sama. Kata orang, anggota Deep Purple satu per satu sudah berguguran. Aku sendiri sudah benar-benar menjadi tua. Rambutku yang gondrong dan terurai sampai ke bahu itu sudah memutih. Karena sering rontok dan mulai botak, untuk menutupinya kukenakan topi laken di kepala. Setidaknya sampai saat ini tahun 2013, belum kudengar kabar bahwa Rithcie Blackmore sudah meninggal. Meski begitu hidupku sudah tidak semeriah dulu lagi. Tubuh yang tua ini sudah ringkih dan tak tahan melawan udara malam. Aku tak mampu lagi menirukan Ian Gillan dan David Coverdale secara persis. Hanya petikanku, ya, tinggal genjrenganku masih menyala cemerlang menghadirkan semangat dan cengkok Ritchie Blackmore, dari "Nobody's Home" Sampai "Perfect Strangers".

Ini semua agaknya berpengaruh pada rezeki aku, siapa yang masih bisa terpesona oleh suara parau seorang tua yang kumal pakaiannya? Jaket kulitku sudah begitu lusuh dan compang-camping, sehingga kini betul-betul mirip seorang gelandangan tua dalam film kungfu.

Masih untung cengkok Ritchie Blackmore itu belum hilang dari kibasan tanganku. Meskipun Guns N' Roses, Metallica, dan Def Leppard telah jadi legenda, semangat Mean Streak Ritchie Blackmore Masih membakar. Masih kuterima serupiah seratus rupiah tanda kekaguman yang lebih dari lumayan untuk menyambung hidup. Ini sudah lebih dari cukup, sudah kubilang tadi, aku tidak hidup untuk makan, hanya perlu sedikit bertahan hidup untuk memainkan lagu-lagu Ritchie Blackmore.

pintu minimalis kayu ukir eropa
pintu minimalis kayu ukir eropa
Aku masih mengembara dari kota ke kota. Pada tahun 2013, musik rock bukan lagi barang aneh di kota seperti Surakarta. Bahkan telah berkembang sejumlah musik rock alternatif produk lokal, seperti keroncong -- rock, gamelan -- rock, gambus -- rock, gambang kromong -- rock dan tayuban -- rock. Guru-guru sekolah hampir semuanya bertampang rocker dengan tato di pipi kanan kiri dan ibu-ibu guru susah dibedakan dengan Madonna, plus gelang pada lubang hidung. Hanya jagabaya, sopir bis kota, dan pedagang kaki lima yang berbaju putih lengan panjang dan memakai dasi.

Dalam dunia seperti itu, Ritchie Blackmore telah menjadi antik. Akulah satu-satunya pengamen di dunia yang khusus membawakan Ritchie Blackmore. Anak-anak muda tak selalu kenal komposisi yang kugeber --- begitulah roda berputar, yang terkenal bisa memudar. Tapi aku bukan orangnya yang dilahirkan hanya untuk mengambil keuntungan dari hidup yang cuma sekali. Ritchie Blackmore yang tak pernah kukenal secara langsung pernah memberiku rezeki. Tiada alasan bagiku untuk meninggalkannya setelah orang melupakannya. Masih kudendangkan "Unwritten Law", masih kuteriakkan "Black Sheep Of The Family" --- aku sudah cukup puas dengan kesempatan hidupku: menjadi pengamen spesialis lagu-lagu Ritchie Blackmore.

Pintu Minimalis | Kisah Perjalanan Seorang Pengamen

pintu utama minimalis
pintu utama minimalis

Dalam usia yang sudah uzur, aku tak punya lagi keinginan selain mati menyanyikan Ritchie Blackmore. Kalau toh masih ada, keinginan tak lain tak bukan adalah memandang wajahnya. Waktu Deep Purple main di senayan tahun 1975, ia tidak ikut, posisinya digantikan oleh Tommy Bolin. Aku tak punya uang untuk membeli karcis pertunjukan itu. Maklumlah, aku cuma anak seorang tukang parkir. Aku tak ingin berkenalan, tak ingin meminta tanda tangan, bahkan tak ingin mendengarkan permainannya --- aku sudah kelewat batas menghayatinya. Aku hanya ingin memandang wajahnya. Apakah ia masih hidup? Tentunya ia sudah tua sekali sekarang. Barangkali pula sudah mati. Tak apa, seorang pemusik yang mati hidup terus dalam lagu-lagunya.

Maka, tanpa pamrih yang bukan-bukan, aku terus menggenjrengkan gitarku, di atas bis antar kota di atas kereta api, di atas kapal laut, di atas kapal terbang, dan puncak gedung-gedung bertingkat. Lagu-lagu Ritchie Blackmore yang kujeritkan terbang dibawa angin, menggedor orang-orang yang jiwanya tertidur tapi perut dan mulutnya hidup menelan aspal, jembatan, jalan layang, pabrik, hutan, gunung, lautan, langit dan bayi-bayi yang masih ada di dalam perut ibunya.

Aku melangkah di atas jalan yang kuciptakan sendiri, dengan semangat rock yang membabat, membantai, dan menghancurkan, sampai tiba saatnya pada suatu hari yang luar biasa dalam hidupku.

Pada malam jumat Kliwon itu aku duduk di lantai, bersandar pada sebuah tiang di bandara Ngurah Rai, Denpasar, Bali. Aku sedang mengikuti perasaan yang entah kenapa tiba-tiba saja seperti berduka: kupetikkan "Soldier Of Fortune" Pelan-pelan. Aku begitu tenggelam, masuk ke dalam lagu, sangat terhanyut sehingga aku tak sadar serombongan turis bule telah mengerumuniku --- tapi ketika mengetahuinya aku tetap tak peduli.

".... But I feel I'm growing older and the songs that I've sung echo in the distance like the sound of a windmill going round guess I'll always be a Soldier of Fortune."

Ketika aku berhenti bernyanyi, terdengar sebuah suara yang begitu pelan, nyaris seperti berbisik.

"More," katanya.
Kumainkan "Catch The Rainbow".

"... we believe, we'll catch the rainbow, ride the wind to the sun sail away on ships of wonder but life's not a wheel with chains made of steel so bless me."

Sambil bermain, aku melirik dari balik topi lakenku, sebuah kursi roda. Duduk di kursi roda itu, seorang tua yang wajahnya tak bisa terlihatt dengan jelas karena memakai topi laken sepertiku. Rambutnya gondrong dan sudah memutih seperti diriku, namun ketuaannya bisa kulihat dari tangannya yang begitu kurus dan kulitnya yang sangat keriput. Tangan itulah yang terangkat, dan tiba-tiba saja sudah menggenggam sebuah gitar listrik yang sangat indah.

Pintu Minimalis | Kisah Perjalanan Seorang Pengamen


Waktu aku sudah selesai dengan "Catch The Rainbow", ia tiba-tiba mulai memetikkan "Self Portrait". Ia memainkannya dengan sempurna. Kami ber-jam session dengan kompak. Aku tak mengira bahwa di abad XXI ini masih ada orang yang bisa memainkan Ritchie Blackmore sebagus itu. Mendadak saja aku bagaikan terlontar ke masa lalu aku tahu kerumunan org makin banyak dan mereka semua mengagumi permainan kami. Kutaruh topi lakenku di lantai dan bertumpuk-tumpuk lembaran US $ 100 segera memenuhinya.

"One day in the year of the fox...."
Kami masih memainkan "The Temple Of The King" Sebelum dia dan rombongannya berlalu. Sirna sudah kedukaanku berganti dengan kebahagiaan ajaib yang entah dari mana.

Kuhitung tumpukkan US $ 100 itu, ada 100 lembar banyaknya. Masih ada selembar kertas lagi, ternyata sebuah cek perjalanan. Tertulis di sana angka US $ 100.000. Mataku sudah lumayan rabun sehingga sedikit sulit membaca tanda tangannya. Karena aku tidak punya kacamata, kuminta seorang pramugari yang lewat membacakannya untukku.

"Wahai Miss, Apakah tanda tangan ini bisa dibaca?"

"Bisa, jelas sekali kok, pak."

"Siapa namanya?"

"Ritchie Blackmore"

****
End

Tangerang, 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun