Mohon tunggu...
Cipta Mahendra
Cipta Mahendra Mohon Tunggu... Dokter - Dokter yang suka membaca apapun yang bisa dibaca.

Kesehatan mungkin bukan segalanya, tapi segalanya itu tiada tanpa kesehatan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kenapa Kita (Harus) Bersekolah?

28 Juni 2021   23:26 Diperbarui: 29 Juni 2021   07:52 1211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak sekolahan. (KOMPAS. com/FITRI R)

Sampai sekarang, sekolah masih belum dibuka kembali untuk pembelajaran tatap muka karena--lagi-lagi--Covid-19 masih mengganas.

Saya punya sepupu yang masih duduk di bangku sekolah, sekarang sudah kelas 7. Ada kalanya saya membantu dia mengerti beberapa pelajaran sekolah seperti matematika dan fisika, yang kadang agak kesulitan baginya.

Saya bisa mengerti. Kasihan sebetulnya, masa dasar pendidikan yang penting ini untuknya harus terhambat pandemi akibat learning loss gara-gara semua pembelajaran harus serba online.

Untuk sepupu saya itu, matematika dan fisika cenderung menjadi momok. Susah katanya. Saya ajarkan berkali-kali tips praktisnya untuk bisa mengerti, tapi tetap saja tidak sesulit biologi yang tinggal baca dan dihafal, katanya lagi.

"Buat apa sih matematika itu.. ngapain belajar aljabar coba?".

Akibat celetukan dia itu, saya jadi terpikirkan tentang sekolah...

Semua orang di jagat raya ini tentu sudah tahu kalau sekolah dasar (SD), menengah pertama (SMP), menengah atas (SMA) itu wajib hukumnya. Katanya pendidikan itu penting. Kalau tidak sekolah nanti hidupnya susah, merana, sengsara...

Saking pentingnya itu pendidikan, sampai sekolah mahal pun rela ditebus--kalau kantong mencukupi--demi bisa menyertakan sang anak di dalamnya. Sekolah sepintar mungkin. Seaktif mungkin.

Seakan sudah menjadi tradisi setiap insan manusia, bersekolah seakan menjadi rutinitas alamiah yang harus ditempuh untuk menjalani hidup.

Tentulah kita semua masih ingat apa saja yang pernah diajarkan di sekolah itu; mulai dari itung-itungan, baca-tulis, berbicara, sampai setiap cabang ilmu dicicipi satu persatu kayak biologi, fisika, kimia, sosiologi, ekonomi, geografi, sejarah, dan ini dan itu; bahkan sampai kesenian, musik, dan olahraga juga ikut diajarin dan harus lewat nilai batas lulus. Banyak banget! Semua ilmu - entah kita suka atau tidak, dijejali dan dicekoki para gurunya untuk makanan otak kita.

Sekarang ketika kita sudah dewasa, udah gede, tampaknya lebih banyak dari ilmu-ilmu itu yang akhirnya tidak terpakai di kehidupan kita. Jadi akuntan atau businessman, misalnya, gak kepake tuh biologi, apalagi fisika dan kimia. Jadi dokter, seperti saya ini, kayaknya gak guna tuh sejarah, ekonomi, sosiologi. Jadi insinyur, mana terpakai itu ilmu pelajaran musiknya, keseniannya? Lipat kertas origami, main angklung, tiup-tiup pianika, ngga kepake tuh sekarang...

Tetap saja sekolah itu penting ya, kata semua orang. Tapi kok setelah dipikir-pikir sepintas barusan, banyak yang tidak terpakai yah? Saya sih memang bukan ahli pendidikan. 

Saya seorang dokter, bukan guru, tapi setidaknya ada beberapa maksud atau tujuan yang bisa saya dapatkan--setelah dipikir sendiri--dari bersekolah, sesuatu yang sudah saya tuntaskan sejak hampir satu dekade lalu.

1. 'Menyeragamkan' isi kepala setiap murid dengan perkembangan ilmu terkini yang sudah dicapai peradaban manusia

Saya jadi teringat, saya pernah membaca sebuah opini pendidikan di koran Kompas--saya lupa edisi kapan dan siapa penulisnya, tapi saya ingat betul ada di koran itu--yang pernah mengemukakan bahwa filosofi manfaat paling dasar pendidikan itu salah satunya adalah untuk memberi 'update' ilmu pengetahuan yang sudah dicapai peradaban manusia kepada semua murid yang belajar di sekolah.

Kita tahu kalau semua disiplin ilmu pengetahuan, apapun itu, pasti ada perkembangannya. Ilmu biologi--sebagai salah satu ilmu alam--satu atau dua dekade lalu tentu tidak sama dengan ilmu biologi masa sekarang, yang sudah diselingi banyak penemuan baru sejalan dengan penelitian yang terus dilakukan.

Begitu juga dengan ilmu alam lain seperti fisika dan kimia. Ilmu sosial--sosiologi, ekonomi, geografi, dan sebagainya--pun pasti ada sesuatu yang baru setelah sekian lama waktu berlalu.

Kita sebagai manusia - yang lahir dengan isi kepala kosong - yang hidup dan menjadi salah satu warga planet ini sudah wajib hukumnya untuk menjadi bagian dari dinamika kehidupan Bumi ini, yang utamanya yaitu mengetahui apa saja yang sudah dan perlu diketahui untuk berkontribusi terhadap kemajuan peradaban manusia kedepannya. 

Bayangkan kalau kita tidak sekolah; tidak tahu apa-apa layaknya manusia zaman purbakala. Butuh waktu ratusan ribu tahun untuk homo sapiens--spesies manusia modern, kita--untuk memajukan peradaban dari membuat api dengan menggosok batu dan kayu sampai menemukan dan mengedit susunan genetik tubuh, menciptakan robot, membuat mobil terbang, dll dsb. 

Anak-anak zaman sekarang tentu tidak lagi harus menempuh sendiri waktu dan pengalaman selama itu untuk penemuan-penemuan semacam itu kan? Cukup dengan mendengar ajaran dari sekolah tentang timeline peradaban manusia dan apa itu genetik, listrik, kecerdasan buatan, ini dan itu. Beres...

Mungkin inilah yang jadi penjelasan kenapa tampaknya zaman sekarang ini tas sekolah anak lebih besar daripada zaman dulu; perkembangan ilmunya sudah lebih banyak daripada sebelum-sebelumnya.

Mungkin itu juga yang menjadi alasan saya merasa materi pelajaran sepupu saya itu jadi lebih 'prematur'; yang pada masa saya dulu baru dipelajari ketika kelas 7, masa sepupu saya itu jadi kelas 6 atau bahkan 5 akhir.

Materi-materi yang lebih baru tampaknya menggeser materi sebelumnya menjadi bahan lebih dini supaya bisa dimasukkan sebagai ilmu dasar baru yang harus dipahami dan dikuasai para murid sekolah.

2. Memberi 'selayang pandang' untuk bidang ilmu yang dimaksud dan persiapan sebelum masuk tingkat kuliah (sarjana/strata)

Kita tahu juga bahwa kelak kita harus memilih akhirnya mau menjadi apa nantinya, entah mau jadi dokter, insinyur, chemist, sosiolog, pebisnis, artis, musisi, ilmuwan, atau apapun itu.

Kita biasanya akan memilih satu profesi (utama) sebagai tulang punggung hidup kita untuk mencari penghidupan; jarang ada yang ma(mp)u mengambil dua atau lebih profesi sekaligus, yang kalaupun ada juga biasanya lebih untuk sampingan saja.

Masa sekolah, dengan semua bidang ilmu yang diajarkannya, bisa memberi pemahaman dan 'pendekatan' untuk semua murid yang bersekolah. Mereka bisa mencicipi sendiri secara langsung masing-masing bidang ilmu yang diajarkan.

Kalau suka, siapa tahu bisa diteruskan pendalamannya sampai ke tingkat kuliah nanti. Kalau tidak suka, bisa menjadi pengalaman dan pertimbangan supaya nanti tidak terjadi yang namanya 'salah jurusan' ketika berkuliah nanti. Kalau orang tidak bersekolah, mana mungkin dia tahu?

Tingkat kuliah, di sisi lain, juga adalah pendalaman dari bidang ilmu yang pastinya sudah terkandung di dalam materi-materi pelajaran yang ada di tingkat sekolah. Tidak mungkin jurusan ilmu matematika di universitas masih mengajarkan bagaimana menghitung perkalian atau pembagian kan? Tidak mungkin pula jurusan kedokteran masih mengajarkan ada organ apa saja dalam tubuh manusia, yang terlalu basic. Tidak mungkin jurusan fisika masih menyinggung ada berapa besaran pokok. 

Tidak juga mungkin jurusan ekonomi masih berkutat seputar membedakan kebutuhan primer, sekunder, atau tersier. Itu semua sudah diajarkan di sekolah dan harus dipahami. Itulah sebabnya salah satu syarat utama untuk bisa berkuliah yaitu punya ijazah sekolah.

Bayangkan saja kalau tidak tamat sekolah, bagaimana mau ngerti bahan kuliah yang lebih advanced kalau yang dasarnya di sekolah saja belum tahu?

3. Berjaga-jaga sebelum memutuskan arah hidup untuk selanjutnya

Poin ketiga ini berhubungan dengan poin sebelumnya. Seperti yang sudah diamini ilmu psikologi, sudah teori umum bahwa masa anak dan remaja tentulah merupakan masa yang belum stabil dan masih bisa berubah-ubah. Mereka masih belum mantap dalam memutuskan ingin menjadi apa nanti.

Saat balita ditanya mau jadi apa, belum tentu jawabannya sama saat nanti ditanyakan kembali pada waktu kelas 11 atau 12. Mereka sangat bisa berubah saat nanti sudah terpapar banyak disiplin ilmu di sekolah. Mereka merasakan sendiri masing-masing disiplin itu dan mulai menemukan sendiri passion mereka di bidang yang mana.

Sama seperti ungkapan lisan "Orang belum teruji sifat aslinya sampai dihadapkan pada situasi yang mendesak.", begitu juga dengan urusan sekolah ini. Si anak harus mengalami sendiri semua jenis ilmu pengetahuan, terlepas dari apa yang dia inginkan sewaktu masih kecil.

Kita tidak pernah tahu masa depan sehingga harus disiapkan segala kemungkinan. Jangankan anak kecil, yang sudah beranjak selesai sekolah dan melepas masa remaja saja masih ada saja yang 'salah jurusan', masih bingung mau jadi apa, masih galau, apalagi yang masih bocah ingusan...

4. Memberi dasar ilmu dan perspektif untuk kehidupan sehari-hari dan pengenalan terhadap kaidah keilmiahan sejak dini.

Poin ini menurut saya menjadi hal paling esensial dari semua poin lain sejauh ini. Sekolah menjadikan manusia menjadi makhluk ilmiah, yang mendasarkan segala sesuatu berdasarkan nalar dan logika berpikir.

Kita ingat bagaimana masa prasejarah manusia silam ketika api saja masih menjadi hal baru. Sebagian peradaban bahkan diketahui sempat memuja api dan menjadikannya objek penyembahan di altar-altar batu, yang dipercaya sebagai jelmaan kekuatan ilahi dan metafisika. Sekarang? Sesimpel memantik korek api dan ckessss..... api seketika muncul. Hal biasa. 

Tidak ada yang istimewa selain untuk memasak, memanaskan, dan memicu kebakaran. Apa yang membuat status api demikian? Sains, ilmu pengetahuan. Sains telah membuat sang agni menjadi fenomena biasa (demistifikasi/demystification) dan bukan lagi sesuatu yang tidak terpahami.

Dulu penyakit seperti kusta/lepra dianggap kutukan ilahi. Orang yang menderitanya dijauhi dan bahkan diasingkan ke tanah terbuang, sejauh mungkin asal tidak dekat-dekat penduduk kampungnya. Ini terjadi secara global waktu terdahulu.

Sejak ditemukan bahwa kusta ternyata disebabkan bakteri dan bisa disembuhkan, lambat laun orang mulai tidak lagi menganggap penyakit ini sebagai penyakit 'setan' dan penderitanya tetap bisa diterima di masyarakat (terlepas dari ada tidaknya segelintir orang yang mungkin masih memercayai stigma kusta). Lagi, ilmu pengetahuanlah yang memungkinkan demistifikasi demikian terjadi.

Masih banyak contoh-contoh kasus (sejarah) lain yang bisa kita lihat (dan diberitahu atau diajarkan di sekolah) sebagai contoh peran ilmu pengetahuan/sains untuk kemajuan pemahaman dan peradaban manusia. Bagaimana dengan masa sekarang? Lebih konkrit lagi!

Ingat bagaimana bapak-ibu guru SD kita mengenalkan itung-itungan dan baca tulis? Bagaimana biologi sekolahan sudah mengajarkan struktur organ tubuh manusia? Bagaimana fisika mengajarkan energi dan materi? Bagaimana kimia mengajarkan tabel periodik? Bagaimana geografi mengenalkan planet bumi? Bagaimana ekonomi mengenalkan dunia finansial? Bagaimana matematika mengajarkan rumus bangun dan ruang?

Itu semua akan baru terasa manfaatnya saat sekarang ini, masa ketika kita sudah dewasa dan memasuki era produktif. Ilmu-ilmu tadi akan membantu kita berpikir logis dan terhindar dari upaya-upaya orang jahat di luar sana yang mencoba mengambil untung dari ketidaktahuan kita. Contohnya? 

Banyak... Saya coba mulai dari yang paling 'remeh' dulu. Coba bayangkan orang yang tidak pernah bersekolah; SD saja tidak. Tidak bisa membaca, apalagi ngitung. Waduh susah bener nanti hidupnya... Belanja di warung atau pasar, ditipu kembaliannya. Disuruh tanda tangan kontrak/perjanjian jual-beli, ngga bisa baca tulisannya. Target empuk untuk dikibulin... 

Buta biologi, jadi deh sasaran empuk orang-orang penjual 'obat/suplemen mujarab (miracle)' yang dipromosikan sedemikian sampai terdengar berkhasiat besar dan meyakinkan, padahal mentok-mentoknya hanya vitamin biasa. Buta fisika, benerin 'listrik-listrik' atau atap di rumah yang sederhana saja tidak bisa. 

Buta kimia, ada botol isi asam sulfat tak sengaja nyelip barengan dengan botol isi asam cuka ngga bisa bedain. Buta geografi, negara Australia dikira ada di Eropa; Afrika dikira ada musim dingin; Gunung meletus dikira Tuhan lagi marah; Laut surut dikira ada yang minum; Matahari dikira terbit dari Utara padahal salah arah dan posisi. Buta matematika, ngitung luas bangun/ruang untuk bikin rumah atau kolam saja susah nanti. Buta ekonomi? Anda tahu sendiri lah... Kacau sekali hidup kalau tidak tahu uang mah. Mana bisa sejahtera?

5. Melatih toleransi terhadap orang lain

Aspek ini juga cukup penting untuk diajarkan kepada para murid semasa bersekolah. Anda tentu ingat kan, bagaimana sosiologi mengenalkan ragam budaya dan psikologi manusia? Bagaimana agama dan kewarganegaraan mengajarkan arti ketakwaan dan kesetiaan, bhinneka tunggal ika? Apa tujuan numero uno-nya? Toleransi. Bumi ini begitu beragam, tidak hanya hewan dan tumbuhannya, tapi juga manusianya. Manusia Indonesia tidaklah sama dengan manusia Eropa, Amerika, Cina, Jepang, dan negara lainnya. 

Jangankan beda negara, masih sama-sama di Indonesia saja juga berbeda-beda kan? Sifat dan karakter orang Sumatera berbeda dengan Jawa. Sifat dan karakter orang Kalimantan tentu berbeda dengan Maluku dan Papua. Sekolah memberitahu dan mengajarkan bahwa perbedaan itu hal yang sangat biasa, bukan untuk ditakuti dan dirasa sebagai ancaman. 

Justru perbedaan itu indah, membuat kita tidak pernah kehabisan bahan eksplorasi untuk dijelajahi dan dialami. Anda lihat saja di Youtube, TikTok, atau apapun itu; Ada saja ulasan menarik tentang kebudayaan dan gaya hidup orang atau bangsa lain yang tidak pernah berkesudahan untuk dijadikan konten. Banyak yang bisa kita saksikan dan ambil intisarinya.

Kalau orangnya tidak bersekolah, bisa dibayangkan jadi seperti apa nanti. Dia tidak bisa melihat ada yang berbeda dengan dirinya, seakan dia menjadi liyan dan ancaman yang harus dibasmi. Jadilah penyimpangan seperti intoleransi dan bahkan terorisme, yang akarnya tentu dari ketidakmauan untuk menerima kenyataan bahwa perbedaan itu ada dan biasa. 

Dia tidak mau mencoba memahami dan mengubah perspektif berpikir dengan sudut pandang orang lain. Pokoknya yang paling bener itu diri sendiri, yang lain pasti salah. Pikirannya cetek sekali. Orang punya gaya hidup nyeleneh, tidak suka dan langsung sibuk nyinyir sana sini. Orang peluk agama lain, langsung dicap sesat dan kafir. Lihat orang kaya dan makmur, iri dan mencari hal-hal aneh untuk mendiskreditkan orangnya; miara babi ngepet, jin/tuyul, pesugihan, pasang jimat, ini itu. Kacau beliau...

Intisari

Sekolah itu penting, tapi itu karena ada maksud agung yang dibawanya demi mencerahkan pikiran dan membawa kebahagiaan hidup setiap insan yang mengenyamnya, bukan hanya sekadar dicap penting tanpa tahu alasan filosofisnya.

Saya rasa sebagian Kompasianer disini mungkin ada yang sudah tahu hal-hal yang saya curcol-kan disini; Anggaplah tulisan ini sebagai penyegaran kembali saja jika memang demikian adanya.

Memang benar kalau tidak semua ilmu yang diajarkan di sekolah itu terpakai secara nyata saat kita sudah dewasa seperti sekarang ini, apalagi yang sudah agak dalam dan cenderung 'spesialistik'. Tidak semua suka biologi, tidak semua suka fisika atau kimia, tidak semua suka sosiologi, ekonomi, geografi, musik, kesenian, atau apapun itu, tapi dasar untuk semua bidang keilmuan itu harus diketahui dulu karena semua yang sifatnya dasar itu pasti penting sampai akhir hayat untuk kesejahteraan hidup kita sendiri nantinya.

Lagipula tidak ada salahnya juga dengan ilmu pengetahuan; semakin banyak tahu akan semakin membuka cakrawala dan khazanah kita sendiri.

Paling tidak, ilmunya itu nanti bisa diwariskan ke sanak saudara, seperti apa yang saya lakukan sekarang. Itu toh menghemat uang; tidak perlu lagi membayar jasa bimbel, cukup saya saja yang mengajarnya cuma-cuma (free).

Saya masih ingat pelajaran-pelajaran SD dan SMP sampai sekarang, yang ternyata berguna untuk membantu sepupu saya itu mengerti lebih baik di saat pandemi membuatnya tidak maksimal belajar.

Bisa jadi juga, ilmu sekolahan terpakai untuk ikut kuis cerdas cermat berhadiah di tipi-tipi kalau-kalau ada kesempatan dan Anda berminat. Lumayan kan? Hehehe...

Semoga pandemi segera berlalu dan sepupu saya itu pun bisa kembali bersekolah dengan normal supaya menjadi orang cerdas dan berkarakter seutuhnya.

Semoga tulisan ini memberi insight bermanfaat untuk Anda. Tabik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun