Mohon tunggu...
Cipta Mahendra
Cipta Mahendra Mohon Tunggu... Dokter - Dokter yang suka membaca apapun yang bisa dibaca.

Kesehatan mungkin bukan segalanya, tapi segalanya itu tiada tanpa kesehatan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Meluruskan Stereotipe (Miring) Agama Buddha

28 Mei 2021   01:38 Diperbarui: 28 Mei 2021   17:07 9182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konsep karma ini menandakan bahwa apapun yang kita alami sekarang ini merupakan hasil dari apa yang sudah kita lakukan pada masa lalu. Buah dari karma kita ini tidak selalu harus muncul dengan segera, tergantung waktu dan tempat yang tepat untuk memunculkan kesempatan karma kita itu berbuah. Buahnya bisa muncul beberapa hari lagi, beberapa minggu lagi, beberapa tahun lagi, bahkan bisa juga di kehidupan mendatang atau beberapa kehidupan mendatang. Keadaan yang kita alami sekarang ini bisa menjadi buah dari karma yang kita lakukan beberapa waktu lalu atau juga kehidupan sebelumnya atau bahkan juga beberapa kehidupan yang lalu. Intinya, jika kita ingin mengharapkan kehidupan yang baik dan membahagiakan, kita harus menanam karma/niat serupa untuk sekarang ini agar kedepannya buah karma yang juga baik dan membahagiakan kembali pada diri kita sendiri.

Inilah sebabnya umat Buddha lebih mengandalkan kekuatan diri sendiri untuk menciptakan kehidupan masa depan yang baik dan bahagia, yaitu dengan mengusahakan karma-karma yang baik dan terpuji. Apakah umat Buddha bisa berdoa pada "Tuhan"? Tentu bisa, tetapi dengan tujuan berbeda dari agama lain umumnya. Dalam tripitaka, disebutkan bahwa makhluk-makhluk di alam yang lebih tinggi ("Tuhan") bisa berperan 'mengabulkan' permohonan atau permintaan umatnya dengan cara mempercepat matangnya karma sang pendoa. Apa maksudnya? "Tuhan" juga bisa menjadikan permohonan orang yang berdoa menjadi kenyataan, namun harus sesuai atau layak menurut karma sang pendoa sendiri. Jika sang pendoa hanya berdoa namun tidak pernah berusaha dan beramal baik, tidak ada karma baik yang diciptakan dan si "Tuhan"pun juga tidak bisa berbuat banyak karena tidak ada 'modal' (baca: karma) yang bisa menjadi sumber pematangan buah karmanya. Ibarat mengarbit buah mangga di pohon mangga, buahnya sendiri adalah karma sedangkan bungkus plastik (karbit) adalah bantuan dari "Tuhan" tersebut. Bagaimana karbit ("Tuhan") bisa membungkus dan membantu mempercepat matangnya mangga kalau buah mangganya sendiri dari awal tidak ada? Apanya yang mau dikarbitin? Jadi, bagi umat Buddha, berdoa tujuannya yaitu untuk memohon mempercepat pematangan karma yang sudah ditanamnya agar bisa berbuah lebih cepat dan bisa dinikmati lebih awal.

Itulah sebabnya seorang umat Buddha diajarkan untuk lebih berorientasi pada perbuatan-perbuatan baik yang harus dilakukan dan menghindari perbuatan-perbuatan jahat karena semua itu akan kembali ke diri mereka sendiri sebagai buah akibatnya, alih-alih 'hanya' berserah pada "Tuhan" dan berdoa meminta ini dan itu. Umat Buddha tahu bahwa semua hasil yang baik harus berasal dari diri sendiri, bukan dengan duduk santai dan menunggu 'turun hujan duit' dari langit.

Pada intinya, umat Buddha bukannya tidak mengenal Tuhan, tetapi memiliki konsep pengertian tentang Tuhan yang berbeda dari agama lain pada umumnya. Umat Buddha juga bisa saja berdoa, bukan untuk meminta macam-macam, ini dan itu dengan bebas, tetapi untuk membantu mempercepat matangnya hasil dari karma yang sedari awal sudah harus ditanam dan tersedia lebih dulu.

2. Ajaran bervegetarian berasal dari agama Buddha.

Stereotipe ini sejujurnya sudah mulai tidak dikaitkan lagi dengan 'kebuddha-buddhaan' untuk zaman sekarang ini, namun memang masih ada kecenderungan orang-orang tertentu yang menilai bahwa orang yang bervegetarian biasanya beragama Buddha.

Seperti yang sudah saya tuliskan sebelumnya, semua binatang termasuk sebagai salah satu dari 31 alam kehidupan dalam kosmologi Buddhis. Dengan demikian, binatang juga sama seperti manusia yaitu merupakan makhluk hidup yang juga berada dalam samsara, namun berbeda dalam hal kebahagiaannya. Alam binatang/hewan sebagai alam yang lebih rendah dari manusia termasuk sebagai salah satu dari empat alam derita (hewan, hantu, jin/iblis, neraka). Bisa kita lihat sendiri lagipula, bagaimana hidup hewan-hewan diliputi ketakutan setiap harinya. Takut dimangsa predator, takut ditangkap dan dimasak manusia menjadi makanan. Kita sebagai manusia (untuk saat ini) juga bisa saja terlahir menjadi hewan nantinya jika amal ibadah kita cukup buruk untuk bisa membuahkan hasil karma demikian. Umat Buddha diajarkan untuk merenungkan hal ini dan mengembangkan welas asih kepada semua makhluk, tidak hanya sesama manusia tetapi juga para binatang dan juga bahkan makhluk-makhluk lain yang tidak kasat mata. Itulah sebabnya mungkin Anda juga pernah (atau sering) mendengar salam umat Buddha: semoga semua makhluk berbahagia. Inilah yang dimaksud dengan 'semua makhluk' itu. Salah satu cara untuk menunjukkan welas asih kepada hewan yaitu dengan tidak memakan daging dan memilih sayur-sayuran untuk makanannya. Dengan menghindari konsumsi daging, artinya hewan-hewan dapat merasa aman dan tidak lagi takut diburu untuk dibunuh dan dimasak demi menjadi makanan manusia.

Selain dari sisi keagamaan, bervegetarian juga sejatinya juga menguntungkan dari sisi kesehatan. Anda tentunya sudah banyak membaca dan seharusnya tahu segudang manfaat konsumsi sayur dan buah: melancarkan buang air, menurunkan kolesterol, mencegah kanker, dan sebagainya. Bagi kaum Buddhis, vegetarian bisa dilihat memiliki manfaat ganda: sarana pengembangan cinta kasih (welas asih) dan menjaga kesehatan tubuh. Sementara bagi para Nonbuddhis sendiri, bervegetarian bisa dilihat sebagai gaya hidup untuk memelihara kesehatan sebagai investasi tubuh untuk menjalani hidup bebas penyakit pada masa tua nanti.

3. Umat Buddha sering menyembah gambar/patung/berhala dan 'bakar-bakar' atau menaruh sesajen.

Celetukan ini juga sering saya dengar diucapkan sebagian orang. Kegiatan ini sebetulnya lebih merupakan tradisi dan memiliki latar belakang yang sudah saya tuliskan pada penjelasan stereotipe nomor 2 diatas. Selain kepada hewan (yang kasat mata), umat Buddha juga selayaknya menunjukkan welas asihnya kepada makhluk-makhluk lain yang tidak kasat mata yaitu para hantu dan jin/iblis, termasuk yang berada di alam lebih tinggi (alam "Tuhan") sekalipun. Seperti yang sudah dituliskan sebelumnya, makhluk-makhluk dapat terlahirkan di alam mana saja, bergantung pada amal perbuatannya semasa kehidupan sebelumnya. Ini berarti orang tua dan sanak saudara kita yang sudah meninggal juga bisa terlahir kembali menjadi manusia lain ataupun juga di alam lain, entah alam 'surga' atau alam derita. Dalam ajaran tripitaka, pemberian-pemberian (barang/materi maupun nonmateri) untuk mereka yang terlahir menjadi makhluk tak kasat mata merupakan tindakan yang memberikan manfaat untuk kedua belah pihak. Kita mendapat manfaat berupa pengembangan cinta kasih kepada makhluk lain (termasuk yang dulunya menjadi bagian dari sanak keluarga kita, jika terlahir kembali menjadi salah satu dari makhluk-makhluk tak kasat mata) dan menambah amal/karma baik kita, sedangkan mereka juga bisa mendapat kebahagiaan karena melihat tindakan pemberian kita sebagai bentuk perhatian kita terhadap mereka. Pemberian-pemberian ini bisa dalam bentuk bermacam-macam; umumnya dalam bentuk barang, makanan, dan uang. Pemberian tenaga pun juga bisa dilakukan, misalnya membantu mengatur dan menyiapkan ritual/tradisi pemberian-pemberian itu. Kepada siapa pemberian itu diberikan? Kepada mereka yang masih hidup tentu saja, mereka yang masih bisa menerima pemberian kita secara fisik/badaniah. Agar juga memberi manfaat untuk makhluk tak kasat mata yang menjadi sasaran amal perbuatan kita itu, pemberian ini biasanya dilakukan dengan mengingat nama mereka (sanak keluarga kita) yang sudah meninggal itu; misalnya saat memberikannya, bisa dilakukan sambil mengucap (dalam hati): semoga pemberian ini bisa memberi kebahagiaan baik untuk yang menerimanya dan juga untuk _____ (nama sanak keluarga kita tersebut). Secara tidak langsung, ini menciptakan kondisi kesenangan untuk mereka (yang sudah meninggal tersebut) berupa pikiran bahagia karena melihat pemberian itu dan menjadi tabungan karma baik sehingga kelak bisa berbuah untuk menghasilkan kelahiran kembali di alam berikutnya yang lebih baik/tinggi.

Namun sebagian umat (yang mengaku) Buddhis ada yang menerapkan konsep pemberian ini dengan cara lain. Umat-umat ini memberikan sesuatu yang serupa dengan yang sudah disebutkan tadi, tetapi langsung untuk sanak keluarganya yang sudah meninggal itu. Mereka tentu sudah tiada dan tidak lagi eksis secara fisik sehingga pemberiannya dilakukan dengan sedikit adaptasi: memberi sesajen makanan, benda-benda tiruan/replika (mobil kertas, uang kertas/mainan, dsb), dan hingga kertas-kertas seperti jimat yang bertuliskan kalimat-kalimat doa. Biasanya pada awalnya sesajen makanan diberikan, kemudian menunggu selama beberapa saat untuk membiarkan mereka 'menghabiskan' makanannya (tentu makanannya tidak akan habis lenyap begitu saja, seram sekali kalau sampai makhluk tak kasat mata bisa makan beneran...). Setelah itu, semua sesajen itu akhirnya diletakkan dalam sebuah tong untuk kemudian dibakar, bersama dengan benda-benda replika dan kertas-kertas jimat itu tadi. Ini memiliki makna yaitu agar makanan dan semua benda serta doa/harapan pada kertas itu bisa tersampaikan untuk mereka yang tak kasat mata tersebut. Tradisi ini yang disebut sebagai tradisi Ceng Beng (dalam kebudayaan Tionghoa). Sekali lagi, cara/metode ini hanyalah tradisi hasil adaptasi budaya masyarakat atau umat setempat dan bukan ajaran/cara asli Sang Buddha. Walakin, inti maksud yang ditujukan sama, yaitu untuk menunjukkan welas asih dan perhatian kepada mereka yang sudah meninggal (dan mungkin terlahir menjadi makhluk tak kasat mata).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun