Mohon tunggu...
Cipta Mahendra
Cipta Mahendra Mohon Tunggu... Dokter - Dokter yang suka membaca apapun yang bisa dibaca.

Kesehatan mungkin bukan segalanya, tapi segalanya itu tiada tanpa kesehatan.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Memahami Pemeriksaan Penunjang Medis

22 Februari 2021   20:30 Diperbarui: 24 Februari 2021   07:53 2883
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pemeriksaan penunjang. Sumber: bbc.com (getty images)

Sebagai satu-satunya dokter di lingkup keluarga saya, saya terkadang menjadi tempat konsultasi kesehatan untuk sanak keluarga saya. Biasanya untuk sakit yang ringan-ringan saja... Syukurlah tentu saja. Runyam tentu kalau yang berat. Tidak hanya dari mereka saja, tetangga sekitar rumah juga ada kalanya bertanya pada saya untuk konsultasi.

Di kala demikian, mereka terkadang juga bertanya mengenai hasil laboratorium (lab) darahnya saat menjalani pemeriksaan untuk sekadar medical check-up rutin. Sakit sih tidak, hanya untuk cek saja memastikan tidak ada hal penting atau mendesak untuk ditangani...

Dari hasil lab itu, yang sering terjadi adalah mereka menaruh perhatian untuk bagian angka/hasil yang diberi tanda bintang (*). Tanda ini memang sudah menjadi konsensus internasional untuk menandai bahwa angka/hasil yang dimaksud berada di luar rentang nilai normal. 

Tanda itu akan selalu diberi jika tidak termasuk dalam rentang normal itu, bahkan jika 'hanya' beda satu atau sepersekian; katakanlah 9,9* atau 20,1* jika rentangnya 10-20 misalnya. 

Sebagian mereka ada yang agak khawatir dengan tanda bintang itu. Saya harus meyakinkan mereka bahwa itu bisa diabaikan jika secara klinis dan historis tidak ada hal bermakna yang patut diperhatikan.

Sebelum saya membahas tentang hasil lab ini, saya akan membahas sekilas bagaimana seorang dokter idealnya berpraktik dan mendiagnosis pasien. Hal ini penting karena akan menjadi pengantar dan pemberi arahan untuk membuat pola pikir (mindset) tentang sebuah hasil laboratorium. 

Saat seorang pasien datang berkunjung ke tempat praktik dokter, momen saat pasien membuka pintu ruang praktik itulah sudah dimulai investigasi dokter untuk pasien ini. 

Dari cara berjalan, berpakaian, dan penampilan sudah bisa didapat garis besar kira-kira sakit seperti apa yang nantinya akan dikeluhkan pasien, apakah ringan saja atau sudah mulai berat atau serius. Proses selanjutnya yaitu tanya jawab atau wawancara, yang dalam bahasa medis disebut anamnesis. 

Pada saat ini, dokter akan melontarkan sejumlah pertanyaan untuk mengarahkan ke diagnosis-diagnosis yang mungkin menjadi masalah pasien ini. 

Semua pertanyaan yang diajukan dokter bertujuan untuk melakukan saringan-saringan agar didapat kepastian diagnosisnya. Ini mirip seperti melakukan seleksi untuk sebuah lomba. 

Setiap jawaban untuk pertanyaannya akan menentukan ada tidaknya kemungkinan sebuah diagnosis yang terpikirkan dokternya saat anamnesis itu.

Selanjutnya setelah anamnesis, tahap pemeriksaan fisik (PF) dimulai. Dokter akan melakukan pemeriksaan di bagian tubuh yang dianggap perlu untuk mengonfirmasi atau menyingkirkan kemungkinan-kemungkinan diagnosis yang disimpan di kepala dokternya. 

Saat anamnesis itu sekitar 60-70 persen proses untuk mendapat diagnosis sebenarnya sudah didapat, tetapi belum 100 persen. Masih ada kemungkinan-kemungkinan diagnosis yang mirip, yang sulit dibedakan jika hanya dari anamnesis saja. 

Inilah alasan mengapa PF itu penting untuk dilakukan. Dari tahap PF, progress diagnosis sudah bisa dikatakan mencapai 80-90 persen. Kemungkinan diagnosis masih bisa multipel tetapi sudah berkurang banyak dibanding saat mulai masuk dari pintu itu tadi. 

Bagaimana untuk mencapai 100 persen kemungkinan diagnosisnya? Di sinilah peran laboratorium mulai bermain. Laboratorium sendiri sebenarnya merupakan sebutan awam untuk merujuk pada istilah 'pemeriksaan penunjang' (PP) dalam bahasa medis. 

Sesuai namanya, PP dilakukan untuk menunjang dokter menetapkan diagnosis akhirnya nanti. Yang termasuk PP yaitu laboratorium darah dan urin (patologi klinik), patologi anatomi, radiologi, mikrobiologi, dan parasitologi. Tahapan anamnesis, PF, dan PP ini dilakukan berurut, tidak bisa dibolak-balik.

Kalau kita perhatikan alirannya, peran PP ini sebenarnya paling kecil dibanding peran tahap PF, apalagi anamnesis. Sebelum dilakukan PP, seorang dokter sudah harus memikirkan sejumlah kemungkinan diagnosis yang masih belum bisa disaring setelah anamnesis dan PF. 

Biasanya dokter akan memilih satu atau dua jenis PP untuk membantu penegakan diagnosis akhirnya, tetapi bisa lebih bergantung kebutuhan dokter untuk menyaringnya. 

Apakah tanpa PP dokter sudah bisa menentukan diagnosis? Tentu bisa. Ada cukup banyak penyakit yang memang diagnosisnya cukup secara klinis, dalam artian bahwa penegakannya sudah bisa dipastikan dengan anamnesis dan PF saja tanpa harus ada hasil PP. 

Dokter-dokter jaga yang bertugas di instalasi gawat darurat (IGD) juga sering bertemu kasus-kasus gawat yang secara tampakannya saat datang (klinis) sudah terlihat 'sekarat' dan harus secepatnya ditolong tanpa perlu menunggu hasil PP. 

Bahkan misalnya kalau dokter-dokter yang melayani di daerah terpencil yang seringnya tidak ada fasilitas PP memadai, mereka juga sudah bisa mengira kemungkinan diagnosisnya dari anamnesis dan PP saja. 80-90 persen sejatinya juga sudah besar angkanya untuk memastikan diagnosis. 

Terkadang juga dari sinilah, bisa dicoba pendekatan trial and error. Dokter akan mencoba meresepkan obat atau saran untuk diagnosis yang paling besar kemungkinannya dahulu. Jika ini belum berhasil, dokter lalu mencoba memberi terapi lain untuk diagnosis lain di bawahnya yang lebih kecil peluangnya.

Lalu apakah PP tidak sebegitu pentingnya sampai bisa diabaikan saja? Tidak juga. Ada cukup banyak juga penyakit-penyakit yang diagnosis pastinya harus ditentukan dengan PP. Ambillah contoh anemia. Penyakit kurang darah ini harus disertai bukti kadar hemoglobin darah di bawah nilai normal, bahkan meskipun secara anamnesis dan PF mendukung ke arah anemia (lemas dan lesu, kepala pusing, konjungtiva mata dan wajah pucat, dsb). 

Demikian pula untuk diabetes melitus. Penyakit gula darah tinggi ini harus didasarkan bukti hasil PP kadar glukosa darah naik di atas nilai batas, meskipun pasiennya secara klinis mengarah ke diabetes melitus (lapar dan haus terus, banyak kencing, berat badan turun tanpa sebab jelas). Tanpa hasil PP, gejala-gejala ini bisa saja bukan karena diabetes melitus tapi sebab lain; stres misalnya.

Ada juga bahkan beberapa penyakit yang bisa tidak menimbulkan gejala dan tanda klinis apa pun tetapi sudah menunjukkan abnormalitas saat diperiksa hasil PP-nya; hiperlipidemia misalnya. 

Penyakit kadar lemak tinggi dalam darah ini sering kali tidak memberi gejala apa pun pada penderitanya, tetapi saat diperiksa darahnya - biasanya juga secara kebetulan karena sekadar check-up saja - baru ketahuan angkanya ternyata tinggi. 

HIV-AIDS juga memerlukan monitoring hasil PP untuk antisipasi perburukan penyakitnya. Orang dengan HIV-AIDS sering tidak memunculkan gejala sampai saat kondisi imunnya sudah sangat jelek dan sangat sulit untuk diobati. 

Agar tidak sampai jatuh pada tahap ini, hasil PP harus rutin diperiksakan untuk pasien ini; jumlah muatan virus dan sel leukositnya harus dipantau dan dilihat tren naik-turunnya dalam darah pasien. Bisa juga misalnya pada kasus saat Anda ternyata sedang terinfeksi virus Covid-19 tetapi tidak menunjukkan gejala (asimtomatik). 

Bagaimana cara melihat apakah Anda sekarang terinfeksi virus ini? Pemeriksaan penunjang rapid test dan PCR menjadi standar untuk diagnosisnya. Dalam kasus saat anamnesis dan PF tidak memberi hasil bermakna untuk infeksi Covid-19, hasil PP ternyata bisa membantu jika memberi hasil positif saat diperiksa, meskipun secara klinis tidak ada gejala atau keluhan hanya minimal.

Prinsip ini juga berlaku untuk modalitas-modalitas PP lain. Hasil rontgen juga harus dilihat dan dianalisis berdasarkan konteks anamnesis dan hasil PF yang saat itu didapatkan dokternya. Penyakit radang paru (pneumonia) harus ada hasil rontgen parunya sebagai diagnosis akhirnya, tetapi tidak harus untuk penyakit asma karena diagnosisnya lebih ke secara klinis. 

Hasil biopsi patologi anatomi harus ada untuk menentukan stadium kanker pada penderita kanker karena akan memengaruhi manajemen terapinya, tetapi tidak harus untuk penyakit demensia Alzheimer karena bisa ditegakkan cukup dari gejala-gejala klinis - tidak memungkinkan juga untuk melakukan biopsi otaknya selama pasien masih hidup.

Dari sini bisa kita lihat bagaimana sebuah tindakan PP bisa memberi bobot peran berbeda untuk setiap diagnosis atau penyakit yang berbeda. Dokter sebagai profesional yang memang sudah dilatih bertahun-tahun selama pendidikan untuk membedakan dan menggunakan PP untuk membantu diagnosis pasien yang sekiranya paling paham untuk melihat dan menginterpretasi hasil PP sesuai konteks. 

Ini belum berbicara soal variasi normal dan fenomena fisiologis normal tubuh yang bisa saja memberi hasil berbintang pada hasil PP tetapi secara kemaknaan tidak berarti. 

Dalam kasus PP lab darah misalnya, antar lembaga/pusat/institusi pemeriksanya bisa memiliki nilai rentang normal berbeda untuk parameter-parameternya meskipun biasanya perbedaan nilainya tidak jauh. Ini bergantung pada alat dan bahan yang dipakai lembaga/pusat/institusi itu untuk melakukan pemeriksaannya. 

Jika Anda melakukan pemeriksaan check-up di sebuah tempat dan mendapati angkanya dibintangi namun hanya berbeda tipis dari rentang normalnya, kemungkinan hanya variasi ini bisa saja jadi sebabnya. 

Kasus lain, ada kalanya tubuh Anda mungkin sedang melawan infeksi ringan, yang tidak sampai membuat gejala seperti demam dan pusing kepala. Secara klinis ini artinya Anda tidak sedang sakit, tetapi bisa saja terlihat saat diperiksa lab darahnya; parameter infeksinya menunjukkan hasil tinggi. Untuk kasus ini, parameternya bisa diabaikan karena biasanya toh bisa sembuh sendiri.

Ada juga kasus-kasus penyakit yang memerlukan parameter multipel untuk dianalisis; dalam kondisi ini nilai hasil untuk sebuah pengukuran A menjadi petunjuk untuk mengartikan sebuah nilai hasil lain untuk pengukuran B, C, dan seterusnya. Untuk kasus ini, tentu kerumitannya akan lebih tinggi lagi dan memerlukan dokter sebagai ahli untuk membaca dan memahaminya.

Inilah sebabnya saya sebagai dokter menyarankan untuk para awam yang melakukan pemeriksaan PP - terutama yang melakukannya secara mandiri tanpa saran untuk diperiksakan oleh dokternya - agar lebih berhati-hati saat membaca hasil tes/pemeriksaannya. 

Sangat disarankan untuk berkonsultasi dengan dokter agar tidak salah paham dan benar dalam analisis hasil-hasilnya. Ingat sekali lagi, PP menunjang anamnesis dan PF sehingga pembacaannya harus sesuai dengan konteks tersebut. 

Mengingat hal itu bukan perkara mudah, sebaiknya orang awam bertanya dulu ke dokter dan jangan membaca sendiri, apalagi jika menyangkut hasil pemeriksaan untuk parameter-parameter yang tidak umum atau jarang diujikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun