Terkadang juga dari sinilah, bisa dicoba pendekatan trial and error. Dokter akan mencoba meresepkan obat atau saran untuk diagnosis yang paling besar kemungkinannya dahulu. Jika ini belum berhasil, dokter lalu mencoba memberi terapi lain untuk diagnosis lain di bawahnya yang lebih kecil peluangnya.
Lalu apakah PP tidak sebegitu pentingnya sampai bisa diabaikan saja? Tidak juga. Ada cukup banyak juga penyakit-penyakit yang diagnosis pastinya harus ditentukan dengan PP. Ambillah contoh anemia. Penyakit kurang darah ini harus disertai bukti kadar hemoglobin darah di bawah nilai normal, bahkan meskipun secara anamnesis dan PF mendukung ke arah anemia (lemas dan lesu, kepala pusing, konjungtiva mata dan wajah pucat, dsb).Â
Demikian pula untuk diabetes melitus. Penyakit gula darah tinggi ini harus didasarkan bukti hasil PP kadar glukosa darah naik di atas nilai batas, meskipun pasiennya secara klinis mengarah ke diabetes melitus (lapar dan haus terus, banyak kencing, berat badan turun tanpa sebab jelas). Tanpa hasil PP, gejala-gejala ini bisa saja bukan karena diabetes melitus tapi sebab lain; stres misalnya.
Ada juga bahkan beberapa penyakit yang bisa tidak menimbulkan gejala dan tanda klinis apa pun tetapi sudah menunjukkan abnormalitas saat diperiksa hasil PP-nya; hiperlipidemia misalnya.Â
Penyakit kadar lemak tinggi dalam darah ini sering kali tidak memberi gejala apa pun pada penderitanya, tetapi saat diperiksa darahnya - biasanya juga secara kebetulan karena sekadar check-up saja - baru ketahuan angkanya ternyata tinggi.Â
HIV-AIDS juga memerlukan monitoring hasil PP untuk antisipasi perburukan penyakitnya. Orang dengan HIV-AIDS sering tidak memunculkan gejala sampai saat kondisi imunnya sudah sangat jelek dan sangat sulit untuk diobati.Â
Agar tidak sampai jatuh pada tahap ini, hasil PP harus rutin diperiksakan untuk pasien ini; jumlah muatan virus dan sel leukositnya harus dipantau dan dilihat tren naik-turunnya dalam darah pasien. Bisa juga misalnya pada kasus saat Anda ternyata sedang terinfeksi virus Covid-19 tetapi tidak menunjukkan gejala (asimtomatik).Â
Bagaimana cara melihat apakah Anda sekarang terinfeksi virus ini? Pemeriksaan penunjang rapid test dan PCR menjadi standar untuk diagnosisnya. Dalam kasus saat anamnesis dan PF tidak memberi hasil bermakna untuk infeksi Covid-19, hasil PP ternyata bisa membantu jika memberi hasil positif saat diperiksa, meskipun secara klinis tidak ada gejala atau keluhan hanya minimal.
Prinsip ini juga berlaku untuk modalitas-modalitas PP lain. Hasil rontgen juga harus dilihat dan dianalisis berdasarkan konteks anamnesis dan hasil PF yang saat itu didapatkan dokternya. Penyakit radang paru (pneumonia) harus ada hasil rontgen parunya sebagai diagnosis akhirnya, tetapi tidak harus untuk penyakit asma karena diagnosisnya lebih ke secara klinis.Â
Hasil biopsi patologi anatomi harus ada untuk menentukan stadium kanker pada penderita kanker karena akan memengaruhi manajemen terapinya, tetapi tidak harus untuk penyakit demensia Alzheimer karena bisa ditegakkan cukup dari gejala-gejala klinis - tidak memungkinkan juga untuk melakukan biopsi otaknya selama pasien masih hidup.
Dari sini bisa kita lihat bagaimana sebuah tindakan PP bisa memberi bobot peran berbeda untuk setiap diagnosis atau penyakit yang berbeda. Dokter sebagai profesional yang memang sudah dilatih bertahun-tahun selama pendidikan untuk membedakan dan menggunakan PP untuk membantu diagnosis pasien yang sekiranya paling paham untuk melihat dan menginterpretasi hasil PP sesuai konteks.Â