Pak Bahri ikut mencomot dan mengunyah makanan buatanku itu. Aku terkesiap. Ayo.. ayo… pak Bahri, aku menunggu pujianmu. Aku menantikan senyum itu. Ucapkanlah sesuatu. Tersenyumlah sedikit saja, Pak. Pandanglah aku. Detik demi detik bergulir. 15 menit berlalu. 15 menit itu sangat lama. Seperti satu abad lamanya. Hingga pada akhirnya, penantian itu menjadi sia-sia. Pagi ini aku tetap tidak mendapatkan senyum itu. Senyum yang akan membuat hari-hariku seperti pelangi. Indah. Indah sekali.
Menyadari aku tidak memperoleh yang kuinginkan, kakiku lunglai. Tubuhku lemas tak berdaya. Hatiku perih. Rasanya seperti dicambuk ribuan kali. Aku lebih memilih dicambuk ribuan kali daripada aku harus mendapatkan wajah dingin itu. Teman, kau memang benar. Cinta itu sungguh sangat pahit. Bahkan lebih pahit daripada empedu.
Kejadian itu sungguh membuatku terpukul. Penantianku ternyata sia-sia. Musnah harapanku. Semuanya sudah jelas. Tidak ada cinta untukku. Cintaku tidak berbalas. Yang tersisa kini hanyalah rasa sakit yang membuat dadaku ingin meledak. Kepalaku berat. Mataku panas. Hatiku mendidih. Selama ini, cintalah yang membuatku bisa bertahan kerja di sini. Anehnya, cinta ini juga yang membuatku ingin sekali meninggalkan rumah ini. Aku tidak bisa terus menerus berada dalam kesedihan dan kesengsaraan seperti ini. Aku tidak mungkin mengharapkan orang yang tidak mungkin aku dapatkan. Aku harus mulai melupakannya. Aku sangat tersiksa dengan kehadirannya. Aku akan menyerah saja pada takdir. Takdirku adalah pembantu. Aku tidak sederajat dengan majikanku. Apalagi aku seorang perempuan. Mana mungkin juga aku menyatakan cintaku duluan? Apalagi dengan status sosialku ini. Arrggh! Ternyata, teori yang kubaca tidak benar. Manusia ternyata tidak sama. Tidak sederajat. Apa yang dinamakan sebagai revolusi perancis dengan semboyannya, liberte-egalite-fraternite itu ternyata tidak berlaku padaku. Itu hanya ada dalam buku sejarah. Yang ada dalam dunia ini adalah Si kaya dan si miskin. Si kuat dan si lemah. Si pembantu dan si majikan. Si laki-laki dan si Wanita. Sekali lagi aku menghujat Tuhan. Dia sudah tidak adil padaku. Meski, aku tetap tak berdaya karena aku hanyalah wayang bagiNya. Yang bisa dimainkanNya sekehendakNya, sesuai ceritaNya. Baiklah, aku putuskan besok aku akan pergi dari rumah ini!
Keputusanku mengejutkan semua pihak kecuali Pak Bahri. Selepas keluarga itu sarapan aku langsung membuka mulut dan berbicara kepada seluruh keluarga yang ada disitu. Awalnya ada sedikit keraguan. Paru paruku seperti kehabisan oksigen. Hampir saja mataku mengeluarkan bulir-bulir air mata. Meski akhirnya, aku bisa mengucapkan kalimat perpisahan itu dengan lancar. Pak Bahri, engkau sama sekali tidak kaget ataupun sedih. Hal ini sangat menyakitkan dan semakin membulatkan tekadku angkat kaki dari rumah ini.
“Lho…ada apa sebenarnya ini?” Tanya Bu Bahri menanggapi keputusanku. “Ini semuanya ada hubungannya dengan keluargaku di Garut, Bu.” Untunglah kalimat yang sudah kuhapal berulangkali semalaman ini meluncur dengan lancar seperti mobil yang berkendara di jalan tol di pagi buta.
“Sudahlah Bu, tidak usah dipermasalahkan. Icih pasti punya alasan.” Pak Bahri angkat bicara. Ini sungguh membuatku terkejut. Aku berharap dia mencegahku, tapi… Ternyata, kau tidak pernah mencintaiku. Aku merasa orang paling bodoh sedunia.
Astagfirullah! Perih! Perih sekali rasanya hati ini! Pak Bahri tak sedikitpun mempertanyakan kepergianku yang mendadak ini. Ia bahkan tidak terkejut. Responnya datar sekali. Sedatar grafik nilai Matematika murid-murid di madrasahku dulu. Perlakuannya di meja makan tadi sama saja mengusirku secara halus. Ya Allah, hatiku benar-benar hancur diperlakukan seperti itu. Hatiku seperti kaca yang pecah. Retak dan berserakan kemana-mana. Mulutku terkunci. Kakiku lunglai. Aku tidak tahan jika harus terus berdiri disini. Aku segera ke kamar. Membereskan semua barangku yang cuma terdiri dari dua tas jelek berisi baju murahan dan pamit. Aku harus segera menyudahi penderitaan ini.
“Jika kamu berubah pikiran, tolong kembali.” Bu Bahri memelukku. Erat sekali. Matanya merah dan butir bening mengintip di sudut matanya. Aku terharu. Aku kasihan terhadap wanita ini. Selama aku bekerja di sini, ia tak pernah bersikap kasar. Sebaliknya, sepertinya ia sangat tahu posisiku dan bagaimana rasanya jadi pembantu. Tapi sepertinya, lukaku sudah menganga terlalu dalam. Terharu dan kasihan terhadap wanita ini tidak cukup untuk mengobati perasaanku yang terkoyak.
*** Aku sedang duduk di bangku terminal. Mataku sembab. Aku tidak malu menangis dari tadi. Meski orang lalu lalang di depanku. Mereka pasti berfikir aku tersesat. Tapi tidak ada yang peduli. Tidak ada yang pernah tahu, hatiku hancur berantakan. Beginilah ibukota. Memang benar, ibukota ternyata lebih kejam dari ibu tiri.
Sapu tanganku sudah basah oleh air mata dan ingus yang keluar dari hidung karena menangis. Tidak cukup rasanya menumpahkan air mata. Aku benar-benar sedih. Aku sangat kecewa. Aku juga benci. Aku benci sekali. Aku menyesal bertemu denganmu, Pak Bahri. Aku benci, Bapak!
Tiba-tiba saja pundakku ditepuk orang. Mang Wawan, penjaga gerbang rumah majikanku sudah berdiri di depanku.