Cinty Yosefine - 115190146
Zaman terus maju, teknologi semakin berkembang, setiap individu berlomba-lomba membuat bisnis kecil-kecilan, dan perusahaan kecil maupun besar sama-sama bersaing untuk mempertahankan kedudukannya. Ketatnya persaingan bisnis membuat para pebisnis memutar otak mencari cara agar usaha mereka stabil atau setidaknya tidak mengalami keterpurukan. Para pebisnis terus melakukan riset dan pengembangan dalam berbagai cara serta usaha berinovasi dalam menjalankan bisnisnya agar tidak tergusur dan digantikan oleh perusahaan lain.
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk menonjolkan bisnis perusahaan dan salah satunya adalah dengan melakukan Aliansi Strategis (Strategic Alliance). Dikutip dari buku Innovation Management and New Product Development yang ditulis oleh Paul Trott (2017), aliansi strategis (Strategic Alliance) memiliki arti bahwa suatu kesepakatan yang terjadi antara dua atau lebih mitra atau perusahaan untuk berbagi pengetahuan atau sumber daya, yang dapat menguntungkan semua pihak.
Melakukan aliansi strategis berarti semua pihak atau perusahaan terkait harus saling berbagi tujuan (goals and objectives) dan berbagai informasi terkait perusahaan agar kendala bisa teratasi, kelancaran bisnis dan laba maksimal didapatkan. Berbagai hal yang menjadi keuntungan melakukannya aliansi strategis adalah saling memenuhi sumber daya setiap pihak, semua pihak dapat saling belajar dari pengetahuan dan riset yang dilakukan masing-masing, serta para pebisnis bisa lebih fokus mengejar tujuan dan mempertahankan bisnis mereka.
Perlu digaris-bawahi, aliansi strategis tidak hanya dapat terjadi pada perusahaan dengan bidang usaha sejenis, namun dapat terjadi pada perusahaan yang bergerak di bidang usaha yang berbeda. Contohnya, di tahun 2018, Citilink melakukan aliansi strategis dengan JD.ID dan Aerofood ACS Garuda Indonesia. Mengutip dari berita Tempo.co (2018), Citilink menyediakan layanan online Citilink Store dengan menggaet aplikasi JD.ID, sehingga penumpang dapat berbelanja meskipun belum di pesawat.
Tentu saja dalam melakukan aliansi strategis harus dilandasi kepercayaan terhadap mitra atau perusahaan lain. Jika tidak ada rasa kepercayaan, apakah bisa melakukan suatu aliansi secara strategis sehingga dapat mengembangkan perusahaan? Pastinya tidak. Trott (2017) menyebutkan bahwa ada beberapa jenis kepercayaan (trust), dan salah satunya adalah institutional, di mana jenis kepercayaan ini digambarkan sebagai kepercayaan yang secara formal mengikat individu dengan institusi (atau dalam hal ini perusahaan). Selain itu, tahapan rasa percaya tertinggi setelah kepercayaan institusional adalah Goodwill Trust, di mana besarnya rasa percaya yang diimbangi dengan saling berkomitmen dan saling menghargai satu sama lain serta menunjukkan etikat dan niat baik. Dengan saling percaya satu sama lain dan telah meninjau serta menilai mitra perusahaan yang akan diajak aliansi, perusahaan akan mengambil keputusan untuk siap melakukan aliansi strategis.
Hal sederhana seperti berjabat tangan menjadi awal dilakukannya aliansi. Ada 3 tahapan untuk membentuk aliansi strategis, yaitu yang pertama, mulai memilih mitra yang cocok. Cocok dalam artian memiliki visi misi serta tujuan yang selaras, memiliki nilai-nilai perusahaan yang sama, serta dapat saling mendukung dan percaya satu sama lain atau istilah lainnya “on the same page.” Kedua, tahap negosiasi, di mana perusahaan yang melakukan aliansi ini saling berdiskusi agar saling mendapatkan keuntungan satu sama lain. Terakhir adalah bagaimana mengelola semua hal yang sudah didiskusikan, termasuk penetapan tujuan bersama dan solusi jika ada konflik. Sering kali kita mendengar kata “Win-win solution.” Inilah yang dicapai dari ketiga tahapan dasar dalam membentuk aliansi strategis. Selain rasa percaya, adanya rasa saling membutuhkan dan kemampuan bekerja sama dapat membuat aliansi menjadi lebih strategis dan berhasil.
Dalam buku Strategic Managements: Competitiveness and Globalization, Hitt, Ireland, dan Hoskisson (2016) menyebutkan bahwa ada 3 tipe utama dari aliansi strategis, yaitu joint venture, equity strategic alliances, dan nonequity strategic alliances. Salah satu tipe yang dibahas di sini adalah joint venture. Joint venture dapat didefinisikan sebagai bentuk kerja sama antara dua atau lebih perusahaan yang membentuk sebuah perusahaan yang berlandaskan kepentingan bisnis yang sama atau dalam istilah bisnis “on the same page”. Mengambil contoh seperti yang dilakukan oleh Honda dan Sony baru-baru ini.
Pada 4 Maret 2022, dunia otomotif gempar dengan adanya berita bahwa Honda Motor Co., Ltd dan Sony Group Corporation menandatangani sebuah kesepakatan di mana mereka melakukan kerja sama dalam membentuk sebuah perusahaan baru yang bertujuan untuk membentuk era baru untuk mobilitas dan layanannya dalam tahun 2022. Kehebatan Honda dalam teknologi manufaktur kendaraan diduetkan dengan keahlian Sony dalam teknologi jaringan dan hiburan untuk mewujudkan mobilitas baru dengan layanan super canggih yang selaras dengan pengguna dan lingkungan serta pengembangan lain ke depannya. Honda dan Sony mengungkapkan rencana mereka untuk sama-sama mengembangkan teknologi dan nantinya akan memasarkan kendaraan listrik (high value-added battery electric vehicles) atau disingkat EVs.
Kenichiro Yoshida selaku Representative Corporate Executive Officer, Chairman, President dan CEO dari Sony Group Corporation (2022) mengungkapkan bahwa aliansi dengan Honda selaras dengan tujuan Sony untuk mengisi dunia dengan emosi melalui kekuatan kreativitas dan teknologi. Sony ingin menjadi bagian dan berkontribusi dalam evolusi dunia mobilitas yang berorientasi pada keselamatan, hiburan, dan kemampuan beradaptasi. Direktur, Presiden, Pejabat Eksekutif Perwakilan dan CEO Honda, Toshihiro Mibe menyebutkan bahwa aliansi dan kerja sama ini bersifat “terbuka” yang artinya memungkinkan pihak atau perusahaan lain untuk sama-sama melakukan ekspansi pada bidang bisnis ini. Toshihiro Mibe juga menyebutkan, “Honda akan memanfaatkan pengetahuan dan teknologi canggih yang dimiliki terkait lingkungan dan keselamatan dalam menggabungkan teknologi kedua perusahaan. Meskipun kedua perusahaan memiliki nilai dan budaya yang sama, namun teknologi kedua perusahaan ini berbeda. Maka daripada itu, aliansi ini dapat menyatukan kekuatan kedua perusahaan dan dapat menawarkan masa depan mobilitas yang besar.”
Dalam berita Nikkei Asia (4 Maret 2022), selain kesamaan visi dan tujuan kedua perusahaan tersebut, masalah personal, yakni hubungan persahabatan kedua founder atau pemilik, Soichiro Honda dan Masaru Ibuka menjadi salah satu fondasi kuat terjalinnya aliansi ini. Ini artinya, Honda dan Sony sudah sama-sama memiliki rasa kepercayaan satu sama lain.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa aliansi strategis dapat dijalankan oleh perusahaan yang “mau” percaya kepada mitra atau perusahaan lain untuk sama-sama membentuk dan menjalin kerja sama untuk mengembangkan bisnisnya. Tidak hanya berlandaskan rasa percaya, namun aliansi strategis juga dapat tercapai dan dijalankan dengan baik jika kedua atau lebih perusahaan memiliki kesamaan visi atau pandangan yang sama. Jika tidak memiliki kesamaan visi atau selaras, bagaimana caranya dapat menyatukan kerja sama atau aliansi ini. Saling terbuka membagi informasi dan pengalaman membantu mewujudkan tujuan dari adanya aliansi strategis ini. Salah satu tipe aliansi strategis adalah joint venture (usaha patungan), di mana terjadi kesepakatan antar perusahaan dalam menjalankan usaha atau bisnis bersama dalam bentuk perusahaan baru. Aliansi strategis juga dapat terjadi di luar bidang usaha yang sama (inter-industry dan intra-industry).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H