Mohon tunggu...
Cinthya Yuanita
Cinthya Yuanita Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

bermain dengan aksara, merenda kata, menciptakan makna.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dini Hari yang Frustasi

14 November 2012   20:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:21 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Televisi berkelap-kelip, memecah senyap yang enggan berkedip. Di dalam kotak dua puluh empat inci ada pertandingan bola. Panzer kontra negara seribu dewa. Di lapangan hijau, hampir dua lusin lelaki berkejaran risau. Merubungi bundar bola seperti pasukan semut lapar bongkahan gula. Separuh babak pertama hendak usai. Belum ada yang mencetak nilai. Alot! Penyerang dan pemertahan sama ngotot.

Percobaan pertama, tidak kena!

Percobaan kedua, tak lolos juga!

Percobaan ketiga dan kesekian lalu berakhir sama.

Raut kaku di sana-sini. Pemain meraung, pelatih mengaduh, dan penonton berjeritan saban kali bola melintir dari gawang. Beberapa wajah diselubungi ragu, separuh lagi sendu.

Di atas keramik juga tengah bertarung sengit cicak dan lipan. Masing-masing seekor jumlahnya. Keduanya berperang dalam diam. Mengamati titik lemah lawan sembari menerka-nerka. Cicak yang lapar tak akan melepaskan mangsa. Pun, lipan tak pernah berbesar hati untuk dimangsa. Satu menit, dua menit, tetap bergeming. Satu menit, dua menit, tak beranjak. Seperti dua buah pajangan baru di ruang tamu.

Panzer membabi buta menerobos pertahanan, Ethniki tetap kukuh melawan. Seperti David dan Goliath.

Tak terduga, lipan bergerak. Kaki seribunya melesat kilat menjauhi pusaran maut. Cicak tak ingin sarapan paginya berlalu, maka ia bergerak maju. Mereka berkejaran hingga ke bawah dipan. Lantas buyar. Tak lagi terlihat. Entah perseteruan macam apa yang berlanjut di kolong sana.

Putih mencekal biru, biru menjegal putih. Nyaris!

Ia yang tercenung di dalam kelambu juga tengah dihantam pilu. Nalarnya tak pernah mencapai fase ini, momen yang tak dikiranya akan singgah. Ia tak pernah percaya ini sebelumnya. Yang ia yakini ialah: dua orang yang telah memantapkan hati untuk menjadi satu akan selalu menjadi fusi yang padu. Maka, ia hanya tertawa remeh ketika Anto, Budi, atau Carlie membombardirnya dengan cerita serupa. Mereka meninggalkan wanitanya dengan alasan ‘tidak bisa lagi bersama’, ‘demi kebaikannya’, ‘dia layak mendapatkan yang lebih baik’.

Ia lantas tertawa, menertawai fakta. Ia selalu percaya bahwa mencintai adalah pilihan, seperti naik wahana di taman hiburan. Sekali engkau naik ke atasnya dan melingkarkan sabuk pengaman, tidak akan bisa turun sekenanya.  Ikuti arusnya, nikmati ayunannya hingga akhir perjalanan.

Lapangan hijau semakin riuh.

Ada gemerisik gaduh di kolong dipan.

Tidak ada yang mau mengalah karena kemenangan adalah absolut.

Orang bilang merajuk adalah bumbu dan cemburu serupa hati merah jambu. Awalnya memang seperti itu. Tapi kini semuanya bagai sembilu. Ini bukan kali pertama gadisnya menjadi belenggu.

Bukan salah wanita jika mereka begitu perasa. Tapi ada beberapa dari mereka yang hatinya lebih rapuh daripada kaca. Dan itu menyebalkan, pikirnya. Ia lebih suka ditantang satu lawan satu ketimbang menghadapi batu. Mereka memang tak memiliki daya sekuat Samson, tapi mereka bisa menyakiti lebih daripada amukan bison.

Wanita itu selalu mampu membuatnya didera rasa bersalah. Seketika menjadi pendosa yang selalu mematahkan hati hawa. Mungkin Anto, Budi, dan Carlie cukup beralasan. Adakalanya melepaskan adalah jawaban yang paling tepat. Ia mencintai gadisnya, sangat, melebihi apapun. Tapi mencintainya tidak pernah mudah, tidak pernah tanpa menciptakan bulir di pelupuk sang dara. Dan ia tidak pernah ingin menjadi alasan di balik air mata.

Seseorang berkaus putih menyundulkan bola tepat ke gawang! Seketika ia membuat tanda kemenangan lantas mencium cincin kawin pada jari manisnya. Sorak sorai kemudian membahana mengiringi prosesi kemenangan. Kebekuan tercairkan sudah.

Sontak, dari kolong dipan, seekor cicak berjalan keluar dengan perut yang membuncit. Ada sesuatu yang bisa mengganjal perutnya seharian ini. Konfrontasi usai. Memang harus ada yang menang dan kalah. Hukum alam.

Ia telah memutuskan. Anto, Budi, dan Carlie benar.

Senyum menyungging di sudut bibirnya, menemani lapisan kaca yang membentuk selaput pada biji matanya.



23 Juni 2012

corat-coret dini hari pada pertandingan perempat final Euro 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun