Lapangan hijau semakin riuh.
Ada gemerisik gaduh di kolong dipan.
Tidak ada yang mau mengalah karena kemenangan adalah absolut.
Orang bilang merajuk adalah bumbu dan cemburu serupa hati merah jambu. Awalnya memang seperti itu. Tapi kini semuanya bagai sembilu. Ini bukan kali pertama gadisnya menjadi belenggu.
Bukan salah wanita jika mereka begitu perasa. Tapi ada beberapa dari mereka yang hatinya lebih rapuh daripada kaca. Dan itu menyebalkan, pikirnya. Ia lebih suka ditantang satu lawan satu ketimbang menghadapi batu. Mereka memang tak memiliki daya sekuat Samson, tapi mereka bisa menyakiti lebih daripada amukan bison.
Wanita itu selalu mampu membuatnya didera rasa bersalah. Seketika menjadi pendosa yang selalu mematahkan hati hawa. Mungkin Anto, Budi, dan Carlie cukup beralasan. Adakalanya melepaskan adalah jawaban yang paling tepat. Ia mencintai gadisnya, sangat, melebihi apapun. Tapi mencintainya tidak pernah mudah, tidak pernah tanpa menciptakan bulir di pelupuk sang dara. Dan ia tidak pernah ingin menjadi alasan di balik air mata.
Seseorang berkaus putih menyundulkan bola tepat ke gawang! Seketika ia membuat tanda kemenangan lantas mencium cincin kawin pada jari manisnya. Sorak sorai kemudian membahana mengiringi prosesi kemenangan. Kebekuan tercairkan sudah.
Sontak, dari kolong dipan, seekor cicak berjalan keluar dengan perut yang membuncit. Ada sesuatu yang bisa mengganjal perutnya seharian ini. Konfrontasi usai. Memang harus ada yang menang dan kalah. Hukum alam.
Ia telah memutuskan. Anto, Budi, dan Carlie benar.
Senyum menyungging di sudut bibirnya, menemani lapisan kaca yang membentuk selaput pada biji matanya.