Hujan dan pekatnya malam berkonspirasi meretaskan rindu yang tak kunjung melayu
Mengoyak cerita yang pernah kita renda berdua, dengan sebuah prolog sederhana
Bukan dengan puisi
Aku tahu, bahkan kau pun tak mampu memilah diksi
Kau hanya melarik sebait janji yang katanya akan kau genapi
Bulan sembilan, kau datang bersama bunga yang katamu tak akan mati. Katamu aku adalah pelangi, pewarna merah hati. Pada rumpun bunga abadi, kau menyisipkan secarik asa. Aku boleh membukanya ketika kita tiba di penanjakan. Kita akan menitinya bersama, katamu dengan binar di sudut mata.
Bertahun berlalu
Semua masih begitu lekat
Seperti sembilu yang menelusuk terlampau lamat
Mungkin terlalu banyak cerita untuk kita bagi berdua, tapi kita terlalu lelah untuk melumatnya. Pada suatu senja, kita terduduk bisu. Aku mencuri lihat dalam remang. Di pelupukmu tak ada lagi pelangi. Pelangi sudah mati, mungkin sejak tempo hari. Samar, aku melihat siluet mentari jingga pada kedua  manik matamu.
Mereka bilang aku sesat akal
Menyimpan cerita yang berakhir tanpa pernah terselesaikan
Menggenggam bongkahan ingatan yang bahkan tak lagi kau indahkan
Mengenang perpisahan yang tak sempat terkatakan
Bulan sebelas. Aku menandai almanak. Hari yang sama, angka yang sama. Bukan sekedar kebetulan, aku rasa. Rumpun bunga abadi dan sebilah janji di bulan kesembilan masih menari-nari.
Tidak banyak yang tahu
Aku hidup berkalang rindu
Hari itu pelangi seutuhnya pudar. Kau tidak mengizinkan bening hujan merintik supaya pelangi tak lagi terbit. Kau hanya ingin matahari. Katamu kau tak lagi perlu pulasan warna-warni. Kau hanya ingin semburat jingga, hanya ingin matahari senja.
Waktuku masih terhenti di sini, merekam setiap memorabilia rasa
Jika di sana engkau jenuh, berlarilah padaku
Di sini ada begitu banyak cadangan rindu, yang bisa aku titipkan untuk sementara waktu
Salemba, 11.11.12
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H