Mohon tunggu...
Cinthya Yuanita
Cinthya Yuanita Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

bermain dengan aksara, merenda kata, menciptakan makna.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Risalah Sembilan Sebelas

14 November 2012   21:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:21 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Hujan dan pekatnya malam berkonspirasi meretaskan rindu yang tak kunjung melayu

Mengoyak cerita yang pernah kita renda berdua, dengan sebuah prolog sederhana

Bukan dengan puisi

Aku tahu, bahkan kau pun tak mampu memilah diksi

Kau hanya melarik sebait janji yang katanya akan kau genapi

Bulan sembilan, kau datang bersama bunga yang katamu tak akan mati. Katamu aku adalah pelangi, pewarna merah hati. Pada rumpun bunga abadi, kau menyisipkan secarik asa. Aku boleh membukanya ketika kita tiba di penanjakan. Kita akan menitinya bersama, katamu dengan binar di sudut mata.

Bertahun berlalu

Semua masih begitu lekat

Seperti sembilu yang menelusuk terlampau lamat

Mungkin terlalu banyak cerita untuk kita bagi berdua, tapi kita terlalu lelah untuk melumatnya. Pada suatu senja, kita terduduk bisu. Aku mencuri lihat dalam remang. Di pelupukmu tak ada lagi pelangi. Pelangi sudah mati, mungkin sejak tempo hari. Samar, aku melihat siluet mentari jingga pada kedua  manik matamu.

Mereka bilang aku sesat akal

Menyimpan cerita yang berakhir tanpa pernah terselesaikan

Menggenggam bongkahan ingatan yang bahkan tak lagi kau indahkan

Mengenang perpisahan yang tak sempat terkatakan

Bulan sebelas. Aku menandai almanak. Hari yang sama, angka yang sama. Bukan sekedar kebetulan, aku rasa. Rumpun bunga abadi dan sebilah janji di bulan kesembilan masih menari-nari.

Tidak banyak yang tahu

Aku hidup berkalang rindu

Hari itu pelangi seutuhnya pudar. Kau tidak mengizinkan bening hujan merintik supaya pelangi tak lagi terbit. Kau hanya ingin matahari. Katamu kau tak lagi perlu pulasan warna-warni. Kau hanya ingin semburat jingga, hanya ingin matahari senja.

Waktuku masih terhenti di sini, merekam setiap memorabilia rasa

Jika di sana engkau jenuh, berlarilah padaku

Di sini ada begitu banyak cadangan rindu, yang bisa aku titipkan untuk sementara waktu

Salemba, 11.11.12

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun