Dokter umum adalah lini terdepan dalam pelayanan kesehatan masyarakat!
Hari ini boleh jadi adalah hari yang inspirasional bagi saya. Semua bermula dari sebuah diskusi bersama seorang konsulen kebidanan dan kandungan dari subspesialisasi onkologi (ilmu yang secara khusus mempelajari penyakit kanker). Awalnya saya agak mengganggap remeh diskusi ini karena topiknya yang sangat absurd: terapi paliatif.
Terapi paliatif adalah serangkaian tatalaksana yang diberikan kepada pasien-pasien terminal dalam rangka meningkatkan kualitas hidupnya. Yang dimaksud dengan pasien terminal dalam hal ini adalah pasien-pasien yang sudah tidak bisa diselamatkan lagi, pasien-pasien yang tidak ada harapan untuk sembuh. Dengan kata lain, pasien-pasien yang dihadapkan pada pilihan mutlak berupa sakaratul maut. Meskipun pasien seperti itu sudah tidak lagi memiliki harapan, mereka tetap berhak akan kehidupan. Departemen Kesehatan pun melansir pernyataan yang mendukung terapi paliatif bagi pasien-pasien end stage.
Menjadi hak semua pasien untuk mendapatkan perawatan yang terbaik sampai akhir hayatnya. Penderita kanker yang dalam stadium lanjut atau tidak berangsur-angsur sembuh perlu mendapatkan pelayanan kesehatan sehingga penderitaannya dapat dikurangi. Pelayanan yang diberikan harus dapat meningkatkan kualitas hidup yang optimal sehingga penderita dapat meninggal dengan tenang dan dalam iman
Target yang ditujukan bagi pasien terminal memang bukan lagi berupa perbaikan taraf kesehatan, melainkan peningkatan kualitas hidup. Tindakan-tindakan yang dapat diberikan seorang dokter tidak hanya terpaku pada tatalaksana secara fisik. Lebih dari itu, seorang dokter harus mampu memberikan terapi paliatif secara komprehensif, yakni mencakup aspek emosional, sosial, dan spiritual.
Saya tidak akan berbicara banyak mengenai topik utama tugas diskusi tadi karena saya juga tidak menguasai materi tersebut. Bagaimana mau menguasai kalau mengerjakannya saja setengah-setengah. Ya, di awal saya menerima tugas ini, saya sudah pasang sikap skeptis. Aduh, peer banget deh ya ini diskusi. Udah temanya absurd, bahannya susah dicari pula. Lagian ini seharusnya nggak ada di jadwal, loh! Lagian ngapain sih belajar beginian, kita kan lagi fokus belajar soal ibu hamil dan teman-temannya. Seperti biasa, saya yang hobi mengeluh ini langsung nyerocos seribu argumen dalam hati.
Dengan ke-setengah-hati-an tersebut, saya pun melakukan presentasi di depan dokter itu dan teman-teman sekelompok. Semua berjalan biasa saja hingga tiba saatnya umpan balik dari narasumber. Saya agak terkejut ketika mendengar kalimat pertama yang meluncur dari mulut sang konsulen.
"Buat apa nih kalian belajar ini? Nggak ada kan di kurikulum? Nggak ada kan di target belajar kalian di stase ini?"
Saya dan teman-teman langsung pasang tampang bingung. Lah, dok, kita mah ngerjain apa yang disuruh aja (contoh koas yang berpikiran sempit).
Sesaat kemudian konsulen tersebut mulai menggali lebih jauh mengenai definisi dan peran seorang dokter umum menurut pandangan kami masing-masing. Tidak dipungkiri, di dalam otak dokter-dokter muda yang naif seperti kami (atau saya saja?), definisi dokter ya profesi yang menyembuhkan pasien. Memang kompetensi kami masih terbatas pada patofisiologi dasar yang belum terarah ke bidang spesialistik. Tapi inti dari menjadi dokter ya to cure sometimes.
Pendapat-pendapat naif tersebut langsung disanggah secara tidak langsung oleh konsulen itu. Ia kembali mengajak kami merenungi posisi kami sebenarnya.
Dokter umum akan selalu berada di garda terdepan pelayanan kesehatan, kapanpun dan dimanapun. Tanpa bisa ditawar, itu adalah hal mutlak yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab seorang dokter umum. Kami semua tahu itu. Tapi, yang masih belum kami mengerti adalah tugas "sang pionir layanan kesehatan". Acapkali kami terpaku pada paradigma kaku yang menuntut seorang dokter harus pintar, hapal mati semua isi buku ajar, piawai menatalaksana sesuai guidelines, dan sebagainya.Pihak fakultas selaku penyelenggara program pendidikan sekaligus pencetak calon dokter pun mendoktrinkan hal yang sama. Praktis, mindset kami terlanjur mengacu pada anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, dan tatalaksana.
Nyatanya, menjadi garda terdepan bukan soal ketepatan mendiagnosis atau akurasi dalam memberikan obat. Berada di garda terdepan bukan berarti menjadi "penyembuh", melainkan "promotor". Iya, dokter umum yang baik bukan dokter yang senang kalau punya banyak pasien dan bisa menimbun pundi-pundinya dari penyakit pasien. Dokter umum, dan juga dokter spesialis, yang baik adalah mereka yang sedih kalau tempat praktiknya ramai. Hal-hal seperti itulah yang seharusnya diubah.
Tempat bagi dokter umum adalah pusat layanan primer seperti puskesmas, bukan klinik mewah apalagi rumah sakit internasional. Dan di tempat itu, tanggung jawab yang diemban bukanlah perihal mengobati (saja). Tugas dokter umum sesungguhnya adalah "mencegah sebelum mengobati". Bagaimana caranya?
Konsulen brilian itu kemudian mengutarakan sebuah konsep prevensi yang seketika membuka mata saya. Sekali lagi, dokter tidak hanya fokus pada penyakit. Lebih dari itu dia harus menaruh perhatian ekstra tinggi terhadap ilmu epidemiologi dan demografi. Dalam hal ini, seorang dokter harus menguasai seluk beluk daerah tempat ia mengabdi. Mulai dari kondisi geografis, lingkungan, hingga sosial ekonomi masyarakat setempat. Apa gunanya? Dengan begitu, ia akan mampu membuat daerah tersebut sehat. Ia akan mampu menemukan akar masalah yang sebenarnya harus diperbaiki, tidak melulu terpaku soal eradikasi penyakit dengan farmakologi.
Dokter umum yang baik harus bisa mengubah cara hidup masyarakat ke arah hidup sehat. Dokter yang baik harus bisa menelaah masalah utama dalam satu daerah kemudian mengatasinya secara komprehensif. Pada kasus Tuberkulosis (TBC) misalnya, akan menjadi sebuah kesia-siaan jika dokter memberikan Obat Anti-Tuberkulosis (OAT) tanpa mau tahu kondisi yang melatarbelakangi epidemi tersebut. Seyogyanya, ia bukan hanya memberikan obat, tapi juga memperhatikan bagaimana kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar. Jangan-jangan rumah mereka bersesakan tanpa sirkulasi yang baik, jangan-jangan gizi mereka tidak terpenuhi secara optimal. Kalau seperti itu, OAT yang diberikan tentu tidak akan memberikan efek yang seharusnya. Dokter harus bisa mengenali dan mengatasi faktor risiko. Ia pun harus mampu menjadi pihak yang berpengaruh. Dalam kasus tersebut, seorang dokter dapat mengajukan lobby kepada pihak-pihak terkait demi perbaikan kesehatan di daerahnya. Agak merepotkan memang. Tapi nyatanya, peran dokter umum memang sebesar itu, seribet itu!
Melihat paparan di atas, jelas sekali peran dokter umum sangatlah dominan dalam menciptakan sebuah negara yang sehat. Sayangnya, paradigma ini seolah luput dari kurikulum kedokteran saat ini. Hampir semua konten pendidikan berfokus pada materi kedokteran ketimbang program komprehensif seperti ini. Akhirnya saya pun mengerti mengapa topik diskusi yang absurd itu tiba-tiba muncul di dalam jadwal kepaniteraan. Setelah satu jam berada di ruang diskusi itu, saya pun keluar dengan pemahaman yang  berbeda mengenai profesi ini.
Mengubah mindset memang tidak mudah. Tapi, kalau tidak pernah dicoba tentu tidak akan pernah bisa. Semoga suatu hari nanti program prevensi dan promosi kesehatan benar-benar digalakkan alih-alih terus fokus kepada persoalan kuratif semata. Semoga Indonesia Sehat bukan lagi menjadi visi atau angan-angan belaka. Dan, semoga generasi kami bisa menjadi pionir yang melebur paradigma yang terlanjur mengakar itu. Semoga kami menjadi dokter yang sedih ketika banyak manusia jatuh sakit dan bahagia ketika setiap individu mencapai taraf kesehatan paripurna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H