Biografi Muhammad Yusuf Al Makassari
Muhammad Yusuf Al Makassari, yang juga dikenal sebagai Syekh Yusuf, adalah salah satu tokoh besar dalam sejarah Islam di Nusantara. Lahir pada tahun 1626 di Gowa, Sulawesi Selatan, ia berasal dari keluarga bangsawan yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam. Nama lengkapnya adalah Muhammad Yusuf bin Abdullah Abul Mahasin Al-Taj Al-Khalwati Al-Makassari. Sejak kecil, Syekh Yusuf menunjukkan ketertarikan yang mendalam terhadap ilmu agama dan spiritualitas, yang akhirnya menjadikannya salah satu ulama terkemuka pada masanya.
Pendidikan dan Perjalanan ke Banten
Syekh Yusuf memulai pendidikannya di lingkungan istana Kesultanan Gowa. Pada usia muda, ia telah menguasai dasar-dasar ilmu agama, termasuk Al-Qur'an, hadis, fikih, dan tasawuf. Ketika berusia 18 tahun, ia memutuskan meninggalkan Gowa untuk melanjutkan pendidikan di Banten, yang pada abad ke-17 menjadi pusat keilmuan Islam yang maju.
Di Banten, Syekh Yusuf belajar kepada para ulama terkemuka dan mendalami berbagai cabang ilmu agama. Salah satu pengaruh besar dalam kehidupannya adalah ajaran tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah. Di sana, ia juga menjalin hubungan dengan Sultan Ageng Tirtayasa, yang kemudian menjadi salah satu pendukung utamanya. Hubungan ini tidak hanya didasarkan pada keilmuan, tetapi juga pada perjuangan melawan penjajahan Belanda yang mulai memperluas kekuasaannya di Nusantara.
Perjalanan ke Arabia dan Studi Neo-Sufisme
Pada tahun 1644, Syekh Yusuf melanjutkan perjalanannya ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji dan memperdalam ilmu agama di Makkah serta Madinah. Di sana, ia belajar kepada sejumlah ulama besar yang ahli dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk tasawuf. Salah satu gurunya yang paling berpengaruh adalah Syekh Ibrahim al-Kurani, ulama terkemuka dari tarekat Khalwatiyah.
Syekh Yusuf kemudian menjadi salah satu murid unggulan dalam tarekat Khalwatiyah, yang menekankan keseimbangan antara kehidupan spiritual dan tanggung jawab sosial. Neo-sufisme yang dikembangkan oleh Syekh Yusuf merupakan pembaruan ajaran tasawuf tradisional, yang tidak hanya menekankan aspek spiritual, tetapi juga perjuangan aktif melawan ketidakadilan dan penindasan. Pandangan ini menjadi dasar perjuangannya di masa depan.
Kembali ke Nusantara dan Perlawanan di Banten
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Arabia, Syekh Yusuf kembali ke Nusantara pada tahun 1670. Ia menetap di Banten dan menjadi salah satu ulama terkemuka di istana Sultan Ageng Tirtayasa. Dalam perannya sebagai ulama, Syekh Yusuf tidak hanya berdakwah, tetapi juga memberikan nasihat spiritual kepada Sultan dan masyarakat Banten.
Namun, perjuangan Banten melawan kolonialisme Belanda semakin memanas. Syekh Yusuf turut berperan aktif dalam perjuangan ini dengan memberikan semangat dan motivasi kepada pasukan Banten melalui ajaran-ajaran spiritualnya. Keteguhan Syekh Yusuf melawan penjajahan membuat Belanda menganggapnya sebagai ancaman besar. Pada tahun 1683, setelah Banten berhasil ditaklukkan oleh Belanda, Syekh Yusuf ditangkap dan diasingkan ke Ceylon (kini Sri Lanka).
Pengasingan di Ceylon dan Afrika Selatan
Di tempat pengasingannya, Syekh Yusuf tetap aktif berdakwah. Di Ceylon, ia membangun hubungan dengan komunitas Muslim setempat, menyebarkan ajaran tasawuf, dan menjadi figur sentral dalam komunitas tersebut. Selama berada di sana, ia melahirkan banyak murid yang kemudian meneruskan ajarannya.
Pada tahun 1694, Belanda memindahkan Syekh Yusuf ke Cape Town, Afrika Selatan. Di tempat ini, ia kembali menjadi tokoh penting bagi komunitas Muslim setempat. Pengaruhnya begitu besar sehingga ia dianggap sebagai salah satu pendiri Islam di Afrika Selatan. Syekh Yusuf mendirikan komunitas Muslim yang hingga kini tetap menjaga ajaran-ajarannya. Di Cape Town pula, Syekh Yusuf menulis sejumlah karya tasawuf yang menjadi warisan penting bagi dunia Islam.
Ajaran Neo-Sufisme Syekh Yusuf
Neo-sufisme yang diajarkan oleh Syekh Yusuf berfokus pada integrasi antara spiritualitas dan tanggung jawab sosial. Menurutnya, tasawuf bukan hanya tentang pencapaian spiritual individu, tetapi juga mencakup tanggung jawab sosial dalam menciptakan masyarakat yang adil dan bermoral. Dalam konteks kolonialisme, ajaran ini menjadi inspirasi perjuangan melawan penindasan.
Syekh Yusuf menekankan pentingnya dzikir sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah, tetapi juga mendorong murid-muridnya untuk berkontribusi aktif dalam kehidupan bermasyarakat. Ajarannya yang menyatukan dimensi esoteris dan eksoteris Islam membuatnya tetap relevan dalam berbagai konteks sosial dan politik.
Akhir Hayat dan Warisan
Syekh Yusuf wafat di Cape Town pada tahun 1699. Namun, pengaruhnya terus hidup melalui karya-karyanya, murid-muridnya, dan komunitas Muslim yang ia dirikan. Pada tahun 1705, atas permintaan Kesultanan Gowa, jenazahnya dipindahkan ke Gowa dan dimakamkan di sana.
Warisan Syekh Yusuf tidak hanya terasa di Nusantara, tetapi juga di Sri Lanka dan Afrika Selatan. Ajaran-ajarannya terus dipelajari dan menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya. Sebagai tokoh neo-sufisme, Syekh Yusuf mengajarkan bahwa Islam adalah agama yang menyeimbangkan spiritualitas dan tanggung jawab sosial, sebuah pelajaran yang tetap relevan hingga kini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H