Mohon tunggu...
Zikril Hidayat
Zikril Hidayat Mohon Tunggu... Peternak - @zikrilchaniago

Bekerja sebagai Peneliti di BPTP Kepulauan Bangka Belitung, Mahasiswa Sekolah Pascasarjana Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan IPB

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Optimalkan Pemanfaatan Lahan Sawit melalui Pembiakan Sapi Potong

29 September 2021   22:20 Diperbarui: 30 September 2021   01:06 561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia masih menduduki peringkat teratas produsen minyak kelapa sawit di dunia dengan produksi tahun 2019 mencapai 43 juta ton, serta luas lahan kelapa sawit 16,4 juta hektare dengan status kepemilikan 41% perkebunan rakyat, 53% perusaharaan swasta, dan 6% perusahaan pemerintah. 

Diprediksi ke depan luasan kelapa sawit akan terus meningkat sebagai dampak dari membaiknya harga TBS beberapa bulan terakhir ini.

Disamping menghasilkan TBS, kebun kelapa sawit dapat dioptimalkan pemanfaatannya dalam usaha pembiakan sapi potong, sehingga keuntungan yang dihasilkan berlipat ganda. 

Perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu agroekosistem sangat potensial mendukung usaha sapi potong. 

Kebun kelapa sawit memiliki potensi biomassa yang melimpah sebagai sumber pakan ternak antara lain pelepah sawit, bungkil inti sawit, lumpur sawit, tandan kosong, serta hijauan dibawah tanaman kelapa sawit.

Peternakan sapi potong memiliki peran penting dalam penyediaan protein hewani masyarakat dan sumber pupuk organik. Disamping itu juga diharapkan menjadi lapangan kerja, peningkatan kesejahteraan petani, serta mendorong pembangunan perekonomian suatu daerah. 

Kebutuhan daging sapi nasional selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Kebutuhan daging sapi di dalam negeri hanya sekitar 60,9% yang dapat dipenuhi oleh produksi sapi lokal, sisanya dipenuhi oleh sapi bakalan impor, dan daging sapi impor.

Tantangan utama dalam usaha sapi potong adalah pakan. Pakan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam usaha peternakan sapi potong karena produktivitas ternak sebagian besar ditentukan oleh kualitas dan kuantitas pakan yang dikonsumsi. 

Penyediaan hijauan pakan ternak sering terkendala dengan produktivitasnya yang rendah, tidak kontinyu, memakan banyak waktu dan biaya dalam pemeliharaan hijauan, nilai ekonomisnya rendah, serta tidak tersedianya lahan untuk menanam karena kompetisi penggunaan lahan dengan komoditas lain yang lebih strategis. 

Sementara penyediaan pakan konsentrat terkendala dengan harga yang tinggi sehingga tidak terjangkau oleh peternak yang sebagian besar adalah peternak rakyat.

Oleh sebab itu, pengembangan teknologi produksi diarahkan pada peningkatan efisiensi sistem usaha tani. 

Sistem usaha tani yang dimaksud adalah sistem pertanian terintegrasi berkelanjutan, dimana peran pertanian tidak hanya sebagai penghasil utama bahan pangan, tetapi juga menjadi penghasil bahan baku pakan, pupuk, serat, energi, biofarmaka, dan bioproduk lainnya yang mengarah kepada sistem pertanian zero waste dengan prinsip reduce, reuse, dan recycle. Subsektor perkebunan, terutama kelapa sawit dianggap paling strategis disinergikan dengan subsektor peternakan tersebut.

Pola Pemeliharaan

Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam pembiakan sapi potong pada sistem integrasi sawit sapi adalah pola pemeliharaan, apakah intensif, ekstensif atau semi intensif. 

Pemilihan pola pemeliharaan disarankan memperhatikan kondisi dan luasan lahan kelapa sawit yang tersedia, serta jumlah sapi yang akan dipelihara, oleh karena pola pemeliharaan ini erat kaitannya dengan ketersediaan pakan, modal, dan tenaga kerja. Pola pemeliharaan juga bisa mempengaruhi tingkat keuntungan yang akan diperoleh.

Pola pemeliharaan ekstensif dianjurkan pada kebun kelapa sawit yang luas, perusahaan, atau usaha mandiri yang luas. 

Pemeliharaan ekstensif biasanya pakan hanya bergantung pada rumput liar di antara pohon kelapa sawit. Produksi bahan kering hijauan berkisar 3,5-4,5 ton/ha/tahun, dapat menampung sekitar 1-2 Satuan Ternak (ST) per tahun. 

Dimana 1 ST setara dengan satu ekor sapi jantan dewasa. Kapasitas tampung juga dipengaruhi oleh umur tanaman kelapa sawit, semakin tua umur tanaman intensitas cahaya semakin berkurang, produksi hijauan semakin rendah. 

Kapasitas tampung dapat ditingkatkan dengan penanaman hijauan/ legum yang tahan naungan dan produksi tinggi. Contohnya tanaman Pueraria javanica, dan Stenotaphrum secundatum.

Kelebihan pemeliharaan ekstensif, dapat mengurangi biaya penyiangan gulma, biaya produksi lebih rendah, tenaga kerja yang diperlukan sedikit, dan tidak perlu sibuk deteksi berahi pada ternak. 

Kelemahan pemeliharaan ekstensif adalah hijauan pada lahan kelapa sawit cenderung memiliki kadar mineral yang rendah terutama Kalsium (Ca). Oleh sebab itu diperlukan suplementasi mineral Ca. 

Disamping itu juga dikawatirkan terjadi inbreeding (perkawinan sedarah). Mengatasi inbreeding perlu dilakukan pergantian pejantan secara periodik. Ratio jantan-betina juga perlu diperhatikan. Dianjurkan ratio jantan-betina maksimal 1:25 ekor.

Salah satu kendala dalam pola pemeliharaan ekstensif adalah adanya kekawatiran penyebaran jamur Ganoderma dan pemadatan tanah. 

Hal ini tidak terbukti berdasarkan beberapa hasil penelitian bahwa kotoran sapi dari sistem integrasi sawit sapi dengan sistem penggembalaan/ ekstensif, dapat memperbaiki struktur tanah dan meningkatkan bahan organik tanah, meningkatkan ketersediaan nutrien serta meningkatkan kapasitas menahan air. 

Penelitian yang lain menyebutkan kotoran sapi di lahan sawit akan menjaga ekosistem tanah dan meningkatkan kesuburan. 

Sedangkan pemadatan tanah terbukti terjadi pada permukaan tanah, namun tidak berdampak negatif terhadap produksi tanaman kelapa sawit. Terjadinya pemadatan tanah permukaan disebabkan over grazing, jumlah sapi yang digembalakan melebihi  kapasitas hijauan yang tersedia. Hal ini bisa diatasi dengan rotasi grazing dan penyesuaian jumlah sapi.

Pada lahan sawit yang tidak terlalu luas, dianjurkan pola pemeliharaan intensif. Sumber pakan bisa berupa campuran silase pelepah kelapa sawit, bungkil inti sawit, lumpur sawit (solid), dan tambahan lain. 

Pemberian pelepah sawit disarankan tidak lebih dari 60% dalam komposisi pakan, disebabkan pelepah sawit mengandung fraksi serat (ADF, NDF, lignin) yang tinggi. 

Fraksi serat yang tinggi mengakibatkan kecernaan pakan rendah. 

Penggunaan pelepah sawit >60% disarankan ada perlakuan sebelum diberikan pada ternak. Perlakuan bisa berupa fermentasi atau amoniasi. Kandungan protein ransum diharapkan >10%.

Keuntungan pemeliharaan secara intensif, kotoran ternak (feses dan urine) yang terkumpul dapat diolah dan menjadi sumber pendapatan. Seekor sapi dewasa menghasilkan 3-4 kg/hari feses kering dan 8-10 liter urine. 

Disamping itu penggunaan pakan pelepah sawit dapat menampung jumlah sapi lebih banyak, berkisar 2,7-3 ST per tahun, sapi lebih mudah dikontrol kesehatan dan perkawinannya. Kelemahan pola intensif adalah biaya produksi lebih tinggi untuk tenaga kerja, pakan, dan alsin.

Disamping pola ekstensif dan intensif, terdapat pola kombinasi keduanya atau disebut juga semi intensif. 

Kapasitas tampung sapi potong lebih banyak karena sumber pakan terdiri dari gabungan sumber pakan intensif dan ekstensif. 

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa produktivitas sapi potong yang dihasilkan lebih tinggi pada pola ini.

Pemilihan bangsa sapi potong

Untuk wilayah Indonesia disarankan pemilihan bangsa sapi lokal yang sudah terbukti mampu beradaptasi dengan iklim tropis, sapi Bali, PO atau sapi lokal lain, bukan berarti penggunaan bangsa lain tidak dibolehkan. 

Penggunaan bangsa sapi eksotik sebaiknya bagi perusahaan perkebunan, atau peternak rakyat yang sudah cukup pengalaman beternak. 

Sapi Bali adalah sapi asli Indonesia yang saat ini telah menyebar ke seluruh penjuru tanah air. 

Sapi Bali memiliki suatu strategi bertahan hidup sesuai dengan kondisi agro-ekologi dan diduga memiliki sifat elastisitas fenotipik dalam bentuk mampu menyesuaikan ukuran dan bentuk badan serta mempertahankan daya reproduksi yang tinggi.

Sapi-sapi lokal mempunyai tingkat kesuburan yang baik, mampu menghasilkan anak 1 ekor per tahun. 

Sapi betina dapat dipelihara hingga umur 11-13 tahun, dan menghasilkan anak 8-10 ekor selama hidupnya. Namun kelemahan sapi lokal pertumbuhannya lambat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun