Mohon tunggu...
Cinta christyani
Cinta christyani Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Hallooo Semua

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Kebaya Tidak Sebatas Pakaian Tradisional!

6 Maret 2022   18:41 Diperbarui: 6 Maret 2022   18:48 2593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kebaya perempuan Belanda, diakses dari https://inspirasipagi.id/

Indonesia tidak bisa lepas dengan keberagaman budaya di dalamnya. Kleden (2006) menyatakan bahwa antara kebudayaan dan kehidupan tidak dapat dipisahkan ( Arybowo, 2010, p. 210). 

Oleh karena itu, budaya dapat mengalami konstruksi dan reproduksi di berbagai bagian budaya yang didasari oleh usaha untuk menghadirkan budaya masa lalu ke kehidupan saat ini ( Arybowo, 2010, p. 210). 

Seperti yang kita tahu bahwa keberagaman budaya di Indonesia mencakup banyak hal seperti, ritual agama, alat musik, tarian, makanan, hingga pakaian tradisional. Pakaian tradisional sendiri memiliki berbagai macam jenis yang sesuai dengan wilayah daerahnya. 

Salah satu pakaian tradisional yang dijadikan sebagai pakaian nasional adalah kebaya yang berasal dari Jawa dan Bali. Walaupun tidak digunakan setiap saat seperti jaman dahulu, tetapi sampai saat ini kebaya masih kerap digunakan oleh umat hindu untuk melakukan persembahyangan ke Pura atau digunakan untuk acara lainnya. Berkembangnya zaman modern saat ini, membuat kebaya tidak lagi dibuat dengan model yang sederhana. 

Banyak variasi dan modernisasi bentuk, warna, hiasan yang membuatnya lebih bermacam-macam. Lalu, apakah keberagaman model kebaya saat ini dapat menjaga eksistensinya di masyarakat? dan Apakah pemaknaan kebaya sejak jaman dahulu masih ada?

Tidak hanya diketahui oleh masyarakat Indonesia, keunikan kebaya nyatanya juga dilirik oleh beberapa indonesianis. Victoria Cattoni seorang sarjana seni rupa dari Universitas Charles Darwin ini menjadi salah satu orang yang tertarik untuk membahas kebaya, dengan judul penelitian " Through the Kebaya: A Cross-cultural project Indonesia- Australia" pada Juli 2004. 

Dalam tesisnya tersebut, beliau menjelaskan bahwa ia menggunakan kebaya atau blus tradisional untuk kaum perempuan di Indonesia sebagai alat untuk mengeksplorasi bentuk identitas budaya (Cattoni, 2004). Riset tersebut juga tidak hanya membahas bagaimana kebaya menjadi identitas budaya, tetapi juga melihat kaitannya akan aspek feminisme.

Diakses dari https://www.goodnewsfromindonesia.id/
Diakses dari https://www.goodnewsfromindonesia.id/
Kebaya yang dijadikan sebagai kostum nasional di era Soekarno tahun 1940-an ini, dilihat sebagai lambang nilai tradisional dan peran perempuan. Cattoni menjelaskan bahwa kebaya melambangkan emansipasi wanita di Indonesia yang diawali oleh sosok Raden Ajeng Kartini. 

Hal ini dibuktikan dengan adanya perayaan tahunan untuk memperingati Hari Kartini, sehingga banyak siswi di Indonesia yang menggunakan kebaya sebagai lambang kemajuan dan tradisi yang sudah ada (Cattoni, 2004). 

Hasil studi ini menunjukkan bahwa kebaya memiliki perbedaan dari waktu ke waktu. Dimulai pada akhir abad ke-19, kebaya berbentuk kemeja panjang, bagian depan terbuka, diikat dengan bros, dan dikenakan diatas kemben. Saat ini, kebaya akan semakin memendek, dibuat dari model kain dan gaya yang semakin modern ( Cattoni,2004). 

Cattoni juga melihat  makna kebaya turut dirasakanoleh orang luar (Australia) dan menjadikan kebaya sebagai artefak budaya yang hidup dan berkembang hingga saat ini.

Indonesianis lainnya yaitu Nordholt (2008) menyatakan bahwa pakaian menjadi representasi sosial dan kebudayaan, dimana hal tersebut dapat mengekspresikan suatu identitas seseorang (Trismaya, 2018). 

Beliau juga melihat pakaian sebagai asal-usul seorang perempuan, terutama bagi perempuan Jawa untuk melihat perbedaan kelas dan status. Perbedaan kelas tersebut dapat dilihat dari bahan kebaya dan kain bawahan, dimana ada kelas rakyat dan priyayi. 

Tidak sampai pada kelas di masyarakat pribumi, antara perempuan Belanda dan pribumi juga memiliki perbedaan baik dari model dan warna. Belanda berwarna putih dan berenda, dengan kain motif batik yang dipengaruhi budaya Eropa, sedangkan kebaya perempuan pribumi berwarna-warni, tidak berenda, dan kain batik tradisional. Nordholt berpendapat bahwa kebaya menjadi media perlawanan wanita terhadap simbol kolonial dan pascakolonial bagi bangsa Indonesia.

Ilustrasi Kebaya perempuan Belanda, diakses dari https://inspirasipagi.id/
Ilustrasi Kebaya perempuan Belanda, diakses dari https://inspirasipagi.id/
Setelah melihat sudut pandang dua indonesianis terkait "Kebaya" dan makna dibaliknya, perubahan model kebaya ternyata bukan faktor terbesar untuk mengurangi arti penting kebaya. Faktor yang paling berpengaruh yaitu bagaimana fungsi dan pemaknaan kebaya bagi setiap individu. Seharusnya, sebagai orang Indonesia kita patut berbangga memiliki baju tradisional yang turut bernilai dan bermakna bagi orang asing. 

Kebanggan itu tidak hanya cukup di status dan di mulut saja, tetapi bagaimana kita memaknai kebaya tidak lagi sekedar pakaian yang digunakan setahun sekali untuk memperingati Hari Kartini atau hari lainnya. Melainkan, kita perlu mengingat bahwa kebaya menjadi bentuk identitas diri kita sebagai perempuan yang sudah diperjuangkan oleh Raden Ajeng Kartini. 

Sudah sepatutnya kita memiliki tanggung jawab untuk menjadi wanita yang dapat maju dan berkembang. Selain itu, pandangan indonesianis terkait perbedaan kelas sosial yang ditentukan oleh kebaya faktanya sudah tidak relevan lagi saat ini karena kebaya tidak lagi menjadi pakaian utama masyarakat di Indonesia. 

Sehingga dapat disimpulkan bahwa eksistensi kebaya masih dapat dijaga hingga saat ini, tetapi penting untuk mengingat kembali makna dan nilai dibalik menggunakan kebaya

Referensi:

Arybowo, S. (2010). Kajian budaya dalam perspektif filosofi. Jurnal Masyarakat dan Budaya, 12 (02). Diakses dari https://kuliah.uajy.ac.id/pluginfile.php/498814/mod_resource/content/1/Arybowo%20-%20Kajian%20Budaya.pdf

Cattoni, V. Through the Kebaya: A Cross-cultural project Indonesia and Australia. Charles Darwin University (Australia) https://researchers.cdu.edu.au/files/26179766/Thesis_CDU_6443_Cattoni_V.pdf

Nordholt, H. S. (2005). Outward appeareances: trend, identitas, kepentingan. Yogyakarta: LkiS


Trismaya, N. (2018). Kebaya dan perempuan: sebuah narasi tentang identitas. Jurnal Senirupa Warna, 06(02). Diakses dari https://jsrw.ikj.ac.id/index.php/jurnal/article/view/95

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun