Mohon tunggu...
Cinta Annisa Salsabila
Cinta Annisa Salsabila Mohon Tunggu... Mahasiswa - manusia

Lagi Belajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Paraga

24 Desember 2021   21:47 Diperbarui: 24 Desember 2021   21:52 604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

OLAHRAGA TRADISIONAL "PARAGA" KHAS SULAWESI SELATAN    

Berbeda dengan permainan dan olahraga tradisional sepak takraw, paraga dimainkan tidak untuk dipertandingkan, melainkan sebagai atraksi unjuk kebolehan. 

Paraga juga dimainkan secara beregu dengan jumlah anggota minimal 6 (enam) orang. Selain memiliki kekayaan khazanah budaya, Indonesia menyimpan berbagai jenis olahraga rakyat yang telah mendunia. 

Tak hanya pencak silat, sepaktakraw atau sepakbola rotan juga telah digandrungi masyarakat dunia. Perlu diketahui, takraw pertama kali muncul di Makassar, Sulawesi Selatan.

Sejarah perkembangan permainan paraga pada masyarakat suku bugis makassar di Sulawesi Selatan dari zaman dahulu hingga sekarang mengalami beberapa pergeseran fungsi, bahkan dikalangan masyarakat Sulawesi Selatan sudah menganggap permainan ini sebagai olahraga tradisional dan merupakan warisan budaya yang harus dilestarikan. 

Menurut sejarah lontara, dahulu kala permainan ini dipertunjukan sebagai media pengisi acara untuk pelantikan raja (somba), dikerajaan Gowa (Sulsel) untuk menghibur para tamu kerajaan. Konon bola raga pertama yang dimainkan pada saat permainan ini ditemukan dan dipertunjukan oleh "To manurung" adalah bola raga yang diturunkan darikayangan, dan terbuat dari emas (raga bulaeng). 

Seiring perkembangan permainan ini dimasyarakat Sulawesi Selatan, berdasarkan cerita yang turun-temurun dimasyarakat Kaemba kabupaten Maros, bahwa di dusun Kaemba menemukan sebuah kampung paraga yaitu Ujung buloa dalah sebuah kampung yang pernah didatangkan seorang raja (karaeng) darikerajaan Gowa, yang menyebarkan agama islam dan memperkenalkan alat-alat musik tradisional gendang (ganrang) dan gong, yang membuat penampilan paraga lagi ditampilkan dengan gerakan-gerakan seperti biasa, namun kini diiringi dengan alat-alat musik tradisional. Maka sejak dipastikan paraga dijadikan sarana peneyebaran agama islam di Kaemba. 

Dahulu kala hanya orang-orang tertentu keluarga bangsawan kerajaan dikerajaan Gowa yang dapat memainkan permainan ini, namun seiring berjalannya permainan paragatelah yang populer dan dimainkan dikalangan masyarakat Sulawesi Selatan. Bahkan sering ditampilkan diacara adat pernikahan, dan dipertandingkan diacara festival budaya ditingkat provinsi dan ditingkat internasional yang kedudukanya sebagai olahraga tradisional.

Paraga juga dimainkan secara beregu dengan jumlah anggota minimal 6 (enam) orang. Dalam paraga, bola rotan dipantul-pantulkan tidak hanya menggunakan kaki, tapi juga kepala dan tangan. Keberadaan passapu, topi segitiga yang diberi lapisan kanji agar mampu menegak, sangat membantu para pemain paraga saat melakukan olah bola dengan kepala. 

Para pemain paraga juga kerap memanfaatkan sarung yang menjadi bagian dari kostum mereka untuk mengolah bola paraga. Posisi pemain dalam mengolah bola paraga pun beragam. 

Mulai dari berdiri, duduk, jongkok, hingga berbaring! Paraga pun dimainkan dalam berbagai formasi. Salah satunya, formasi menara yang terbentuk dari tumpukan para pemain yang berdiri di atas bahu pemain lainnya hingga berbentuk seperti menara. Bola paraga juga berbeda dengan bola rotan yang kerap digunakan untuk sepak takraw. Satu bola paraga utuh memiliki tiga lapis anyaman rotan. Satu lapis anyaman membutuhkan waktu pembuatan sekitar 45 menit. 

Jadi, dibutuhkan waktu sekitar 2 jam untuk menganyam satu bola paraga. Kebanyakan pemain paraga bisa membuat sendiri bola paraga. Jadi, jika ada bagian bola yang rusak, mereka bisa memperbaikinya. Usai dibuat, bola paraga pun memerlukan perlakuan khusus sebelum dimainkan. Konon, bola paraga diberi mantra khusus oleh guru atau pemain senior paraga, agar keselamatan dan kekompakan para pemain tetap terjaga saat memainkan paraga.

  • Dimensi Sosiologi dari Permainan PARAGA :
  • Dalam Masyarakat
    Meski sudah berusia ratusan tahun, semangat masyarakat setempat untuk melestarikan paraga masih dapat terlihat, dengan generasi tua dan muda yang bermain bersama. Paraga memang mengandung nilai-nilai tradisional Bugis dan Makassar yang telah ada sejak zaman kerajaan terdahulu. Meski dalam sejarahnya, paraga terus beralih fungsi, diawali dari kegiatan kerajaan yang berkembang menjadi permainan tradisional, kini paraga dirayakan sebagai salah satu atraksi yang turut mewarnai ragam budaya di Indonesia.
     
  • Dalam Ekonomi
    Bukan sekadar apresiasi, setiap festival seni budaya diharapkan memberikan keuntungan nyata bagi masyarakat di sekililingnya. Agar masyarakat ikut merasakan geliat aktivitas seni budaya itu sendiri. Setiap kegiatan seni dan budaya yang digelar oleh kabupaten kota di seluruh Jawa Timur, diharapkan memberikan tidak hanya apresiasi semata dari pengunjungnya tetapi juga memberikan keuntungan nyata dalam bentuk meningkatnya perekonomian masyarakat.

  • Pengembangan Wisata
    Dengan memperkenalkan budaya masyarakat Sulawesi selatan, khususnya masyarakat suku Bugis Makassar, bahwa di Sulawesi selatan terdapat warisan budaya yang dimaiankan turun-temurun oleh masyarakat Sulawesi selatan yang kini dijadikan sebagai permainan olahrga tradisional dan dipertunjukan untuk mengisi acara-acara kebudayaan, adat pernikahan, bahkan dipertandingkan di berbagai festival budaya di provinsi Sulawesi selatan  itu akan sangat menambah daya tarik para wisatawan serta menjadi pengembangan wisata.

  • Dalam Norma, Suku dan Ras
    Salah satu hal menarik dari paraga sebagai atraksi yang mengundang penonton terdapat di sejumlah formasi yang para pemain bentuk. Ada beberapa jenis formasi 'menara', di mana para pemain saling mengangkat atau (appanca) dalam bahasa setempat. Susunan formasi menara dapat terdiri dari 6 orang, dan orang yang berada di puncak formasilah yang mengendalikan bola raga dengan tangkasnya. Formasi menara ini dipercaya mencerminkan nilai gotong-royong dalam budaya Bugis -- Makassar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun