Pada Kamis, 10 Januari 2019 lalu, sejumlah pihak yang bernaung dalam Forum Induk Pengobat Tradisional Indonesia atau FIPTI mendatangi Gedung DPR RI untuk melakukan dengar pendapat dengan Komis IX. Kedatangan mereka bukannya tanpa alasan, mereka membawa keresahan. Keresahan akan nasib pengobatan tradisional/ alternatif yang dianggap 'musuh' oleh dunia medis, sehingga keberadaannya di batasi dengan aturan-aturan yang memberatkan.
Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang menjaga kerarifan lokal dengan melestarikan metode pengobatan alternatif, FIPTI merasa pemerintah telah melakukan tindakan kesewenangan melalui PP 103 tahun 2014. Pengobatan alternatif merupakan bagian dari kearifan lokal dan warisan budaya tradisional yang diwariskan secara turun temurun.Â
Namun dengan aturan-aturan super ketat yang termahtub di dalam PP 103, merupakan bentuk pembelengguan terhadap para pelaku pengobatan alternatif untuk menjalankan praktiknya.
Seperti disampaikan Ketua Umum FIPTI B. Mahendra, ada empat hal pokok yang diperjuankan oleh para pengobat alternatif terhadap kesewenangan pemerintah melalui PP 103, yaitu; Pertama, bahwa pengobatan tradisional/ alternatif berakar pada aspek tradisi, turun temurun, aspek sosial budaya, etnik dan agama.Â
Oleh karena itu pengobat tradisional harus berdiri sendiri berdasarkan keilmuan tradisionalnya dan tanpa harus dibenturkan dan atau harus dicampuradukan dengan keilmuan pengobatan konvensional.
Kedua, dasar keilmuan pengobat tradisional adalah bermuara pada nilai-nilai empiris yang turun menurun , maka perlu diberi kebebasan untuk menentukan jenis pendidikannya sendiri. Misalnya, melalui lembaga pendidikan nonformal yang disesuaikan dengan program Kementrian Pendidikan, tanpa harus dipaksakan untuk kuliah minimal D3 kesehatan.
Ketiga, dengan pengetahuan dan dasar keilmuan tradisonalnya, maka pengobat tradisional diberikan keleluasaan melakukan praktek pengobatannya, baik invasif maupun non-invasif sesuai dengan batas batas keilmuannya sebagai pengobat tradiaional.Â
Dan yang keempat, pengobat tradisional diberi ruang untuk memperkenalkan dirinya dan pengobatannya di publik dengan batasan batasan yang wajar berdasarkan SOP tiap - tiap organisasi profesi yang menaungi.
Dengan idealisme yang dimiliki para pelaku pengobatan tradisional/ alternatif, hendaknya jangan dianggap musuh oleh dunia media. Keberadaan mereka justeru sebenarnya bisa dimanfaatkan dan disinergikan dengan dunia media, yang secara marwah tujuannya adalah sama-sama menciptakan masyarakat yang sehat.
Kita bisa bersepakat dengan apa yang disampaikan Ketua Umum FIPTI, B. Mahendra bahwa pengobatan tradisional dan para pelaku pengobatan alternatif bisa diberi peran dalam melakukan deteksi dini dan memonitoring tanda penyakit dengan alat periksa yang sudah umum digunakan oleh masyarakat, seperti thermometer, timbangan, tensimeter gigital, alat pemeriksa gula dara, kolesterol dan lain-lain.Â
Tidak ada salahnya memberikan uang bagi pengobatan tradisional untuk memperkenalkan metode-metode yang dikembangkan selama masih dalam batasan-batasan wajar. Sebagai acuan dasar dan standarisasi, metode pemakaian alat kesehatan umum bisa diajarkan oleh tenaga kesehatan sebagai bagian dari usaha dasar dalam mensehatkan masyarakat.